Dampak reklamasi Jakarta. (ilustrasi/aktual.com)
Dampak reklamasi Jakarta. (ilustrasi/aktual.com)

Yogyakarta, Aktual.com – Direktur CLDS (Centre for Local Law Development Studies) UII Yogyakarta, Prof. Jawahir Thontowy, mengaku prihatin dengan makin banyaknya kasus WNA ilegal yang tertangkap pihak imigrasi di sejumlah wilayah Indonesia.

“Kebijakan pemerintah mempermudah WNA masuk terutama dari daratan Indo-china itu sesungguhnya ancaman atas integritas teritorial negara,” kata dia, Rabu (30/11).

Sangat mencurigakan menurutnya ketika visa yang bersifat umum malah digunakan WNA untuk bekerja di berbagai tempat dan profesi pekerjaan, belum lagi soal potensi benturan sosial dengan penduduk asli. “Hilangnya kesempatan bekerja penduduk asli adalah sesuatu yang sangat fatal, harus kita waspadai,” tegasnya.

Kepada Aktual, Analis Hubungan Internasional ini lantas menggaristebal soal bakal berdirinya properti-properti mewah di area reklamasi teluk Jakarta. Dalam bisnis yang berorientasi keuntungan ini, kata dia, pengembang mematok harga hingga bermiliar, sehingga yang mampu beli hanya orang-orang asing yang memiliki dana.

Artinya, dengan adanya reklamasi pantai sama saja menyerahkan pertahanan keamanan negara kepada orang-orang yang tidak punya kewajiban melindungi kedaulatan teritori Indonesia.

“Saya khawatir, batas negara sudah mulai digerogoti dengan keberadaan reklamasi pantai, kebijakan ini harus segera dievaluasi,” ujarnya.

Reklamasi wilayah pesisir atau laut merupakan hal yang sangat sensitif dipandang dari segi keamanan nasional sebab Indonesia negara kepulauan. Melemahnya dukungan fasilitas dan armada AL yang harusnya terkonsentrasi di wilayah-wilayah pesisir, menjadi kekhawatiran utama Jawahir.

Indonesia menurutnya tahu persis armada AL Tiongkok memiliki kekuatan luar biasa dimana berani mengintervensi wilayah Laut China Selatan, artinya sinyal ancaman eksternal nyata adanya. Namun tak hanya itu, eksodus ribuan WNA Tiongkok yang perlahan masuk ke Indonesia sebaiknya tak luput diwaspadai.

“Meski bukan unsur militer tapi mereka akan menempati area-area strategis yakni kawasan reklamasi, intelijen kita harus memandang ini sebagai ancaman,” imbau Jawahir.

Secara kualitatif, sambungnya, telah banyak peneliti meyakini akan terjadi arus besar masuknya WNA ke Indonesia, hal yang patut diduga sebagai The New Imperialism, kolonialisme baru, yang akan merebut pasar-pasar tertentu seperti lapangan kerja. Kebijakan yang excuse pada investasi asing dengan membiarkannya membawa pekerja dari negara sendiri menggarap proyek-proyek di Indonesia juga dinilai sebagai keputusan tak tepat.

“Fenomena proxywar sudah lama berlangsung dan sekarang kian nyata, bahwa kekuatan adidaya seperti AS makin melonggarkan hubungannya dengan Indonesia dan memberi toleransi pada Tiongkok untuk merangsek masuk ke Asia Tenggara,” kata dia.

Skema Tiongkok yang terus mengkapling kekuasaan di Asia Tenggara bagi Jawahir tidaklah berbeda dengan apa yang terjadi di abad ke-19, disaat Eropa membagi-bagi wilayah jajahan kepada Inggris, Perancis dan Itali, sedangkan Asia Tenggara dijatah untuk Inggris, Belanda dan Portugis.

Pola yang sama kembali terjadi, bedanya, penguasaan lebih diarahkan lewat teknologi, ekonomi dan sumber daya alam, termasuk juga pendudukan WNA ke titik-titik strategis seperti area reklamasi pesisir.

Hal yang tak terbantahkan, bahwa kekuatan Tiongkok semakin dominan di Asia Tenggara. Indikasi sebenarnya sudah terlihat jelas sejak Tiongkok mempermasalahkan Laut China Selatan dengan negara-negara seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan akhirnya Indonesia.

“Pemerintah mestinya serius menyikapi ini, persoalannya apakah Presiden kita mampu?” kata Jawahir yang juga Direktur Pusat Studi Kepemimpinan Indonesia (CSIL) ini.

Dia memandang, aksi masyarakat pada 411 lalu serta 212 mendatang adalah sebuah gerakan damai memprotes fundamental kondisi negara dimana warganya kian resah, terancam dengan kebijakan pemerintah yang seolah membiarkan hal ini terjadi.

Pemerintah dituntut jeli menangkap motif dibalik peristiwa, bahwa ada urusan kesejahteraan, tingkat kemiskinan masyarakat yang cenderung statis, tidak menunjukkan indikator yang naik. “Arah kebijakan pemerintah harus segera diubah dengan lebih pro rakyat dan kekuatan bangsa,” imbuhnya.

“Presiden harus punya visi misi yang jelas, negara ini sangat tergantung pada kecerdasan dan kepiawaiannya dalam melakukan diplomasi di tingkat global.”

Ketika globalisasi terus deras menghantam negara-negara ketiga termasuk Indonesia yang dipandang masih rapuh struktur ekonominya, maka situasi Indonesia yang terjebak menjadi tak terhindarkan. Alasannya, distabilitas politik dalam negeri, ekonomi lamban berkembang lantaran jauh dari clean and good government.

“Akibatnya ya negara seperti Tiongkok sebenarnya tidak terlalu sulit juga menjadikan Indonesia berada dibawah pengaruhnya,” pungkas Jawahir.

(Laporan: Nelson Nafis)

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis
Eka