Alat berat mulai menggusur pemukiman warga Bukit Duri di Jakarta, Rabu (28/9/2016). Penertiban terhadap bangunan di bantaran Kali Ciliwung ini dilakukan Pemrov DKI Jakarta untuk mengembalikan fungsi sungai.

Jakarta, Aktual.com – Pada tahun 2010, Koalisi Warga Jakarta 2030 melakukan survey dari berbagai saluran dengan jumlah responden 3000 di 5 kotamadya dan 1 kabupaten DKI Jakarta. Survey tersebut disebarkan sebagai bagian dari upaya advokasi untuk memperjuangkan partisipasi masyarakat yang berkualitas dalam menyusun Rencana Tata Ruang dan Wilayah Jakarta 2030.

Dari survey itu, 95% responden mengaku bahwa Pemda Jakarta tidak pernah menanyakan aspirasi terkait dengan penyusunan RTRW Jakarta 2030. Survey yang sama pun menyoroti 3 masalah utama yang ditemui di Jakarta. Bahkan, ada responden yang menjawab beberapa hal terkait transportasi dalam pertanyaan yang sama, sehingga hasil survey menunjukkan bahwa transportasi dianggap sebagai masalah utama, diikuti dengan masalah lingkungan (90%) termasuk air bersih, sanitasi, drainase, banjir, polusi dan sampah. Masalah lain termasuk persoalan ekonomi, sosial dan keamanan (28%) dan Ruang Terbuka Hijau, ruang publik, pedestrian, fasilitas sepeda dan penghijauan (19%).

Masalah utama yang ditemui berdasarkan pendapat warga Jakarta merupakan masalah yang muncul akibat produk penataan ruang yang buruk. Dalam proses penyusunan produk penataan ruang, pemerintah bahkan harus melibatkan warga dalam pengumpulan data primer, merumuskan konsep tata ruang, mensosialisasikannya bahkan saat masih dalam rupa draft, raperda, hingga sesudah disahkan, melalui berbagai metode. Tentu saja produk sosialisasinya harus dalam bahasa informatif yang mudah dimengerti.

Namun, terlepas dari buruknya proses partisipasi masyarakat, Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 pun akhirnya disahkan menjadi Peraturan Daerah 1/2012. Dalam penyusunan produk penataan ruang, baik RTRW maupun Rencana Detil Tata Ruang, pemerintah wajib melibatkan masyarakat dan mensosialisasikan proses penyusunan tersebut kepada pemerintah, seperti yang tercantum dalam Pasal 65 Undang Undang 26/2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah 68/2010 tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang.

Agar Rencana Tata Ruang WIlayah 2030 itu dapat diimplementasikan berdasarkan Undang Undang 26/tahun 2007, Pemerintah Provinsi wajib menyusun Rencana Detil Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTRPZ). Namun, proses penyusunannya pun senyap dengan praktek partisipasi masyarakat yang buruk. Akhirnya, produk tersebut disahkan menjadi Peraturan Daerah 1/2014 tentang Rencana Detil Tata Ruang dan Peraturan Zonasi. Sementara untuk implementasi, Dinas Penataan Kota (sekarang Dinas Cipta Karya).

Ternyata, pasca pemberlakukan RTRW 2030 dan RDTRPZ tidak diikuti dengan sosialisasi maksimal. 80% warga tidak pernah melihat RDTRPZ. Bahkan 7 dari 10 responden menyatakan tidak pernah mendapatkan sosialisasi produk tata ruang dari kelurahan maupun kecamatannya. Sebagai contoh, warga Muara Angke yang terkena dampak reklamasi Pulau G, merasa sejauh ini tidak ada sosialisasi kepada warga terkait reklamasi yang tercantum dalam RTRW maupun aturan zonasi yang tercantum dalam RDTRPZ.

Produk hukum penataan ruang tidak hanya sangat mengatur ruang hidup warga seperti tata guna lahan tempat hidupnya, namun menentukan juga seperti apa jadinya kota Jakarta di masa depan, hingga tahun 2030. Termasuk didalamnya pun diatur struktur kota, tata guna lahan, hingga integrasinya dengan transportasi, air, persampahan, bahkan mitigasi terhadap banjir. Karena itu, proses penyusunan produk penataan ruang yang sangat minim partisipasi masyarakat yang berkualitas, tentu saja hanya akan menyimpan masalah di kemudian hari.

Kegagalan Memahami Kota dan Keseharian Warga Swadaya

Kelemahan perangkat penataan ruang di Indonesia saat ini adalah ketika perangkat tersebut tidak berhasil menangkap keseharian dan keberagaman kota, hingga apa yang terjadi di lapangan. Contoh yang paling nyata adalah ketika RTRW dan RDTRPZ tidak mempedulikan permukiman swadaya warga yang sudah ada jauh sebelum negara ini berdiri.

Perlakuan berbeda diberikan kepada lingkungan-lingkungan formal, seperti Mal Taman Anggrek, Kemang, Kawasan Senayan, hingga Pantai Indah Kapuk. Sementara di saat bersamaan komposisi rumah swadaya berbanding perumahan formal di Indonesia adalah 80:20.
Upaya pemerintah untuk menangkap keberagaman justru berakibat pada makin rumitnya perangkat penataan ruang, dengan makin banyaknya warna-warna, garis-garis, angka, rumus, yang justru makin menjauhkan perangkat yang sangat teknokratis dan keseharian yang subyektif dan majemuk.

Konsep penataan ruang pun sangat erat dengan kepemilikan lahan dan formalitas, sehingga yang mendapatkan akses dan manfaat adalah yang formal. Ruang hanya erat dengan konsep warga, yang memiliki identitas KTP dan berdomisili di Jakarta, namun gagal menangkap konsep kesementaraan, yaitu manusia sebagai penghuni kota. Kegagalan akan konsep waktu itu berakibat pada gagalnya integrasi antara ruang dan pergerakan manusia.

Ketidakadilan Ruang

Penataan ruang dan peraturan zonasi Jakarta telah terbukti memberikan keberpihakan kepada pihak yang mampu memberikan kompensasi ekonomi yang tinggi, bahkan hampir tanpa batas. Peraturan Gubernur no 175/2015 dan revisinya di Peraturan Gubernur no. 251/2015, Peraturan Gubernur 119/2016 dan Pergub no. 210/tahun 2016 mengijinkan kenaikan Koefisien Lantai Bangunan tanpa ada batasan yang cukup jelas. Peraturan Gubernur terakhir ditanda-tangani 2 hari sebelum Gubernur Basuki Purnama memasuki mata cuti pilkada.

Adapun wilayah-wilayah yang mendapatkan keistimewaan tersebut mencakup:
1. Kawasan Sentra Primer Timur
2. Kawasan KEK Marunda
3. Kawasan Tanjung Priok
4. Kawasan Senen
5. Kawasan Manggarai
6. Kawasan Mangga Dua
7. Kawasan Harmoni
8. Kawasan Kampung Bandan
9. Kawasan Waduk Ria Rio dan Pulomas
10. Kasawan Glodok
11. Kawasan Stasiun Cawang
12. Kawasan Grogol
13. Kawasan Jatinegara
14. Kawasan Sentra Primer Barat
15. Kawasan Bandar Baru Kemayoran
16. TAM Center
17. Kawasan Blok M
18. Kawasan MRT Fatmawati
19. Kawasan Kelapa Gading
20. Kawasan TOD Sudirman-Thamrin
21. Kawasan MRT Lebak Bulus
22. Kawasan Stasiun Tanjung Besar
23. Kawasan Tanah Abang & Kawasan Segitiga Emas Setiabudi
24. Kawasan UDGL dan Masterplan di sekitar Tanah Abang
25. Kawasan Sentra Primer Tanah Abang

Daftar diatas menunjukkan juga tingkatan koefisien kompensasi yang harus dikenakan kepada pembangunan, dengan koefisien terkecil di Kawasan Sentra Primer Timur dan koefisien tertinggi di Kawasan Sentra Primer Tanah Abang.

Bentuk kompensasi yang diijinkan tidak masuk ke dalam kas daerah, sehingga kompensasi yang saat ini bernilai total 3.8 Triliun dengan total 11 proyek sejak 1 tahun Pergub 175/2016 itu diberlakukan, tidak termasuk dalam APBD DKI Jakarta. Ketiadaan partisipasi DPRD dalam proses penentuan kompensasi tersebut meniadakan partisipasi warga di DPRD maupun Musrenbang, sehingga warga tidak dapat menentukan dan merencanakan penggunaan kompensasi tersebut.

Kompensasi tersebut juga hanya bisa diubah menjadi proyek-proyek yang keputusan jenis dan kegiatannya tergantung pada mekanisme tertutup antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemberi kompensasi atau developer.

Kompensasi tersebut hanya dibicarakan pada Rapat Pimpinan BKPRD (Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah). Rapat tersebut memang ditampilkan melalui kanal Youtube DKI, namun hanya berupa dokumentasi karena keputusan sudah diambil, sementara warga tidak bisa berpartisipasi dalam proses tersebut, padahal itu adalah haknya seperti yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah no. 68/tahun 2010.

Praktek yang diberlakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menambah ketidakadilan pada akses terhadap ruang di DKI Jakarta. Kebijakan tersebut membuat masyarakat ekonomi rendah mudah terkalahkan oleh pemilik modal, baik secara langsung maupun tidak langsung seperti gentrifikasi. Kompensasi yang bisa berupa infrastruktur publik pun bisa memakan tumbal masyarakat rentan.

Di sisi lain, kebijakan kenaikan KLB itu juga menumbalkan kota, dalam hal ini menambah beban pada lingkungan hidup. Sayangnya dokumen terkait lingkungan hidup pada setiap proyek kompensasi tersebut bukan dokumen publik. Setiap bangunan yang mengalami penambahan lantai secara signifikan, maka akan menambah kepada beban polusi udara, jalan, bobot bangunan, listrik, hingga sumber daya seperti air bersih.

Penggusuran atas nama Rencana Tata Ruang

Minimnya pelibatan masyarakan dalam penyusunan produk tata ruang akhirnya membuat pemerintah menyusun rencana tata ruang dengan banyak asumsi. Misalnya mengabaikan kenyataan bahwa ada masyarakat yang sudah lebih lama tinggal di satu kawasan bahkan sejak sebelum rencana tata ruang pertama di Jakarta berlaku, Rencana Induk Djakarta 1965-1985. Persepsi penyusunan yang sempit tersebut membawa pada praktek ketidakadilan tata ruang dan tata guna lahan, yang akhirnya membawa pada banyak penggusuran paksa.

Dari 113 penggusuran yang terdata oleh LBH Jakarta di sepanjang tahun 2015, menunjukkan sebagian besar penggusuran yang terjadi berkaitan dengan produk penataan ruang dan perencanaan infrastruktur, termasuk diantaranya waduk, normalisasi kali dan sungai, pembangunan jalan, Ruang Terbuka Hijau, pembangunan fasilitas umum, MRT, dan JEDI (Jakarta Emergency Dredging Initiative atau proyek bersama Bank Dunia dan Pemerintah). 82 dari 113 penggusuran diatas merupakan penggusuran yang terkait dengan produk penataan ruang dan infrastruktur.

Dari 4 penggusuran besar yang terjadi di Jakarta di tahun 2015-2016, Kampung Pulo, Kali Jodo, Pasar Ikan dan Bukit Duri adalah akibat dari produk penataan ruang, baik RTRW 2030 dan RDTRPZ. Bukti-bukti kepemilikan lahan menjadi tidak berarti bahkan catatan sejarah tentang keberadaan permukiman tersebut yang bahkan mencapai ke masa sebelum berdirinya negara Republik Indonesia menjadi tidak penting, dan penggusuran tetap terjadi.

Ruang dan spasialitas tak hanya dilihat sebagai alat ekonomi, tapi juga sebagai alat propaganda dan potitik. Produk spasial terkini DKI Jakarta, yaitu Jalur Hijau eks gusuran Kalijodo adalah salah satu contoh dimana ruang menjadi alat propaganda dan polisi moralitas. Kalijodo telah ada sejak abad 18, baik sebagai permukiman maupun lokalisasi. Penggusuran Kalijodo sendiri dilakukan atas nama pembelaan terhadap RDTRPZ, yang merupakan produk terlahir 2 abad lebih setelah permukiman tersebut terbentuk.

Dalam kasus penggusuran Kalijodo yang diinstruksikan oleh Gubernur Ahok, Walikota Jakarta saat itu Rustam Effendi menyatakan bahwa bangunan-bangunan di Kalijodo menyalahi RDTRPZ. Bahkan Kepala Dinas Penataan Kota menegaskan hal yang sama, dan pihaknya memastikan tidak akan memberikan izin atas bangunan yang didirikan dan nantinya lahan gusuran tersebut akan dijadikan jalur hijau (H4).

Pada mulanya pembangunan jalur hijau tersebut menggunakan dana dari Agung Podomoro, namun pasca kasus reklamasi Pulau G yang melibatkan petinggi Agung Podomoro dan Anggota DPRD DKI Jakarta, pembiayaan pembangunan tersebut ditanggung oleh Sinar Mas. Akhirnya di Desember 2016, Jalur Hijau eks gusuran Kalijodo dibuka untuk umum.

Namun ternyata Jalur Hijau eks gusuran Kalijodo tersebut malah kembali melanggar RDTRPZ tentang ketentuan H4 (sub zona jalur hijau). Dalam RDTRPZ tidak mengijinkan pembangunan bangunan diatas lahan dengan zonasi H4 (sub zona jalur hijau), atau artinya KDB (Koefisien Dasar Bangunan) adalah 0. Namun pada prakteknya ada bangunan berdiri diatas Taman eks gusuran Kalijodo, seperti gambar 4 dan juga kegiatan rekreasi dan olahraga, hingga parkir yang sesungguhnya dilarang oleh sub zonasi H4.

Sementara peta operasional pada eks gusuran Kalijodo atau yang berada pada peta RDTRPZ 02.013.H4 yang berarti zona jalur hijau, dengan KDB (Koefisien Dasar Bangunan) 0, KLB (Koefisien Lantai Bangunan) 0 dan KB (Ketinggian Bangunan) 0.

Sementara itu, penggusuran yang terjadi di Pasar Ikan dan Aquarium di bulan April 2016, memiliki alasan demi memuluskan jalan masuk National Capital Integrated Coastal Development dan untuk membuat jalur inspeksi. Jalan inspeksi yang dibutuhkan hanyalah selebar 5 meter, namun akibatnya harus menggusur 396 keluarga. Dalam upaya kali ini, bahkan pemerintah provinsi DKI menstigmatisasi daerah tersebut dengan mengaitkannya dengan penyakit TBC.

Padahal, jika melihat RDTRPZ maka lokasi eks penggusuran Pasar Ikan dan Aquarium tersebut sesungguhnya memungkinkan secara bersyarat untuk menjadi kegiatan tempat tinggal, walaupun zonasi area tersebut adalah P3 (Pemerintahan Daerah).

Dalam zonasi P3, kegiatan rumah sangat kecil, rumah kecil, rumah sedang, dan rumah besar dengan syarat satu lahan kepemilikan, satu unit bangunan, intensitas KDB paling tinggi 60%, KLB paling tinggi 1.2 dan ketinggian bangunan paling tinggi 2 lantai. Selain itu zonasi yang sama memungkinkan juga untuk kegiatan rumah susun umum dengan syarat diselenggarakan pemerintah atau dikerjasamakan dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau pihak swasta. Untuk kali ini ketentuan terkait KDB tertinggi adalah 60%, KLB paling tinggi 2 dan Ketinggian Bangunan paling tinggi 4 lantai.

Selain hendak membangun tanggul laut, Pemerintah DKI Jakarta sendiri berencana untuk membangun kawasan wisata bahari. Kepala Museum Bahari, Husnison Nizar, menyatakan bahwa pemerintah berencana membangun infrastruktur taman dan ruang interaksi publik. Dimana Plaza tersebut akan menjadi plaza terbuka dengan bekerja sama dengan pengembang, yang sampai hari ini belum ditentukan pengembangnya.

Kembali ke RDTRPZ, rencana pemerintah untuk membangun Kawasan Wisata Bahari tersebut sesungguhnya melanggar RDTRPZ. Karena ketika membuka lembaran lampiran RDTRPZ, ternyata kegiatan wisata tidak bisa diakomodasi dibawah zonasi P3 (Pemerintahan Daerah). Tentu hal ini kembali membuat publik, terutama warga korban penggusuran Pasar Ikan dan Akuarium, meragukan produk penataan ruang maupun kapasitas pemerintah dalam merencanakan hingga melaksanakan RDTRPZ ini.

Praktek Pemutihan Berulang Tak Jera

1 April 2016 silam, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap anggota DPRD DKI Jakarta M. Sanusi dan Presiden Direktur Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja terkait dengan kegiatan penyuapan dalam proses penyusunan Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta dan Raperda Rencana Zonawi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil.

Saat konferensi pers di malam tersebut, Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif menyatakan, “Ini menjadi fenomena memprihatinkan dimana korporasi berusaha mempengaruhi kebijakan dan penyelenggara negara. Dan saya yakin ini tidak hanya terjadi di Jakarta. Korporasi swasta dalam hal ini hanya mementingkan bisnis mereka tanpa mempertimbangkan lingkungan dan masyarakat sekitar.”

Saat ini, sedikitnya ada 4 pulau yang sudah muncul di Teluk Jakarta, yaitu pulau C,D, G dan N. Bahkan diatas Pulau D sudah berisi puluhan bangunan rumah dan ruko. Gubernur DKI Jakarta, Basuki Purnama sempat menyanggah keberadaan bangunan rumah dan ruko tersebut di bulan Maret 2016, namun pada akhirnya di bulan berikutnya mengaku kecolongan. Karena ketiadaan pengesahan 2 Raperda terkait produk penataan ruang diatas, maka seluruh bangunan yang berdiri diatas Pulau D tidak memiliki Ijin Mendirikan Bangunan.

Namun, Pemerintah Provinsi DKI alih-alih membongkar bangunan tersebut, alasan yang mereka pakai saat membongkar dan menggusur bangunan-bangunan di Kalijodo, malah memilih hanya mendenda dan menyegel.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga mengeluarkan Moratorium Reklamasi Jakarta, dalam bentuk surat keputusan. Dalam moratorium disebutkan bahwa pembangunan pulau-pulau dihentikan sampai seluruh ijinnya dilengkapi.

Akan tetapi, tepat 1 hari sebelum cuti Pilkada, Gubernur Basuki Purnama menandatangani Peraturan Gubernur no. 206/2016 tentang Panduan Rancang Kota Pulau C, Pulau D dan Pulau E Hasil Reklamasi Kawasa Strategis Pantai Utara Jakarta. Pada isinya, Pergub ini disahkan dalam rangka persiapan dan pengembangan Pulau C, Pulau D dan Pulau E hasil reklamasi kawasan strategis Pantai Utara Jakarta dan sambil menunggu penetapan Rancangan Peratudan Daerah Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta, sehingga Panduan Rancang Kota tersebut bersifat indikatif.

Menurut Surat Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 356/MenLHK/Setjen/Kum.9/5/2016 tentang Penghentian Sementara Seluruh Kegiatan Pulau 2b/C, Pulau 2a/D dan Pulau G serta Pembatalan Rencana Reklamasi Pulau 1 (E) di Pantai Utara Jakarta, maka Pulau E sesungguhnya dibatalkan pembangunannya. Namun alih-alih Pemerintah Provinsi DKI mengikuti arahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terutama terkait dengan pembatalan Pulau E, Gubernur Basuki Purnama malah mengelurkan Pergub 206/2016.

Jika kita melihat dari kedudukan Panduan Rancang Kota (PRK) sebagian bagian Pengendalian Bangunan Gedung dan Lingkungan, maka Panduan Rancang Kota (PRK) adalah nama lain dari Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL). Jika melihat grafik dari Peraturan Menteri Pekerjaan Umum 6/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan, maka RTBL/PRK adahal hasil turunan dari RTRW Kota dan RDTR Kota, termasuk Peraturan Zonasi. Sedangkan jika membuka Perda 1/2014 tentang RDTRPZ maka 17 pulau reklamasi tidak termasuk dalam cakupan RDTRPZ.

Menilik pada praktek terkait produk penataan ruang dalam Pemerintah Pronvisi DKI Jakarta, maka kembali kasus yang terjadi pada reklamasi C,D, dan E serta bangunan-bangunan yang sudah berdiri diatas Pulau D hanya melanjutkan daftar panjang pemutihan atas pelanggaran penataan ruang yang terjadi di Jakarta serta cermin ketidakadilan yang terus menerus dipupuk, walaupun rezim sudah berubah.

Kesimpulan

Dalam dua kesempatan berbeda di 2016, saat saya berkesempatan berbicara didepan segenap warga di dua kampung berbeda tersebut, saya bertanya, ‘Bapak Ibu pernah mendengar RDTR? Tahu kepanjangannya? Kalau RTRW kira-kira singkatan dari apa? Dan mereka tidak tahu untuk RDTR dan menjawab Rukun Tangga/Rukun Warga untuk RTRW. Salah satu dari dua kampung itu kini sudah digusur paksa, dan salah satunya terancam digusur.

Empat contoh praktek penataan ruang dari periode 2015-2016 menunjukkan ketidakpastian dalam produk hukum dan justru memperlihatkan bahwa produk-produk penataan ruang, yang penyusunannya begitu buruk, berulang kali dipakai hanya demi kepentingan penguasa yang sesungguhnya patut dipertanyakan, atas nama siapakah kepentingan itu?

Produk penataan ruang yang masa berlakunya hingga masa depan memang bukanlah sesuatu produk kaku yang tidak bisa dinegoisasikan. Namun, dimanakah peran warga dalam berbagai kasus diatas? Warga justru ditekan pada saat terjadi konflik tata ruang, dan mereka cenderung dikalahkan.

Catatan lain dari empat contoh diatas, menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah provinsi dalam penataan ruang kerap sekali bersifat ad hoc dan insidentil, ditambah ketidakjelasan dalam berbagai rencana dan prioritas pembangunan pemerintah, menjadi contoh bahwa Tata Ruang dan pembangunan Jakarta itu autopilot.

Sejak Juni 2016, Jakarta sedang melakukan Peninjauan Kembali Tata Ruang nya? Dan apakah anda tahu program tersebut? Tahu, tapi tidak tahu bagaimana cara terlibat? Bingung? Tidak tahu? Atau tidak peduli?
*Rujak Center for Urban Studies adalah lembaga studi perkotaan yang mengupayakan perubahan menuju kota lestari melalui ko-produksi pengetahuan bersama dengan warga dan komunitas.

Ditulis: Elisa Sutanudjaja – Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Nelson Nafis
Editor: Andy Abdul Hamid