Seorang buruh pelabuhan memperhatikan sejumlah beras impor asal Thailand yang diturunkan dari kapal saat tiba di Pelabuhan Tenau Kupang, NTT Kamis (25/2). Kapal tersebut membawa 15.000 ton beras impor asal Thailand yang dimanfaatkan Bulog Divisi Regional Nusa Tenggara Timur untuk kegiatan operasi pasar jika terjadi gagal tanam akibat El Nino . ANTARA FOTO/Kornelis Kaha/nz/16.

Jakarta, Aktual.com – Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan mengutarakan harapannya agar Badan Pusat Statistik (BPS) dapat benar-benar mengvalidasi data terkait kontroversi impor beras yang mengemuka di masyarakat akhir-akhir ini.

“Perlu validitas data BPS dan keterbukaan informasi, jenis apa yang diimpor,” kata Taufik Kurniawan dalam rilis diterima di Jakarta, Sabtu (27/1).

Menurut politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu, kalau data yang digunakan berbeda maka berpotensi terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan. Taufik juga tidak menginginkan kebijakan impor beras ditumpangi muatan-muatan kepentingan tertentu.

“Kalau disisipi oknum repot. Katanya impor beras premium, namun beras non premium ikut juga, maka akan merugikan kita. Apalagi harga beras kini mencapai Rp 13 ribu, jelas akan memberatkan masyarakat,” paparnya.

Sebelumnya, Pemerintah akan menyelesaikan persoalan mengenai perbedaan data menyangkut beras melalui penyempurnaan data luas panen dan produksi yang selama ini belum menyatu.

“Ke depan, pemerintah meminta BPS (Badan Pusat Statistik) dibantu oleh BPPT (Badan Pengkajian Penerapan Teknologi) untuk membuat pendataan dan perkiraan mengenai luas panen, produktivitas, dan produksi,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (15/1).

Penyempurnaan data tersebut memungkinkan untuk menjadi dasar penugasan pemerintah kepada Perum Bulog untuk menyerap gabah dan beras petani.

Darmin juga mengatakan bahwa pemerintah sedang menyelesaikan kebijakan satu peta (one map policy) yang rencananya akan diluncurkan pada 18 Agustus 2018.

Percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta dilandasi oleh Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016. Kebijakan itu bertujuan mewujudkan satu peta yang mengacu pada satu referensi geospasial, satu standar, satu basis data, dan satu geoportal guna percepatan pelaksanaan pembangunan nasional.

Ia melanjutkan bahwa dalam soal data ini, pemerintah akan memverifikasi melalui sampel agar ada pengecekan di lapangan sehingga pemerintah bisa mendahului untuk menghitung perkiraan produksi pada bulan-bulan ke depan.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala BPS Suhariyanto mengatakan pihaknya tidak merilis data produksi pangan sejak 2016 karena diduga terjadi ‘overestimate’.

BPS ingin memperbaiki metodologi untuk penghitungan data produksi pangan dengan menggandeng BPPT menerapkan metode kerangka sampel area (KSA).

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara
Editor: Eka