Hendrajit
Hendrajit

Jakarta, Aktual.com — Minggu 7 Juni 2015 lalu, nama Ali Wardhana kembali terdengar. Menyusul peluncuran sebuah buku yang bertajuk: “A Tribute to Ali Wardhana Indonesia’s Longest Serving Finance Minister: From His Writing and His Colleagues”, di Jakarta.

Buku yang diedit mantan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu ini, dari judul bukunya saja sudah mengesankan gagasan utamanya, yaitu melihat kembali peran penting mantan Menteri Keuangan era pemerintahan Presiden Suharto ini. Seraya hendak membuktikan bahwa sejumlah pemikiran Ali lainnya yang sampai saat ini dianggap masih relevan.

Maka itu, momentum peluncuran buku yang isinya meliputi 15 pidato di forum Bank Dunia dan IMF, empat makalah yang pernah ditulis, dan pandangan dari 16 kolega Ali, kiranya perlu dibaca secara tersirat sebagai langkah konsolidasi politik para teknokrat ekonomi Universitas Indonesia untuk kembali memegang kendali dan pengaruh dalam penyusunan kebijakan strategis ekonomi Indonesia yang berhaluan neo-liberalisme dan pro pasar.

Betapa tidak. Dalam peluncuran buku tersebut hadir Managing Director and Chief Operating Officer World Bank Sri Mulyani Indrawati, Emil Salim (beberapa kali menjabat menteri dalam pemerintahan Suharto), Ketua Badan Pemeriksa Keuangan periode 2004-2009 Anwar Nasution, serta pengusaha Sofyan Wanandi.

Sri Mulyani, Emil Salim dan Anwar Nasution, merupakan alumni Fakultas Ekonomi UI. Sedangkan Sofyan Wanandi, pada era 1966 dikenal sebagai salah seorang aktivis mahasiswa UI yang ikut dalam aksi menggoyang pemerintahan Presiden Sukarno dengan menunggangi gerakan anti komunis dan pembubaran Partai Komunis Indonesia(PKI).

Selain itu, dalam acara peluncuran buku itu, hadir beberapa ekonomi berhaluan “neolib abu-abu” seperti Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Ari Kuncoro, dan Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin.

Saya jadi tergerak untuk membuka kembali tumpukan-tumpukan berkas lama ihwal apa peran sesungguhnya Ali Wardhana selain kenyataan bahwa dirinya memang dipandang sebagai salah satu perancang kebijakan strategis pembangunan ekonomi Indonesia yang berhaluan neo-liberalisme dan pro pasar, bersama-sama dengan Wijoyo Nitisastro, Radius Prawiro, JB Sumarlin, dan belakangan Adrianus Moy.

Namun, cerita seputar keterkaitan Ali Wardhana dengan tim konsultan dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, nampaknya bisa memberi gambaran peran terselubung Ali Wardhana dibalik reputasinya sebagai salah satu Menteri Keuangan terlama dan arsitek ekonomi era pemerintahan Suharto.

Pada 1993, ketika hubungan tim ekonomi yang kerap disebut sebagai Berkeley Mafia mulai renggang, terungkap adanya sebuah “kongsi” antara Ali Wardhana dan konsultan dari Harvard Institute for International Development (HIID).

Lantas, apa salahnya dengan HIID? Usut punya usut, Tim Harvard ini merupakan arsitek sesungguhnya dari kebijakan politik ekonomi yang ditetapkan pemerintah Indonesia. Yang celakanya kebijakan itu justru menimbulkan gejolak dan goncangan ketimbang melancarkan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.

Parahnya lagi, melalui resep-resep ekonomi yang dirumuskan oleh HIID, justru membesarkan dan menyejahterakan para konglomerat ketimbang menyejahterakan perekonomian rakyat.

Sekadar ilustrasi. Tim Harvard pernah merekomendasikan agar pemerintah menerapkan pajak progresif, padahal hal itu tidak sesuai dengan kondisi Indonesia. Misalnya diberlakukannya Pajak Pertambahan Nilai (PPn) yang juga atas resep yang diajukan Tim Harvard ini malah membebani masyarakat dibandingkan para pengusaha pemilik modal kuat. Karena pada kenyataannya, pajak yang dibayar konsumen mencapai 22-25%.

Mengapa Tim Harvard ini bisa sedemikian kuat mempengaruhi proses pengambilan keputusan sektor keuangan di pemerintahan Suharto pada era Orde Baru? Simpel saja jawabannya ternyata. Hal itu bisa terjadi lantaran faktor kedekatan mereka dengan Ali Wardhana, yang kala itu merupakan Menteri Keuangan yang sangat dipercaya oleh Presiden Suharto. Lebih dari itu, Ali Wardhana merupakan tokoh kunci dalam perekrutan konsultan asing dari HIID sejak awal pemerintahan Orde Baru.

Pada awal Orde Baru, Ali Wardhana, Sumarlin, Wijoyo Nitisastro, Emil Salim dan Sadli, merupakan penentu dalam penyusunan skenario perekonomian. Mereka merupakan lulusan University of California at Los Angeles, Berkeley. Inilah sebabnya mereka kemudian kerap disebut Berkeley Mafia atau Gang Berkeley.

Pada waktu bersamaan, di Amerika Serikat yang sejak pasca Perang Dunia II merupakan kekuatan ekonomi dunia, politik ekonominya berada dalam pengaruh para teknokrat Harvard. Sehingga Wijoyo dan Ali Wardhana Cs kemudian bersekutu dengan para teknokrat Harvard agar Indonesia bisa mendapatkan bantuan pinjaman dari negara-negara barat.

Maka, perekrutan konsultan dari kalangan alumnus Universitas Harvard merupakan salah satu strategi yang mereka tempuh. Kebetulan, di antara anggota Berkeley Mafia ada yang pernah mendapat didikan di Universitas Harvard. Misalnya Prof Dr Sadli yang pernah menjadi Menteri Pertambangan dan Energi.

Masuk akal, jika pengaruh Tim Harvard ini jadi kuat sekali dalam mewarnai kebijakan perekonomian Orde Baru. Mereka bahkan banyak mendapat kepercayaan untuk mengarsiteki sejumlah keputusan politik ekonomi negara. Seperti misalnya Undang-undang Perbankan1992 yang sangat memberi ruang terjadinya liberalisasi di sektor perbankan, ternyata merupakan rumusan mereka juga.

Kekuatan Tim Harvard juga dibuktikan dengan dibatalkannya penjadwalan ulang atas proyek mega olefin PT Chandra Asri. Sebelumnya, sesuai Keppres 39/1991, mega proyek olefin yang didirikan oleh Bambang Trihatmojo, Prayogo Pangestu, Peter Gontha dan Henry Pribadi, dihentikan, bersama proyek Exor dan Aromatic Pertamina.

Alasan penghentian proyek tersebut karena banyak menggunakan pinjaman komersial luar negeri yang seharusnya dibatasi untuk mengatasi pembengkakan defisit neraca berjalan. Namun penghentian proyek tersebut dibatalkan, setelah Tim Harvard merekomendasikan bahwa proyek olefin itu hanya akan memberikan bahan defisit selama dua tahun. Setelah itu, proyek tersebut diperkirakan bisa menyumbang devisa ke kantong negara. Rekomendasi itu ditandatangani oleh Direktur Eksekutif Program Lingkungan dan Sumber Alam Universitas Harvard, Henry Lee. Henry merupakan doktor Public Policy JF Kennedy Shool of Government.

Pada perkembangannya, HIID jadi amat penting bagi Indonesia. Sekitar 70% pendapatan dan pemasukan uangnya praktis disedot dari Indonesia. Gaji para konsultan HIID ini luar biasa besarnya. Tak heran jika HIID yang bergedung di komplek Kennedy Shool of Government, Cambridge, kemudian sering diplesetkan oleh para teknokrat ekonomi AS lainnya sebagai Harvard Institute for Indonesian Development.

Belakangan, Tim Harvard di Indonesia tidak hanya jadi penasehat bidang ekonomi saja, tapi juga mengarah ke bidang teknologi. Rupanya gagasan penggunaan Satelit Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) yang dicetuskan Prof Dr Iskandar Alisyahbana pada 1976 dan berhasil direalisasikan pada 1979, juga setelah ada rekomendasi dari Tim Harvard.

Tentu saja, seperti kemudian temuan ini dibantah oleh Sumarlin, Tim Harvard ini tidak berarti selalu merupakan penentu pengambilan keputusan. Karena kalau kita lihat gagasan SKSD tadi itu, yang saya ketahui kemudian itu memang pada dasarnya gagasan kreatif dari Pak Harto sendiri yang sudah berpikir strategis jauh ke depan.

Begitupun, pengaruh besar dari Tim Harvard dalam mewarnai perekonomian Orde Baru memang cukup beralasan karena tali-temali yang begitu erat antara Mafia Berkeley dan Tim Harvard di Indonesia. Apalagi, seperti yang diakui oleh Sumarlin ketika menanggapi temuan tentang Tim Harvard ini, Presiden Suharto telah mengangkat penasehat resmi bidang ekonomi yaitu Prof Wijoyo Nitisastro yang kala itu menjabat Ketua Bappenas, Prof Dr Ali Wardhana, penasehat bidang moneter, Prof Dr Subroto, penasehat bidang perminyakan dan Rahmat Saleh, penasehat bidang perdagangan.

Para Konsultan Asing Berebut Pengaruh di Indonesia

Cerita seputar kaitan Ali Wardhana dengan Tim Harvard memang bukan bermaksud mengatakan bahwa dialah satu-satunya “dalang” segala bencana ekonomi dan krisis moneter yang mulai menerpa tanah air pasca kejatuhan Suharto pada Mei 1998.

Namun sekelumit kisah tadi, dengan jelas menggambarkan betapa tim strategis perekonomian nasional yang berada di bawah pimpinan Wijoyo Nitisastro dan Ali Wardhana, ternyata membuka pintu masuk yang selebar-lebarnya bagi para teknokrat ekonomi asing untuk ikut campur menentukan arah kebijakan perekonomian nasional kita.

Selain tim konsultan dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, Jepang pun ternyata belakangan ikut bermain. Tim Jepang yang berjaya untuk masuk ke lingkar dalam tim ekonomi kabinet pemerintahan Suharto adalah Japan International Transportation Consultant (JITC). Jepang, yang banyak berurusan dengan pembangunan sarana dan prasarana transportasi, belakangan berusaha menguatkan posisinya dalam urusan pembangunan infrastruktur.

Dengan berhasilnya JITC dipilih pemerintah untuk jadi konsultan, praktis JITCS lah yang merupakan konsultan satu-satunya dalam pembangunan jalan baru. Pembangunan dan pelebaran jalan di Jakarta misalnya, ternyata merupakan hasil rekomendasi dari JITC. Pada 1972, mereka memang merekomendasikan agar Indonesia secepatnya melebarkan dan membangun jalan baru untuk mengatasi kemacetan lalu-lintas, termasuk pembangunan jalan tol.

Kembali ke sepak-terjang Tim Harvard yang begitu berpengaruhnya, bahkan mampu menggusur tim konsultan saingannya yang sama-sama dari luar negeri. Perancis yang kala itu berurusan dengan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dan sempat merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia untuk membangun PLTA Jatiluhur dan Saguling, ternyata belakangan berhasil digusur dengan masuknya tim konsultan baru dari Amerika atas rekomendasi Tim Harvard.

Alhasil, hasil penelitian konsultan Perancis untuk pembangunan Jatigede yang dimodali swasta, akhirnya masuk ke lemari arsip dan digantikan oleh hasil penelitian konsultan AS.

Pada era awal dan pertengahan1990-an, Tim Harvard masih tetap unggul dan mampu mempertahankan pengaruhnya di lingkar dalam pengambilan keputusan strategis bidang ekonomi.

Pamornya baru mulai memudar, ketika BJ Habibie mulai melibatkan kelompok teknokrat Jerman dalam kebijakan-kebijakan strategis dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Baik ketika Habibie menjabat Menteri Ristek maupun ketika belakangan menjadi Wakil Presiden.

Ketika pada masa Habibie menjadi Wakil Presiden dan banyak kebijakan perekonomian tidak lagi berkiblat pada AS yang berarti pula berakhirnya era keemasan tim perekonomian yang berada di bawah kendali Wijoyo Nisisastro dan Ali Wardhana berikut Tim Harvard HIID, maka Berkeley Mafia termasuk yang secara gencar mendesak agar Suharto dilengserkan segera dari tampuk kekuasaan menyusul semakin meningkatnya krisis moneter 1997-1998.

Barang tentu desakan para teknokrat ekonomi mantan menteri yang hampir semuanya lulusan Fakultas Ekonomi UI iitu, sejatinya menyuarakan perintah dari para penentu kebijakan perekonomian di Washington.

Bahkan seperti pengakuan Ginandjar Kartasasmita, yang pada krisis Mei 1998 menjabat Menko bidang Perekonomian dan Ketua Bappenas, didesak oleh para teknokrat ekonomi UI Wijoyo cs, agar menggalang para menteri, khususnya yang menguasai pos-pos penting bidang ekonomi, agar menyatakan pengunduran diri dari kabinet pemerintahan Suharto.