Ilustrasi Penghafal al-Qur'an

 

Jakarta, aktual.com – Al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 11-12:

﴿وَإِذَا قِیلَ لَهُمۡ لَا تُفۡسِدُوا۟ فِی ٱلۡأَرۡضِ قَالُوۤا۟ إِنَّمَا نَحۡنُ مُصۡلِحُونَ ۝١١ أَلَاۤ إِنَّهُمۡ هُمُ ٱلۡمُفۡسِدُونَ وَلَـٰكِن لَّا یَشۡعُرُونَ ۝١٢﴾ [البقرة ١١-١٢]

Ayat 11–12 Surah Al-Baqarah menyingkap satu kenyataan yang terus berulang dalam sejarah manusia: ada kelompok yang merasa diri paling benar, paling reformis, dan paling peduli kebaikan publik, padahal tindakan mereka justru merusak tatanan kehidupan. Ketika dinasihati agar tidak membuat kerusakan di bumi, mereka menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah para pembuat kebaikan.” Namun Allah menegaskan bahwa merekalah para perusak itu, hanya saja mereka tidak menyadarinya.

Para mufasir seperti Ibn ‘Abbas, Al-Hasan, Qatadah, dan As-Suddi memaknai “kerusakan di bumi” sebagai munculnya kemaksiatan kepada Allah. Tafsir ini menekankan sebuah hubungan mendasar: bumi menjadi rusak ketika manusia menjauh dari aturan Allah, bukan hanya dalam arti ekologis, tapi juga moral, sosial, dan peradaban. Imam al-Qaffal menjelaskan bahwa syariat ibarat standar hidup bersama, ketika manusia berpegang teguh padanya, rasa aman tumbuh, konflik mereda, hak-hak ditunaikan, dan ketertiban sosial terjaga. Sebaliknya, ketika hawa nafsu menjadi standar, kekacauan tidak dapat dihindari. Dari ketidakadilan, pertumpahan darah, hingga runtuhnya kepercayaan sosial, semuanya adalah bentuk “kerusakan di bumi”.

Ayat ini memberi pesan bahwa menjaga bumi bukan sekadar isu lingkungan hidup; ia adalah isu spiritual dan moral. Kerusakan alam sering kali berawal dari kerusakan jiwa: keserakahan, eksploitasi tanpa batas, ketidakpedulian pada aturan Allah, dan pemutusan hubungan antara manusia dengan nilai-nilai Ilahi. Ketika syariat ditinggalkan, hubungan manusia dengan sesama dan dengan alam menjadi timpang. Sikap merusak lingkungan, merampas hak orang lain, hingga memanipulasi kebenaran demi kepentingan pribadi, semuanya merupakan wajah-wajah modern dari “ifsad fi al-ardh”.

Sebaliknya, menjalankan syariat adalah bentuk paling fundamental dari “islah”, membuat kebaikan. Syariat hadir untuk menata hidup, bukan membelenggu; ia memberi rambu agar manusia tidak saling menzalimi dan tidak merusak bumi yang dititipkan Allah. Mulai dari ajaran keadilan, larangan berbuat zalim, perintah menjaga amanah, hingga prinsip tidak berlebih-lebihan dalam menggunakan sumber daya—semuanya menciptakan tatanan yang selaras dengan fitrah bumi.

Dengan membaca ayat ini, kita diajak untuk menilai ulang klaim-klaim “perbaikan” yang justru menjauhi nilai Ilahi. Tidak semua yang tampak modern adalah kemajuan; tidak semua yang dibungkus jargon kebaikan benar-benar memperbaiki. Ukurannya jelas: apakah ia mendekatkan manusia kepada syariat Allah, atau justru menyingkirkannya? Karena yang menjaga syariat akan menjaga bumi, dan yang merusak syariat pasti merusak bumi, meskipun mereka menganggap diri mereka pembawa perbaikan.

Ayat 11–12 ini, dengan sangat tajam, mengikat spiritualitas, moralitas, dan ekologi dalam satu pesan: bumi hanya akan baik jika manusia baik; manusia hanya akan baik jika mereka kembali pada aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain