Jakarta, Aktual.com — Setiap pasangan suami istri (pasutri) yang menikah serta menjalani biduk kehidupan rumah tangga, tentunya mendambakan hadirnya anak atau buah hati di tengah-tengah kehidupan rumah tangga mereka. Hal ini tidak lain, bertujuan untuk menjaga keharmonisan dan kebahagiaan rumah tangga, di samping memperbanyak generasi keturunan berikutnya.
Namun, dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita menemukan sejumlah pasutri yang hingga beberapa tahun kemudian menginjak usia perkawinan belum juga dikaruniai seorang anak.
Lantas, berbagai cara pun akhirnya ditempuh untuk menghadirkan adanya tangisan buah hati di dalam kehidupan pernikahan mereka. Lantas, apakah mengadopsi anak merupakan solusi yang tepat untuk diterapkan bagi pasutri? Lalu, bagaimana halnya jika yang diadopsi adalah anak perempuan? Berikut, Aktual.com hadirkan penjelasannya bersama Ustadzah Herlini Amran.
“Pasangan yang belum memiliki anak, selama suami istri tersebut saling mencintai tentu akan mencari jalan keluar terhadap permasalahannya, adopsi anak dalam rangka memelihara, mendidik, dan membesarkannya dengan kasih sayang, tidak apa-apa dengan syarat nasab anak tersebut tetap kepada bapak kandungnya, bukan bapak angkat,” jelas Ustadzah Herlini.
Dalam hal ini, secara khusus Ustadzah Herlini menegaskan, bahwa haram hukumnya manakala anak angkat tersebut dinasabkan pada bapak angkatnya, sebagaimana tertulis dalam firman-Nya berikut ini.
“Allah SWT sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah SWT mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar),” (QS. Al-Ahzab: 4)
Lantas, bagaimana halnya jika yang diadopsi adalah anak perempuan? Ustadzah Herlini kembali menjelaskan.
“Permasalahan dalam adopsi dengan pengertian merawat dan membesarkan dan nasabnya tetap pada ayah kandungnya, terjadi jika anak yang diangkat adalah anak perempuan, maka setelah baligh dia terhadap bapak angkatnya harus menjaga auratnya, karena dalam hal ini status tetap bukan sebagai mahrom, begitu juga sebaliknya,” jelasnya.
Ini menjadi aturan umum dan dibakukan di masyarakat, sampai Nabi Muhammad SAW sendiri sebelum menjadi Rasul, beliau mengangkat mantan budaknya Zaid untuk menjadi anak angkatnya. Sehingga semua orang menyebutnya: Zaid bin Muhammad. Padahal ayah aslinya bernama Haritsah. Ibnu Umar mengatakan,
ما كنا ندعو زيد بن حارثة إلا زيد بن محمد حتى نزلت: ” ادعوهم لآبائهم “
Kami tidak pernah memanggil Zaid bin Haritsah, namun Zaid bin Muhammad, sampai Allah menurunkan firmannya di surat Al-Ahzab ayat 5. (HR. Bukhari)
Ayat yang dimaksudkan adalah
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil di sisi Allah SWT, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, panggilah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama atau maulamu. Tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab: 5)
Surat Al-Ahzab ayat 5 ini sekaligus menghapus perlakuan adopsi masa silam. Anak angkat yang dulu dinasabkan ke ortu asuh, nasabnya harus dikembalikan ke ortu asli. Termasuk juga tidak berlaku hubungan saling mewarisi, tidak bisa jadi mahram, dan wali nikah.
Mengubah nasab sama dengan memperoleh ancaman
Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi ancaman yang sangat keras bagi orang yang mengubah nasab. Dalam hadis dari Sa’d, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من ادعى إلى غير أبيه وهو يعلم أنه غير أبيه فالجنة عليه حرام
“Siapa yang mengaku anak seseorang, sementara dia tahu bahwa itu bukan bapaknya maka surga haram untuknya.” (HR. Bukhari no. 6385)
Pastinya, dosa ini tidak hanya ditimpakan pada si anak saja. Melainkan juga termasuk pada orang yang mengajarkan kepada si anak nasab yang salah, dia mendapatkan dosa atau bahkan sumber dosa. Karena dialah yang menyerukan perubahan nasab pertama kalinya.
Oleh sebab itu, siapa pun dia, anak angkat tetap dinasabkan kepada orang tuanya, baik di masyarakat, maupun dalam catatan sipil. Wallahu a’lam bis showwab.
Artikel ini ditulis oleh: