Tidak banyak ilmuwan Indonesia yang menggeluti neurosains. Dari yang sedikit ilmuwan itu, Prof. dr. Taruna Ikrar MS, MPharm, PhD adalah salah satu yang terkemuka. Pria kelahiran Makassar, 15 April 1969 ini adalah dokter, ilmuwan bidang farmasi, jantung, dan saraf. Ia menjadi peneliti utama neurosains di University of California, Irvine, Amerika Serikat (AS).
Taruna Ikrar dilahirkan di daerah pesisir pantai di Kota Makassar dari orang tua yang berprofesi sebagai guru. Anak ke-5 dari 10 bersaudara ini sejak kecil sudah bercita-cita menjadi dokter. Setamat SMA, ia mendaftar di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar.
Setelah menempuh pendidikan di sana, ia melanjutkan pendidikan Master Farmakologi (M. Pharm) di Universitas Indonesia. Ia mendapat beasiswa dari pemerintahan Jepang (Mombukagakusho) untuk meneruskan pendidikan Ph.D. dengan spesialisasi penyakit jantung di Universitas Niigata, Jepang. Selanjutnya pada 2008, ia kembali melanjutkan program post-doctoralnya di bidang neurosains di School of Medicine, University of California, AS.
Taruna Ikrar bergabung dalam tim sukses, yang menemukan gen utama pencetus autisme. Hasil penelitian tersebut dapat menjelaskan akibat mutasi genetik pada dua gen utama yang menjadi pencetus munculnya autisme, yaitu Gene EphB4 dan PTEN.
Autisme adalah gangguan perkembangan saraf yang sangat bervariasi, dengan gejala awal muncul pada masa bayi atau masa kanak-kanak. Ini kemudian berkembang menjadi autisme yang sulit dikendalikan. Orang-orang dengan autisme memiliki gangguan sosial dan sering mengalami kehilangan intuisi tentang orang lain dan lingkungannya.
Setelah Taruna dan rekan timnya melakukan modifikasi dan percobaan di laboratorium, dengan menggunakan teknik penelitian LSPS (laser photo stimulation), optogenetic (ChR2), serta immunustanning dan electrophysiology otak, ternyata gerakan dan stimulasi sel-sel pencetus autisme tersebut dapat dikontrol menjadi normal.
“Sehingga, individu autisme tersebut kembali menjadi normal. Kami meyakini bahwa autisme dapat diobati dan dicegah sejak dini, dengan mencegah terjadinya kerusakan gen sel-sel saraf penghambat tersebut,” ucap Taruna, yang mantan aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) ini.
Taruna Ikrar pernah menjabat Wakil Ketua PB Ikatan Dokter Indonesia (2000-2003). Namanya sudah cukup dikenal luas di kalangan neurosains tingkat global. Bagi Taruna sendiri, neurosains adalah ilmu masa depan (ultimate science). “Ilmu yang tingkat kerumitannya sangat menantang dan menarik, karena menyangkut otak yang menjadi pusat kehidupan,” jelasnya.
Neurosains berusaha untuk memahami perilaku manusia dengan mencoba menganalisis unsur-unsur biologisnya. “Misteri utama di dalam ilmu neurosains adalah segala sesuatu terkait dengan otak manusia, serta kaitannya dengan kesadaran sebagai unsur utama pembentuk identitas manusia,” sambung Taruna.
Di dalam pikiran para ilmuwan neurosains, misteri dualisme manusia (tubuh dan jiwa) menjadi perhatian yang amat menarik. “Otak merupakan permata dari mahkota tubuh manusia. Dengan kekuatan dan keajaiban otak, manusia dapat menemukan berbagai hal yang bisa dinikmati manusia dewasa ini,” Taruna menambahkan.
Jurusan neurosains mempelajari cara kerja otak, seperti anatomi (bentuk dan struktur otak), fisiologi (fungsi bagian-bagian otak), biochemistry (sifat kimia dan reaksi kimia dalam otak), dan biologi molekuler (molekul atau protein yang membentuk otak). Ini masih ditambah lagi ilmu psikologi (perilaku dan emosi), sains kognitif (ilmu tentang proses berpikir), simulasi komputer (ilmu komputer, statistika), dan neurologi klinis (ilmu kedokteran dan penyakit-penyakit otak).
Menurut Taruna, neurosains juga memiliki penerapan yang sangat luas. Mulai dari pemasaran (neuro-marketing), desain web (neuro-web design), komputer (neuro-simulation), perilaku kognitif (neuro-psychology), komunitas (neuro-pharmacology), sampai ke berbagai manifestasi medis (neurologist).
Dengan kemajuan ilmu neurosains, ilmu ini dapat diaplikasikan dalam upaya pengobatan penyakit-penyakit otak. Seperti: alzheimer’s, parkinsonism, schizophrenia, cerebral palsy, stroke, kelumpuhan, dan lain-lain.
Yang menarik adalah melihat hubungan antara rasa bahagia dan aktivitas otak. Dalam wawancara dengan Republika (4 Desember 2016), Taruna menuturkan, perasaan bahagia dikendalikan oleh sublimbic dan prefrontal cortex di otak, dengan melakukan stimulasi oleh endorphins dan dopaminergic. Prefrontal cortex adalah bagian otak yang mengaktifkan dan mengolah nilai dan alasan moral.
“Tentunya, pada saat orang melakukan ibadah atau mendekatkan diri kepada zat yang dicintai, seperti mendekatkan diri pada Allah SWT, maka akan memacu endorphins dan dopaminergic tersebut untuk memproduksi. Sehingga, rasa bahagia, tenang, dan nyaman akan tercipta,” ujar Taruna.
Ditambahkan oleh Taruna, selain itu, perasaan spiritual juga berkaitan dengan medial prefrontal cortex. Perasan spiritual juga mengaktifkan bagian otak yang berhubungan dengan fokus-fokus.
Taruna telah didaulat sebagai ilmuwan tetap AS. Ia telah memublikasikan lebih dari 56 karya ilmiahnya di berbagai jurnal level internasional. Selain itu, ia juga menjadi anggota American Cardiology Collage, and Society for Neurosciences, International Heart Research Association, Asia Pacific Hearth Rhythm Association, dan Japanese Cardiologist Association.
Selain aktif dalam berbagai organisasi, ia juga hobi menulis, tulisannya sering tampil di berbagai surat kabar daerah dan nasional seperti Harian Kompas, Detik.com, Harian Fajar dan Harian Pedoman Rakyat.
Taruna Ikrar menikah dengan Elfi Wardaningsih, rekan sesama dokter yang kebetulan bertemu di perpustakaan Universitas Indonesia. Dari pernikahannya ini, ia telah dikaruniai dua anak, yaitu Agilla Safazia Ikrar dan Athallah Razandhia Ikrar.
Artikel ini ditulis oleh: