Capt.Marcellus Hakeng Jayawibawa

Jakarta, Aktual.com – Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Ahli Keselamatan dan Keamanan Maritim Indonesia (AKKMI) Capt.Marcellus Hakeng Jayawibawa mempertanyakan terkait teknologi kapal laut tanpa awak, atau dikenal dengan sebutan Marine Autonomous Surface Ships (MASS). Beberapa negara sedang getol melakukan ujicoba teknologi MASS.

Menurut Capt. Hakeng Indonesia tidak boleh berdiam diri, terutama bila teknologi yang dikembangkan dan hendak diterapkan masih berkaitan erat dengan keselamatan dan kemanan pelayaran.

“Indonesia tidak boleh berdiam diri, apalagi teknologi ini berkaitan dengan keselamatan dan keamanan pelayaran kapal kita, ujarnya kepada media (29/9).

Terkait dengan MASS, Capt. Hakeng menyebut teknologi kapal tanpa awak tersebut perlu dipikirkan secara matang penerapannya di Indonesia. Karena masih membutuhkan kajian lebih lanjut terutama berhubungan dengan regulasi atau Undang Undang No. 17/2008 tentang Pelayaran. Apakah kehadiran MASS tersebut telah sesuai dengan UU pelayaran tersebut.

“Dalam Pasal 8 Ayat 1 dan ayat 2 UU Pelayaran tersebut jelas dituliskan diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia. Jika kapal tersebut dioperasikan oleh asing maka tidak diperbolehkan untuk mengangkut penumpang dan/atau barang antar pulau, Teknologi MASS ini bertentangan dengan isi pasal ini” katanya.

Selain itu tambah Capt. Hakeng masih berkaitan dengan UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, hal lain yang harus diperhatikan adalah soal pengawakan kapal.

“Dalam Pasal 135 tertulis Setiap kapal wajib diawaki oleh Awak Kapal yang memenuhi persyaratan kualifikasi dan kompetensi sesuai dengan ketentuan nasional dan internasional. Apakah kehadiran autonomous nanti tidak menyalahi UU yang berlaku” tegasnya.

Pada Pasal 138 kata Capt. Hakeng juga menjelaskan dalam ayat 1 bahwa Nakhoda wajib berada di kapal selama berlayar. Pada ayat 2 juga disebutkan Sebelum kapal berlayar, Nakhoda wajib memastikan bahwa kapalnya telah memenuhi persyaratan kelautan dan melaporkan hal tersebut kepada Syahbandar. Dan pada Ayat 3 disebutkan Nakhoda berhak menolak untuk melayarkan kapalnya apabila mengetahui kapal tersebut tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

“Bagaimana tugas itu bisa dilaksanakan jika nahkoda tidak ada di kapal? Saya baru membahas keterkaitannya dengan UU Pelayaran, masih banyak aturan lain yang berkaitan langsung dengan pengawakan kapal yang berpotensi ditabrak oleh kehadiran MASS ini.” katanya.

“Peristiwa pembajakan kapal laut ketika sedang melakukan pelayaran sampai saat ini masih acapkali terjadi. Itu yang dibajak ada awak kapalnya. Bagaimana bila tidak ada awak kapalnya? Bagaimana nasib para penumpangnya nanti? Belum lagi bila terjadi hal yang tidak diinginkan misalnya kebakaran di kapal” tambah Hakeng.

MASS merupakan kapal yang dikendalikan dan dioperasikan dari lokasi lain, baik ada awak ataupun tanpa awak. Sistem operasi kapal mampu membuat keputusan dan tindakan secara otonom tanpa campur tangan manusia.

“Karena dijalankan secara otomatis dari jarak jauh, siapakah yang memiliki teknologi ini? Pusat kontrolnya ada dimana? Ini juga harus kita pertanyakan. Jangan sampai justru kita dijajah oleh teknologi itu, karena belum mampu mengoperasikan. Jangan sampai pula teknologi itu diretas kemudian dimanfaatkan oleh pihak lain untuk kejahatan. Akibatnya bisa mengganggu kedaulatan negara,” Tegasnya.

MASS yang dikendalikan dari jarak jauh melalui operator di daratan secara tidak langsung akan menggusur keberadaan dari nahkoda dan anak buah kapal.
Capt. Hakeng mengingatkan, Indonesia akan dihadapkan pada persoalan masa depan, yaitu bonus demografi pada 2030. Artinya, jumlah usia produktif komposisinya akan jauh lebih besar. Indonesia perlu solusi untuk mengantisipasi bonus demografi ini dengan peningkatan lapangan kerja.

“Dengan bonus demografi yang segera dinikmati Bangsa Indonesia. Maka semua pihak harus segera menyadari untuk bisa mengedepankan pengembangan Industri padat karya yang berintegrasi dengan teknologi, dan bukan malah mengedepankan pengembangan teknologi yang meminimalisir jumlah pekerja. Jangan sampai bonus demografi malah menjadi bencana demografi bagi Bangsa Indonesia,” pungkas Capt. Hakeng.

Artikel ini ditulis oleh:

Arie Saputra