Jakarta, Aktual.com – Suatu ketika ada seseorang yang datang dari jauh bertanya tentang suatu hukum kepada Imam Malik. Beliau menjawab, “Aku tidak tahu dengan baik hal tersebut,” orang itu kembali bertanya sampai tiga kali, dan Imam Malik tetap tenang dengan jawabannya.
Mengapa Imam Malik yang masyhur memilih sikap demikian dibanding memberikan jawaban saja? Bukankah sangat mungkin baginya untuk menjawab dengan lebih umum, atau diluaskan, yang pada intinya lalu tersampaikan suatu jawaban kepada sang penanya? Bukankah memilih menjawab “saya kurang tahu,” akan mengancam reputasinya sebagai sang ‘alim ‘allamah wa al-faqih fi al-din?
Sebaiknya saya kira tepat untuk kita belajar banyak hikmah dari kisah diatas. Dengan banyaknya beredar dikalangan millennial orang-orang yang serba tahu bahkan dalam masalah-masalah agama. Sangat perlu bagi kita untuk menempatkan diri dan berendah hati kemudian meneladani ketawadhu’an Imam Malik.
Sebagaimana yang disampaikan Syekh Abdul Qodir al-Jailani QS dalam kitab Futuhul Ghoibnya tawadhu’ merupakan salah satu pintu rahmat yang dapat mematahkan pintu kesombongan dan tali ujub. Tawadhu’ adalah otaknya ibadah, puncak kemuliaan orang-orang yang zuhud, tanda orang-orang yang ahli ibadah.
Tawadhu’ adalah sikap yang menentang sifat khianat, kesombongan, dan pengingkaran dari dan kepada hatinya.
Berdasarkan nasihat Sulthonul Auliya’ ini, kita memahami tawadhu’ bermusuhan selalu dengan segala bentuk keangkuhan dan kesombongan.
Tawadhu’ adalah semata kerendahan hati, berkah dari kesetiaan kepada hati yang murni, yang bersumber dari rasa takut kepada Allah SWT serta keyakinan yang haq bahwa hanya Allah SWT lah yang Maha Mengetahui dan diri ini hanya seorang yang dhaif.
Dikarenakan selalu menyadari bahwa diri ini hanyalah makhluk yang fana, lemah, dan terbatas, logisnya kita tak pernah berani menempatkan diri sebagai orang yang serba tahu atau serba ahli. Kita pun hanya akan setia kepada kejujuran hati karena keyakinan bahwa Allah Swt Maha Tahu atas segala apa pun yang terbesik di dalam hati, dengan berdasar pada ilmu-ilmu yang kita kuasai, bukan pada ambisi hawa nafsu untuk merayakan diri serba tahu.
Kesimpulannya, setiap ada pertanyaan terhadap hal yang kita kurang tahu dengan baik tentangnya. Lalu, hati mengatakan kepada diri sendiri untuk tetap istiqomah dalam ketawadhu’an dan kita mengucapkan “Saya kurang tahu..” kepada yang bertanya.
Dengan kata lain, seseorang yang benar-benar berilmu dan tawadhu’ niscaya akan jauh dari kesombongan hati merasa serba tahu dan abai pada resiko kemudharatan dari tuturan-turuannya. Dengan modal tawadhu’ yang hanya mengungkapkan kemaslahatan yang ia ketahui saja.
Imam Suyuthi menasehatkan, “Diantara tanda orang yang faqih ialah gampang berkata Allah SWT lah yang lebih tahu,” inilah yang disebut sebagai bijaksana. Sang faqih, dan sang ulama yang hakiki.
Semoga Allah SWT merahmati kita semua dengan diberikannya sifat tawadhu’ di dalam hati.
Wallahu a’lam.
(Rizky Zulkarnai
Artikel ini ditulis oleh:
Arie Saputra