Jakarta, Aktual.com– Dalam rangka melindungi dan menjaga jiwa, akal dan keturunan yang merupakan bagian dari tujuan diturunkannya syariat, maka dianjurkan untuk menjaga kesehatan.
Pada saat ini ditemukan penyakit yang secara medis pengobatannya dapat dilakukan dengan transplantasi organ atau jaringan tubuh orang lain yang memiliki kesamaan. Lalu, muncul pertanyaan dikalangan masyarakat, apakah hukum transplantasi organ atau jaringan tubuh pendonor mati untuk orang lain?
Dalam menjawab pertanyaan tersebut, patut sekiranya kita kembali kepada al-Quran. Sunnah dan beberapa pendapat ulama. Di dalam al-Quran Allah SWT berfirman:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam.” (QS. Al-Isra’: 70)
Kemudian dalam firman yang lain:
وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحْيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعًا
“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-Maidah: 32)
Selain itu Rasulullah SAW bersabda bahwa seseorang yang merusak tulang mayit seperti merusak tulang sendiri.
كسر عظم الميت ككسره حيا
“Merusak tulang seseorang yang telah meninggal seperti merusak tulang seseorang yang masih hidup.” (HR. Ahmad)
Adapun pendapat dari ulama-ulama besar salah satunya pendapat dari ‘Alauddin Abu Bakr Mas’ud al-Kasani dalam kitab Badai’ ash-Shanai bahwa beliau berpendapat:
حامل مامت فاضطرب في بطنها ولد فإن كان في أكبر الرأي أنه حي يشق بطنها لان ابتلينا ببليتين فنختار أهونهما و شق بطن الأم الميتة أهون من إهلاك الولد الحي
“Seorang perempuan hamil meninggal dimungkinkan di perutnya ada janin, jika secara prediktif kuat janin masih hidup, maka perut mayat perempuan tersebut harus dibedah (untuk menyelamatkan janin tersebut). Karena situasi seperti ini sangat sulit di antara dua pilihan (menghormati kemuliaan jasad atau menyelamatkan kehidupan janin), maka kita memilih pada yang lebih ringan akibatnya. Membelah perut ibu yang sudah jadi mayat lebih ringan akibatnya daripada mencelakakan (dengan membiarkannya mati) janin yang masih hidup.”
Dari pendapat ‘Alauddin al-Kasani ini, bisa kita lihat bahwa perempuan yang hamil kemudian Ia wafat sedangkan di dalam rahimnya masih ada bayi yang masih hidup. Maka, untuk menyelamatkannya haruslah dibedah.
Dari dalil-dalil dan pendapat ulama di atas, MUI mengeluarkan fatwa bolehnya melakukan transplantasi organ tubuh dari pendonor yang sudah wafat. Tentunya hal tersebut dengan beberapa syarat:
- Jika hal tersebut tidak adanya alasan yang dibenarkan secara syar’i maka hukumnya haram;
- Terdapat kebutuhan yang mendesak yang dibenarkan secara syar’I;
- Tidak diperoleh upaya medis lain untuk menyembuhkannya, kecuali dengan transplantasi;
- Bersifat untuk tolong-menolong, tidak untuk komersial;
- Adanya pendapat dari ahli tentang dugaan kuat akan keberhasilan transplantasi organ tersebut kepada orang lain;
- Transplantasi organ atau jaringan tubuh dilakukan oleh ahli yang kompeten dan kredibel;
- Ada izin dari keluarga dan pemerintah;
- Proses transplantasi diselenggarakan oleh negara;
- Tidak boleh transplantasi organ-organ reproduksi, genital dan otak.
Sumber Fatwa MUI No. 12 Tahun 2019 tentang Transplantasi dari Pendonor Mati.
Waallahu a’lam
(Rizky Zulkarnain)
Artikel ini ditulis oleh:
Arie Saputra