Jakarta, Aktual.com – Persoalan dana milik pemerintah daerah (Pemda) dengan nilai ratusan triliun rupiah yang parkir di bank menjadi sorotan publik. Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan, uang Pemda yang mengendap itu mencapai Rp234 triliun.
Menanggapi hal itu, Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menyoroti perbedaan soal tafsir ‘dana Pemda yang mengendap’. Menurutnya, diperlukan aturan yang jelas agar tidak terjadi kesalahpahaman antara pemerintah pusat dan daerah.
Rifqi menjelaskan, terdapat dua tafsir utama mengenai dana mengendap tersebut. Pertama, dana yang belum dibelanjakan karena program APBD belum terealisasi. Kedua, dana yang sengaja disimpan di bank daerah dalam bentuk deposito atau giro untuk memperoleh margin atau bunga, yang kemudian dicatat sebagai pendapatan asli daerah (PAD) di tahun berikutnya.
“Kalau yang pertama itu soal serapan anggaran yang rendah, tapi yang kedua ini yang perlu diseriusi. Karena kalau semakin banyak daerah naruh uang di bank, berarti pembangunan di lapangan tidak jalan,” kata Rifqinizamy di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (30/10/2025).
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sebagian besar pemda mencatat serapan anggaran baru mencapai 50–60 persen pada triwulan terakhir 2025. Kondisi ini mirip dengan tingkat serapan kementerian dan lembaga di pemerintah pusat.
Sebagai contoh, Rifqi menyoroti Provinsi DKI Jakarta yang pada 2024 mencatat Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (Silpa) hampir Rp10 triliun. Angka tersebut dinilai sangat besar karena setara dengan total APBD beberapa provinsi kecil seperti Kalimantan Utara, Gorontalo, atau Bangka Belitung, yang masing-masing berada di bawah Rp2 triliun.
“Dana sebesar itu potensial ditaruh di Bank DKI. Jadi uangnya ada, tapi gagal dibelanjakan. Itu yang disebut dana mengendap,” tambahnya.
Meski demikian, Rifqi menilai perbedaan pandangan antara pemerintah pusat dan daerah muncul akibat kekosongan hukum serta perbedaan pola pikir fiskal. Pemerintah pusat menilai daerah lambat membelanjakan anggaran, sementara daerah beralasan penempatan dana di bank justru memperkuat PAD dan menopang perbankan daerah.
“Pemerintah daerah tidak salah juga. Tapi perlu duduk bersama agar tidak timbul persepsi seolah daerah kaya tapi tak mau belanja, padahal ada logika fiskal di baliknya,” ujarnya.
Komisi II DPR RI berencana membahas isu ini lebih lanjut bersama perwakilan gubernur, bupati, dan wali kota. Namun, DPR masih memberi ruang bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan baru hingga akhir tahun anggaran 2025.
Sebelumnya, Purbaya mengungkapkan dana Pemda yang mengendap itu disebabkan oleh lambatnya realisasi belanja APBD di berbagai daerah.
“Realisasi belanja APBD sampai dengan triwulan III tahun ini masih melambat. Rendahnya serapan tersebut berakibat menambah simpanan uang pemda yang nganggur di bank sampai Rp234 triliun. Jadi jelas ini bukan soal uangnya tidak ada, tapi soal kecepatan eksekusi,” ujar Purbaya di Kantor Kemendagri, Jakarta, Senin (20/10).
Dari data Kemenkeu, tercatat ada 15 daerah dengan simpanan dana tertinggi di bank, berkisar antara Rp2 triliun hingga hampir Rp15 triliun. Provinsi DKI Jakarta menempati posisi pertama dengan dana mencapai Rp14,6 triliun.
Laporan: Taufik Akbar Harefa
Artikel ini ditulis oleh:
Eroby Jawi Fahmi

















