Jakarta, Aktual.com – Secara umum, seluruh wilayah di Tanah Air memperingati Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada 12 Rabiul Awal 1439 Hijriyah atau bertepatan pada 1 Desember 2017 secara khidmat dan meriah.
Satu pesan sentral dari peringatan tahunan ini adalah agar umat benar-benar meneladani atau mengambil teladan dari Rasulullah Muhammad.
Dalam Kitab Suci Al Quran Surat Al Ahzab ayat 21, Allah Subhannallah wa Ta’ala berfirman yang artinya, sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Suri teladan yang baik (uswatun hasanah) ada pada diri Muhammad, sebagai Rasulullah atau utusan Allah Subhannallah wa Ta’ala terakhir atau penutup para nabi terdahulu, adalah bagi seluruh umat manusia, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al A’raf ayat 158 yang bermakna “Katakanlah hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan yang mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk”.
Sementara firman Allah dalam Surat Saba’ ayat 28 berarti “Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”.
Hal paling mendasar yang dapat diteladani dari Rasulullah Muhammad adalah keutamaan sifatnya yang siddiq, amanah, tabligh, dan fathonah.
Siddiq berarti selalu benar dalam ucapannya. Sejak kecil bahkan Muhammad dikenal masyarakat Mekkah sebagai “al amin” yang bermakna jujur, terpercaya alias tidak pernah berbohong. Segala sesuatu yang diucapkan Rasulullah berdasarkan wahyu dari Allah.
Amanah bermakna selalu menjaga amanah yang diembannya, tidak sekalipun berkhianat, untuk Islam sebagai ajaran Allah. Tabligh yakni menyampaikan segala sesuatu yang diwahyukan Allah kepadanya untuk seluruh umat manusia, sementara fathonah berarti cerdas dalam intelektual, spiritual, dan emosional.
Tentu saja dalam momentum Peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat banyak yang telah mengetahui dengan pesan-pesan untuk meneladani sifat Rasulullah tersebut.
Namun satu hal menarik dan perlu diangkat dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, adalah pernyataan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin bahwa beragama secara ekstrem bukanlah cara beragama yang diajarkan oleh Rasulullah.
Saat memberikan sambutan Peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang dihadiri Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis malam (30/11), Menteri Agama juga menggambarkan sosok Rasulullah sebagai pecinta, terutama kepada umatnya dan Tanah Air-nya, tidak ingin memberatkan umat manusia dalam beragama.
Islam menentang ekstremisme, Menteri Agama menggambarkan bahwa di tangan Rasulullah Muhammad, Islam datang untuk menjadi agama kasih yang memudahkan orang, bukan menyulitkan.
Maka beragama secara ekstrem bukanlah cara beragama yang diajarkan oleh Rasulullah. Meskipun Menteri Agama tidak mendefinisikan secara jelas tentang pengertian beragama secara ekstrem, dapatlah dipahami bahwa beragama secara ekstrem berdasarkan paham atau keyakinan yang sangat kuat terhadap suatu pandangan yang melampaui batas kewajaran dan bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Ummat Islam dihadirkan sebagai “ummatan wasathan” (umat yang adil dan pilihan), umat pertengahan, moderat, umat yang adil, umat yang anti terhadap sikap ekstremisme dan tindakan yang melampaui batas.
Islam sangat menentang ektremisme dalam bentuk apa pun karena ekstremisme berdampak negatif, ekses buruk, tidak hanya pada keluarga, masyarakat, negara atetapi juga bagi kehidupan manusia di dunia.
Sikap ekstrem beragama juga akan memberikan dampak negatif pada agama itu sendiri dan akan menimbulkan bencana di luar agama.
Ekstremisme memunculkan disharmoni di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, kerukunan antarumat beragama sudah seharusnya menjadi suatu nilai yang makin lentur di Indonesia.
Peradaban baru Akar kultur atau budaya masyarakat Indonesia juga menunjukkan karakter terpuji seperti peduli pada sesama, suka menolong, ramah, kerja keras, dan saling hormat menghormati.
Namun perlu diakui pula bahwa akibat penjajahan, akulturasi, pergulatan dengan berbagai paham yang ada di dunia sebagai akibat perkembangan zaman atau globalisasi, membuat Indonesia seolah “kehilangan” jati diri, yang ditandai dengan beragam sifat individualisme, keserakahan, maraknya korupsi, khianat, serta merebaknya fitnah dan kabar palsu atau bohong.
Rasulullah Muhammad melahirkan peradaban baru yang demokratis dan egaliter dalam mengakhiri kegelapan ummat sepanjang masa jahiliyah.
Selain sebagai Rasulullah, Muhammad menjalankan tugas paripurna, tidak hanya sebagai pemimpin ummat, orang tua, suami, tetapi juga pendiri bangsa dalam berbagai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Selama 23 tahun dalam mengemban tugas kerasulan, 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah, Muhammad dengan segala sifat terbaik yang ada dalam dirinya, telah membawa peradaban ummat dalam suasana terang benderang, tidak lagi tenggelam dalam kegelapan jahiliyah.
Kepemimpinan Muhammad merupakan pelajaran sangat berharga dalam menumbuhkan rasa kebersaman dan optimisme dalam bingkai ketaatan.
Nabi Muhammad bukan sekadar pembaharu bagi masyarakatnya tetapi juga utusan Allah bagi rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam semesta.
Bangsa Indonesia, apalagi sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, sudah semestinya meningkatkan keimanan dan ketakwaan dalam mengambil pelajaran dan contoh teladan dari sifat-sifat Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Kejujuran, misalnya, amatlah penting untuk terus smenerus digelorakan oleh bangsa ini, di tengah “semakin mahalnya” nilai-nilai kejujuran dan “semakin murahnya kebohongan di masyarakat, bahkan tak lagi segan-segan melakukan kebohongan publik.
Kehidupan yang semakin keras dan penuh persaingan, telah membawa kepada sikap pragmatis dengan melupakan kejujuran dan menghalalkan segala cara untuk meraih keduniawian.
Sebagai bangsa yang religius, kejujuran kepada Allah juga menjadi keniscayaan agar menjadi insan yang taqwa, menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dalam kejujuran kepada Allah ini dapat menghindari manusia dari kemunafikan yakni, berbohong saat berbicara, ingkar saat berjanji, dan khianat saat dipercaya.
Selain kejujuran kepada Allah, setiap ummat juga wajib memiliki kejujuran terhadap sesama manusia dan terhadap diri sendiri.
Peringatan Maulid menjadi momentum yang sangat tepat untuk melakukan introspeksi dengan memperbaiki diri, masyarakat, dan bangsa, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Apalagi umat manusia dewasa ini adalah umat akhir zaman.
Tidak hanya kesalehan individu tetapi juga kesalehan sosial dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh: