Semarang, Aktual.com — Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro bersama dengan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PHBI) Jawa Tengah mendirikan posko pengaduan bagi korban kebebasan berekspresi. Pengaduan posko tersebut dibuka gratis bagi mahasiswa maupun dosen yang mendapatkan tekanan kritis dari pihak tertentu.

Plt Jurusan Ilmu Komunikasi Undip Triyono Lukmantoro mengatakan pendirian posko pengaduan itu menyusul masih adanya kasus kebebasan ekspresi di era reformasi masih ada tekanan.

“Misalnya, ada lembaga pers kampus yang mendapatkan tekanan dari pengelola kampus,” ujar dia saat menjadi pembicara dalam seminar kebebasan berekspresi di Kampus Universitas Diponegoro, Minggu (25/10).

Beberapa kasus lain, kata Triyono Lukmantoro menyebutkan mahasiswa diberi sanksi akibat menulis kritik di media internet, ada mahasiswa yang diskors karena menulis kritik di twitternya, ada pers kampus yang dibatasi peliputannya dan lain-lain.

Triyono menyatakan kampanye kebebasan berekspresi sudah dilaksanakan sejak tahun lalu. Komunikasi Undip juga sudah menggelar diskusi di tiga kota, yakni Semarang, Solo dan Purwokerto. “Kami ingin mengkampanyekan bagaimana merawat kebebasan berekspresi sesuai dengan aturan dan etika yang ada,” kata Triyono.

Triyono mencontohkan beberapa waktu lalu PBHI menangani mahasiswa yang tidak bisa diwisuda setelah mempertanyakan status pimpinan kampus, mendampingi mahasiswa yang ditekan kampus gara-gara menulis soal pelayanan di kampus, dan lain-lain.

Menurut Triyono, tekanan ke mahasiswa/dosen yang kritis dari pihak tertentu menjadi kabar buruk bagi kebebasan berekspresi. Meski sudah era reformasi tapi nyatanya masih ada pengekangan. Parahnya lagi, itu terjadi di dunia kampus: kumpulan orang yang seharusnya membiasakan kebebasan dan saling kritik mengkritik.

Selama ini, kampus selalu mengagung-agungkan kebebasan berekspresi. Tapi beberapa kejadian menunjukan bahwa mahasiswa juga masih merasakan kebebasan semu; kebebasan yang dihantui ketakutan dikeluarkan dari kampusnya.

Internet menjadi salah satu alternatif medium untuk menyebarkan ide/kritik autokritik. Perkembangan internet sungguh luar biasa. Untuk mengaksesnya sangat gampang dan murah. Jangkauanya pun sangat luas. Namun, mengeluarkan pendapat/kritik di medium internet juga dihantui ketakutan. Sebab, ada pasal pencemaran nama baik di UU ITE yang bisa menjerat hukuman pidana. Sudah banyak orang yang menjadi korban UU ITE.

Di sisi lain, advokasi terhadap para korban kebebasan berekspresi masih minim. Mahasiswa yang masih berada di kampus kadang belum bisa mangakses advokasi baik litigasi maupun non litigasi dalam menghadapi kasusnya.

Atas dasar itulah perlu dilakukan upaya-upaya kampanye agar mahasiswa di Indonesia tak takut mengeluarkan pendapat, kritik, ide dan gagasan. Kalangan kampus juga perlu diberi pemahaman bahwa kritik mengkritik itu sesuatu yang harus terus dibangun. Pengelola kampus (rektorat) harus bisa cerdas bagaimana menangani kritik dari para mahasiswa.

Termasuk bagaimana menempatkan UU ITE di era kebebasan berekspresi. Salah menangani kritik dari mahasiswa maka bisa berakibat fatal. Sebab, tanpa ada kritik, akan muncul watak arogansi. Jika itu yang terjadi maka potensi, kreasi dan inovasi mahasiswa akan tumpul.

Artikel ini ditulis oleh: