Oleh: Yudi Latif

Jakarta, aktual.com – Saudaraku, mengapa perkembangan sains dan teknologi di dunia Islam, khususnya di Indonesia, cenderung terbelakang? Salah satu alasannya terkait dengan persoalan teologis.

Orang Islam di Indonesia saat ini cenderung tidak taat asas dengan ajaran agamanya sendiri. Semua santri hapal bahwa ayat Tuhan itu bukan hanya yg tertera dalam kitab aksara (ayat naqliyyah), tapi juga dalam “kitab” semesta tanpa aksara (kauniyyah).

Bahwa alam semesta ini diciptakan oleh suatu super intelligent mind; dan bahwa otak manusia–sebagai bagian dari alam semesta–mestinya juga memantulkan reason dan intelek penciptanya.

Dengan kata lain, “wahyu” Tuhan itu tidak hanya terkandung dalam kitab aksara, tapi juga dalam akal manusia dengan kemampuannya memahami hukum alam secara rasional.

Artinya, memahami kitab suci dan memahami kitab semesta itu mestinya “sejajar” (simultan dan komplementer), sebagai cara memahami/menyingkap (rahasia, ilmu) Tuhan.

Hal itu pernah menjadi sikap keagamaan dan pendekatan keilmuan yg dipraktekkan oleh para pemikir Islam di masa kejayaannya, seperti Ibn Rushd, Ibn Sina, Al-Farabi, dan lain-lain.

Ayat kitab suci dan ayat hukum alam bukan untuk diperhadapkan. Jika alam semesta merupakan emanasi (pancaran) atau “tajalli” (penyingkapan) dari yang esensi (Ilahi), maka mempelajari hukum alam lewat sains merupakan jalan keilahian.

Dengan menempatkannya secara tepat, sains dapat membantu menerobos kungkungan agama yang sering cepat-cepat menyimpulkan “titik” (full stop), untuk sesuatu yang masih koma. Dengan kata lain, sains bisa menjadi sarana liberasi dan transendensi dari pemberhalaan dogmatisme agama.

Di Barat, cara memahami eksistensi Tuhan melalui “ayat-ayat” semesta itu dikenal dengan istilah “natural theology”. Suatu teologi yang mencoba memahami (eksistensi/ilmu) Tuhan tidak melalui ayat-ayat tertulis dalam kitab suci, melainkan melalui pemahaman terhadap hukum-hukum alam. Para saintis perintis di Barat umumnya berlatar ahli natural theology ini, termasuk Isaac Newton, Johannes Kepler hingga Adam Smith.

Alhasil, ahli sains dan ahli quran-hadits itu mestinya harus dilihat sama ulamanya; sama salehnya; sama-sama patut “dicium” tangannya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain