Jakarta, Aktual.com — Pemerintah diminta untuk tidak gegabah dalam mengikuti setiap regulasi yang disusun oleh berbagai lembaga internasional. Pasalnya, regulasi-regulasi yang seringkali disorongkan kepada Indonesia selalu memuat kepentingan ekonomi dan politik untuk melemahkan daya saing nasional.
Demikian salah satu kesimpulan yang dihasilkan dalam Focus Group Discussion (FGD) “Dampak Proxy War dalam Ketahanan Ekonomi Nasional” yang dihadiri kurang lebih 20 narasumber.
Beberapa yang hadir dalam FGD antara lain Ketua KADIN Eddy Ganefo, Pakar Hukum Margarito Kamis, Pengamat Intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertapati, ekonom INDEF Enny Sri Hartati, dan masih banyak lagi.
Margarito yang menjadi pembicara kunci menyampaikan bahwa proxy war sudah berlangsung sangat lama dan bukan fenomena baru, khususnya dalam menguasai sumber daya ekonomi.
Kata Margarito, selalu ada tangan tidak terlihat yang begitu hebat mengendalikan orang-orang kuat di suatu negara, para politisi, oleh korporasi besar. “Amerika Serikat sebenarnya dikendalikan oleh korporasi yang fasis,” ujar Margarito dalam keterangan yang diterima Kamis (19/1).
Margarito mengingatkan, jika Indonesia ingin lepas dari belenggu kepentingan asing, maka harus ada keberanian dari pemimpin politik negeri ini untuk memastikan bahwa kita terus memiliki kebanggaan nasional, identitas nasional, dan kepentingan nasional. “Harus berani memastikan bahwa idiologi kita sungguh-sungguh bekerja dalam setiap sisi kehidupan, terutama ekonomi, politik, dan hukum,” tegasnya.
Pengamat intelejen Susaningtyas, menambahkan, dengan potensi ekonomi yang luar biasa, Indonesia akan selalu menjadi target dari proxy war. Dia menjelaskan, perang di negara manapun, berawal mula dari masalah ekonomi maupun kelangkaann energi. Bisa saja ada kekuatan dari negara-negara lain yang menggunakan pihak ketiga. “Ini yang perlu diwaspadai,” pesan Susaningtyas.
Proxy War yang disorongkan melalui produk regulasi asing berjuluk Framework Convention on Tobacco Control (FCTC),sudah terbukti ampuh memukul sektor industri tembakau dalam negeri. Akibat berbagai regulasi yang menjiplak FCTC secara terang-terangan, kalau pada 2009 ada 3.225 industri tembakau, maka pada tahun 2014 hanya tersisa 400 industri.
“Pemerintah harus mewaspadai setiap regulasi asing yang pada akhirnya akan merugikan ekonomi Indonesia, Seringkalikepentingan ini dikemas melalui regulasi. Itulah motif proxy war,” ujar Eddy Ganefo.
Mohamad Sobary dengan keras mengkritik para penganut FCTC. Dia menganggap, para penganut FCTC itu tidak menggunakan kemampuan berpikirnya dan tidak melihat jauh dampak lanjutan dari regulasi tersebut. Di balik asap rokok kretek yang mengepul, ada ideologi dan nasionalisme yang didengungkan para petani untuk untuk membela kehidupan bangsa.
“Orang-orang yang menerima tanpa mengunyah soal FTCT, tidak pernah berfikir bagaimana porak porandanya negara ini nantinya,” urai Sobary.
Dalam akhir FGD, Enny Sri Hartati mengatakan, agar Indonesia menang dalam proxy war maka sudah harus mulai memetakan mana perjanjian internasional yang menjadi objek proxy war dan mana perjanjian yang masih berlangsung.
“Dalam memetakan proxy war harus dalam kerangka kedaulatan ekonomi, untuk apa kita ikut kerjasama Trans PasificPartnership (TPP) dan juga misal aksesi FCTC jika pada akhirnya tidak berdaulat lagi. Ketika kedaulatan menentukan kebijakan sudah tidak ada, maka tidak ada gunanya lagi bernegara. Apalagi jika yang dijadikan instrument itu berupastandarisasi yang tidak mungkin bisa dipenuhi negara-negara berkembang,” ujar Enny.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka