“Tapi itu yang kemudian jadi pertanyaan, kalau konsumsinya disebut semua orang tengah melambat, kenapa impor barang konsumsinya naik tinggi? Jadi menurut saya kita memang perlu menguatkan data yang terkait dengan kegaitan online. Ritel harus menyesuaikan dengan kegiatan online,” klaim dia.

Terlebih lagi, disebutnya, data soal perdagangan online saat ini juga hanya terdeteksi dari perusahaan e-commerce saja. Padahal belanja secara online juga bisa dilakukan melalui media sosial. Transaksi tersebut yang sulit terdeteksi.

Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri mencatat impor barang konsumsi pada September 2017 mengalami kenaikan 12,34% dari periode yang sama di tahun sebelumnya.

Makanya Bambang semakin yakin dan percaya bahwa tidak ada penurunan daya beli di masayarakat. Menurutnya yang terjadi hanyalah perubahan pola konsumsi dari masayarakat yang semula belanja offline ke belanja online.

“Kita lihat pertumbuhan konsumsi untuk makanan di luar restoran, ternyata masih cukup tinggi, sekitar 5%. Yang rendah kemarin pakaian hanya 2%. Perlu dicatat bahwa terjadinya perlambatan konsumsi triwulan III salah satunya karena Lebarannya beda. Lebaran tahun lalu itu triwulan III 2016, Lebaran tahun ini di triwulan II,” kilah Bambang.

Laporan: Busthomi

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid