Komisi III DPR RI pada 15 Agustus 2025 menyetujui usulan tambahan anggaran Kepolisian RI sebesar Rp63,7 triliun, sehingga total anggaran Polri untuk 2026 mencapai Rp173,47 triliun. Kenaikan ini jauh lebih tinggi dibanding pagu 2025 yang tercatat Rp126,6 triliun, atau naik hampir 37 persen.
Alokasi terbesar dalam anggaran 2026 adalah modernisasi alat utama dan sarana prasarana sebesar Rp58,1 triliun, disusul pos dukungan manajemen senilai Rp73 triliun. Sementara anggaran Polri terus meningkat dari Rp102,2 triliun pada 2021 menjadi Rp145,6 triliun pada 2026.
Namun, lonjakan anggaran ini menuai kritik. Ekonom Achmad Nur Hidayat dari UPN Veteran Jakarta menilai tambahan tersebut tidak sejalan dengan semangat efisiensi pemerintah.
“Permintaan naiknya anggaran 37 persen tidak sejalan dengan semangat penghematan. Dana sebesar itu lebih tepat dialihkan ke pendidikan atau bantuan sosial,” ujarnya.
Ia juga menyoroti kurangnya transparansi pada pos dukungan manajemen yang nilainya mencapai puluhan triliun tanpa rincian jelas.
Kontroversi anggaran semakin mencuat setelah tragedi 28 Agustus 2025, ketika seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan tewas dilindas kendaraan taktis Brimob saat demonstrasi di depan kompleks DPR/MPR.
Dalam aksi itu, polisi menahan sekitar 600 orang dan menggunakan gas air mata untuk membubarkan massa.
Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch, KontraS, dan Trend Asia menilai peristiwa itu memperlihatkan bagaimana uang pajak rakyat dipakai untuk membiayai represivitas aparat.
Mereka mencatat bahwa Polri menghabiskan Rp1,93 triliun untuk membeli 98 unit kendaraan taktis dan khusus dalam periode 2020–2024. Salah satu rantis buatan Korea Selatan, model Tambora, diduga digunakan dalam tragedi Affan.
Koalisi menuntut agar anggaran Polri dipangkas dan dialihkan ke kebutuhan publik. Mereka juga mendesak audit menyeluruh atas penggunaan anggaran, serta meminta pertanggungjawaban Polri atas jatuhnya korban jiwa.
“Anggaran besar seharusnya digunakan untuk reformasi dan perlindungan rakyat, bukan untuk membeli senjata yang justru menghabisi warga,” tegas pernyataan bersama ICW, KontraS, dan Trend Asia.
Tragedi Affan Kurniawan adalah bukti telanjang bahwa pajak rakyat telah dipelintir menjadi bahan bakar kekerasan negara. Setiap rupiah yang dipotong dari keringat rakyat seolah hanya untuk menghidupi mesin represif. Kendaraan tektis yang melindas, gas air mata yang mencekik, dan borgol yang membungkam suara kritis. Negara yang seharusnya melindungi justru berubah menjadi algojo yang hidup dari uang rakyat.
Ironinya, rakyat yang taat membayar pajak kini dipaksa menanggung duka. Mereka yang berharap perlindungan justru menjadi korban dari institusi yang dibiayai oleh kontribusi mereka sendiri.
Kepercayaan publik runtuh, karena apa artinya membayar pajak bila imbalannya adalah teror di jalanan, dan nyawa rakyat kecil yang diperlakukan seperti sampah?
Koalisi Masyarakat Sipil menegaskan, pajak bukanlah lisensi untuk membunuh. Pajak adalah amanah rakyat, yang harus dikembalikan dalam bentuk kesejahteraan, pendidikan, dan keamanan yang manusiawi.
Selama Polri menggunakan pajak untuk membeli senjata yang berbalik menghabisi rakyat, maka negara ini tidak lagi berdiri di atas demokrasi, melainkan di atas darah dan penderitaan warganya sendiri.
“Berulangnya kekerasan aparat menunjukkan lemahnya evaluasi, kontrol, dan akuntabilitas Polri. Sangat ironis ketika nyawa warga berjatuhan dengan menggunakan peralatan berbahan bakar pajak rakyat,” tegas Koalisi Masyarakat Sipil dalam siaran persnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















