#Laba bersih PLN terus melorot.
Laba bersih PLN pada tahun 2015 tercatat mencapai Rp15,6 triliun. Tahun 2016 turun menjadi Rp10,5 triliun. Sedangkan untuk semester pertama 2017 hanya mencatat Rp2,3 triliun atau tidak mencapai target sebesar Rp6 triliun. Kondisi tersebut telah mengurangi kemampuan ekspansi dan investasi PLN.

“Dengan energi primer yang kian naik terus, dan tarif tidak disesuaikan, tentu ini tidak seperti yang diharapkan. Yang jelas ada penurunan kemampuan kami untuk investasi,” kata Direktur Keuangan PT PLN, Sarwono Sudarto.

Direktur Pengadaan Strategis PLN Supangkat Iwan Santoso mengatakan dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) tahun 2017, harga batu bara dipatok USD63 per metrik ton. Namun, realisasinya harga batu bara di atas USD80 per metrik ton. Dengan selisih itu, artinya PLN harus menanggung beban, apalagi tarif listrik tidak berubah.

“Kami tidak bisa minta ganti rugi, karena subsidi tidak ada. Dampaknya (kenaikan batubara) menjadi Rp14 triliun,” kata Iwan Supangkat.

Jika melihat laporan keuangan konsolidasian interim (tidak diaudit) PLN hingga kuartal III 2017, tercatat beban keuangan PLN mencapai Rp14,7 triliun. Beban keuangan ini meningkat dibandingkan tahun 2016 yang mencapai Rp13,9 triliun.

Lantas seakan akan baru menyadari atas resiko kenaikan harga batubara terhadap BPP listrik, Menteri Ignasius Jonan pun mengumpulkan beberapa pengusaha batubara untuk mengatur penetapan harga batubara yang dijual kepada PLN dalam skema Domestic Market Obligation (DMO). Selain itu, dengan memperhatikan bauran energi pembangkit saat ini sebesar 60 GW yang terdiri dari batubara 57,22 persen, gas sebesar 24,82 persen, BBM 5,81 persen, Air 7,06 persen, panas bumi dan lainnya 5,09 persen, maka penetapan tarif listrik dengan mengacu pada komponen Indonesian Crude Price (ICP), kurs dan inflasi, dirasa tidak lagi relevan tanpa memasukkan komponen harga batubara yang baurannya saat ini jauh lebih besar ketimbang BBM.

“Di masa sebelumnya sampai sekarang, kompenen perhitungan tarif listrik itu salah satu unsur besar di samping kurs mata uang adalah Indonesia Oil Crude Price. Nah kenapa dulu masuknya ICP karena penggunaan pembangkit listrik tenaga diesel itu besar. Ini akan dicoba untuk reformulasi lagi formula penetapan tarif listrik, bagaimana kalau dengan masuknya harga batubara. Karena pembangkit kita itu 60 persen energi primernya batubara. Jadi hingga 2026 masih dominan pakai batubara,” kata Jonan.

Rencana pemerintah untuk mengatur harga DMO dan memasukkan batubara sebagai komponen penetapan tarif listrik ini mendapat sambutan dari Pengamat Ekonomi Energi UGM, Fahmy Radhi. Menurut dia, tanpa tindakan tegas dari pemerintah dalam menghadapi mahalnya harga Batubara, tidak menutup kemungkinan PLN akan memasuki proses kebangkrutan. Jika PLN, sebagai satu-satunya pemasok listrik di Indonesia, mengalami kebangkrutan, maka negeri ini akan kembali menjadi gelap gulita. Dalam kondisi bangkrut, PLN bukan lagi Perusahaan Listrik Negara, melainkan kita harus membiasakan lisan utuk mengatakan bahwa PLN singkatan dari Perusahaan Lilin Negara.

“Pemerintah harus segera memutuskan DMO harga Batubara dalam waktu dekat ini. Prinsip dalam penetapan DMO harga Batubara adalah berbagai keuntungan dan kerugian (share gain, share pain), dengan skema batas atas dan batas bawah (ceiling and floor price). Pada saat harga Batubara melambung tinggi, Pengusaha menjual Batubara ke PLN dengan harga batas atas (ceiling price). Sebaliknya, pada saat harga Batubara terpuruk rendah, maka PLN harus membeli Batubara dengan harga batas bawah (floor price),” tegas dia.

Namun apakah Jonan cukup nyali untuk mengambil kebijakan itu? Pasalnya kendatipun Undang-Undang Nomor 04 Tahun 2009 pasal 3 hurup C secara lugas mengatakan: menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan atau sebagai sumber energi untuk kabutuhan dalam negeri, namun tentunya para pengusaha batubara tidak akan begitu saja membiarkan potensi keuntungan mereka tergerus.

Terlebih mereka telah mengalami tekanan harga di kisaran USD 50 per ton dalam beberapa tahun belakangan. Tentunya mereka akan meminta Jonan untuk memberi konvensasi dalam bentuk lain hingga pendapatan korporasi mereka tidak berkurang. Atau setidaknya mereka akan mengikat PLN dengan menuntut waktu kontrak jangka Panjang lebih dari 5 tahun hingga perusahaan mereka terjaga secara stabil.

“Pokoknya mencari jalan keluar bagaimana kita semua, seluruh komponen bangsa, bisa memikirkan. Karena teman-teman PLN mengatakan tarif listrik tidak boleh naik, nah kita bagaimana nih, kita berpikir. Katakanlah gini deh, nggak usah win-win, tapi kita saling akomodatif, dicari titik ketemu yang kira-kira long term itu bisa menguntungkan Indonesia sebagai negara itu apa,” kata Direktur Utama PT Adaro Energy, Garibaldi Thohir atau akrap disapa Boy Thohir.

Solusi dari kenaikan batubara memang tidak mudah karena banyak faktor yang mempengaruhi seperti royalti, pajak, kapasitas alat dan lain-lain. Di satu sisi secara korporasi, perusahaan tambang memberikan kontribusi yang besar dalam bentuk pajak 45 persen, plus royalti 13,5 persen kepada pemerintah. Namun disisi lain, laba PLN sebagai konsumen utama Adaro akan terpangkas puluhan triliun yang akhirnya akan menaikkan tarif listrik. Salah satu opsi yang memungkinkan lebih ke business to business (B2B).

Begitupun tanggapan dari Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Siandia secara diplomatis dia menyerahkan persoalan itu kepada anggota asosiasi yang artinya kepentingan korporasi menjadi perhitungan utama dari kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah.

“Kalau asosiasi sih kita akan berkonsultasi ya di anggota. Ini kan anggota kita banyak dan punya spesifikasi dan karakteristik yang berbeda-beda. Jadi kita akan tetap mendukung upaya pemerintah, kita akan berkonsultasi dengan anggota untuk mencari jalan terbaik lah. Intinya positif sih ke arah sana,” ujar dia.

Selanjutnya… Ketahanan Energi

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka