Ketua Baleg DPR, Supratman, menyatakan bahwa apabila ingin memperjelas pengaturan perkelapasawitan seharusnya dimulai dari UU Perkebunan yang dari sisi perizinannya tidak berbeda dengan RUU Perkelapasawitan dan aspek perencanannya justru lebih komprehensif.

“Ada beberapa hal tidak disertakan secara jelas pada RUU Perkelapasawitan selain pasal terkait insentif dan lahan gambut yang perlu dikaji ulang seperti hak ulayat dan kejahatan koperasi, ‘beneficiary ownership’, kepemilikan nomor pokok wajib pajak, ketaatan pembayaran pajak dan penerimaan negara bukan pajak serta detail sanksi pidana sehingga perlu dihentikan pembahasannya dan dikaji ulang,” jelas Supratman.

Selain itu, saat ini perkebunan kelapa sawit berkisar sebesar 11,4 juta hektare persegi (BPS, 2015) dan Ditjenbun pada tahun 2012 mencatat terdapat 739 yang disebutnya sebagai gangguan usaha serta konflik perkebunan, dengan rincian 539 kasus adalah konflik lahan (72,25 persen); sengketa non lahan sebanyak 185 kasus (25,05 persen); dan sengketa dengan kehutanan sebanyak 15 kasus (2 persen).

“Apabila RUU ini disahkan maka akan melegalkan perkebunan ilegal yang belum diselesaikan masalahnya,” katanya.

ANT

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan