Jakarta, Aktual.com — Haji Muhammad Arsyad bukanlah petinggi tentara. Dia adalah seorang Ulama dengan latar belakang pendidikan keagamaan dari setempat.

Namuan tekad besarnya ingin melawan penjajah demi kemerdekaan negara ini, membuatnya berani tampil menjadi motor perjuangan di daerah, khususnya di kawasan Kotawaringin yang kini terbagi menjadi enam kabupaten yaitu Kotawaringin Timur, Katingan, Kotawaringin Barat, Seruyan, Lamandau dan Sukamara.

“Pejuang-pejuang di Kasongan, Mendawai, Pegatan, Kuala Pembuang, Pangkalan Banteng dan lainnya, semuanya berpatokan kepada perjuangan Beliau. Ketika tanggal 28 November atau sehari sebelum perebutan kekuasaan, utusan Bung Tomo dan Pangeran Muhammad Noor datang ke Samuda itu karena ingin melihat sosok Haji Muhammad Arsyad.”

Ulama yang belakangan menjadi politikus ini memang menetap di daerah. Namun pergerakan dan perlawanannya terhadap penjajah membuat namanya diperhitungkan di tingkat nasional. Apalagi kedekatannya dengan tokoh-tokoh nasional yang berada di Jakarta, membuatnya turut menjadi incaran penjajah.

Haji Muhammad Arsyad ditangkap Belanda bersama tokoh-tokoh politik dari Banjarmasin. Artinya, nama besar Haji Muhammad Arsyad juga diperhitungkan, meski dia tidak pernah mempedulikan soal pujian dan sanjungan dari siapapun.

Begitu pula sebelum Jepang menyerah pada 14 Agustus 1945, Haji Muhammad Arsyad sudah menerima selebaran dari Sam Ratulangi terkait informasi bahwa ada kemungkinan Jepang akan kalah sehingga pemuda-pemuda Indonesia harus merebut kemerdekaan. Artinya keberadaan Haji Muhammad Arsyad di Samuda diakui sebagai tokoh politik yang tinggal di daerah.

“Selama ini perjuangan Haji Muhammad Arsyad seolah sengaja ingin ditenggelamkan. Cita-cita pejuang kita ini harus diceritakan siapa sebenarnya yang banyak berjuang di Kalimantan. Haji Muhammad Arsyad memang tidak berpesan agar dihargai, tapi kita generasi penerus yang sepertinya melupakan sejarah,” kata Mulyadi Ambut, pendiri Forum Penerus Perjuangan Haji Muhammad Arsyad di Sampit, Senin (16/11) kemarin.

Haji Muhammad Arsyad merupakan anak ke-2 dari 7 bersaudara dari pasangan Haji Dukarim yang merupakan salah seorang anak saudagar Bugis bernama Kusin, dengan Siti Jaleha atau Datu Tampala, yaitu putri Kepala Suku Dayak Seranau bernama Hengang Sabung.

Ulama yang dilahirkan di Kampung Maliku, Bati-Bati, Pelaihari, Kalimantan Selatan pada 7 Mei 1874 ini adalah salah satu tokoh pejuang dan pelaku sejarah yang terlibat langsung pada tiga dari empat periode perjuangan bangsa Indonesia.

Sekitar tahun 1875, atau setahun setelah takluknya Kerajaan Banjar oleh Kolonial Belanda, seluruh Keluarga HM. Arsyad di-“Persona Non Grata” atau diusir keluar dari Pelaihari oleh Pemerintah Kolonial Belanda hingga akhirnya hijrah dan menetap di Kampung Basirih, tepatnya di Kecamatan Mentaya Hilir Selatan, Samuda, Kabupaten Kotawaringin Timur.

“Kaki Kananku ada di Masjid, dan Kaki Kiriku ada di Penjara”, begitulah perumpamaan perjuangan Haji Muhammad Arsyad. Sebagai seorang pendakwah, beliau berjuang tidak hanya melalui gerakaan keagamaan, tetapi meluas dengan membentuk sejumlah kelembagaan untuk menghadapi kolonila “Nederlands Indies Civil Administation” (NICA), maupun orang-orang yang tergiur godaan para penjajah.

Tahun 1920 silam, Haji Muhammad Arsyad merupakan satu-satunya putra Kalimantan yang mendapat kepercayaan dari Pimpinana Pusat Partai Sarekat Islam (PSI) HOS Tjokroaminoto – H. Agus Salim untuk memimpin PSII Zuider En Oosterafdeeling Van Borneo (wilayah Kalimantan Bagian Selatan) dan bahkan pada tahun 1930 beliau bersama-sama HOS Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama Islam di Mekah.

Tahun 1926 beliau mendirikan sebuah lembaga pendidikan pertama bagi masyarakat pribumi dengan nama Sekolah Sarekat Islam (SI) di Samuda.

Selanjutnya 1931 hingga 1942 beliau berhasil mendirikan sebuah lembaga kepanduan atau kepramukaan yang dikenal dengan Pandu SIAP di Samuda dan mengembangkan kegiatan tersebut kedaerah-daerah luar Samuda seperti Kuala pembuang, Kasongan, Kuala Kuayan, Pagatan, Mendawai serta Kumai.

Organisasi ini yang kemudian melahirkan tokoh-tokoh Samuda sebagai pelopor dan pimpinan pergerakan perjuangan di wilyah Kalimantan Tengah.

Ini semua ditandai dengan sejumlah peristiwa penting mulai dari peristiwa “Apel Proklamasi Kemerdekaan” sekaligus Mendirikan Pemerintah Darurat RI Wilayah Samuda yang dipimpin oleh Muhammad Baidawi Udan pada tanggal 8 Oktober 1945.

Selanjutnya, pembentukan Batalyon BPRI/TKR pertama di Samuda yang dikomandani oleh Ali Badrun Maslan pada tanggal 11 Oktober 1945 yang dilanjutkan dengan pembentukan kompi-kompi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Samuda, Kuala Pembuang, Mendawai, Pagatan, Pembuang Hulu, Tumbang Samba, Kasongan dan Kuala Kuayan dengan tujuan yang strategis yaitu untuk mengepung posisi Pemerintahan NICA Sampit.

Tanggal 24-28 November 1945 delegasi Pemerintah Darurat RI Samuda melakukan perundingan dengan NICA Sampit agar pihak NICA menyerahkan Sampit secara damai.

Selanjutnya, terjadi peristiwa perebutan Sampit atau “Kudeta Sampit Tak Berdarah” pada tanggal 29 November 1945 dibawah komando Pimpinan Pemerintah Darurat RI Samuda dengan dibantu oleh sembilan orang Utusan Badan Pembantu Urusan Gubernur (BPUG) Kalimantan, Pangeran Muhammad Noor yang sekaligus merupakan Anggota Pimpinan Pusat Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) bentukan Bung Tomo di Surabaya yang dipimpin oleh Haji Ahmad Hasan serta para pejuang Sampit yang dipelopori oleh Hasyim Djafar, Haji Masyhur, Abdullah A. Hamzah dan lainnya.

Haji Muhammad Arsyad dan kelompoknya juga punya andil dalam peristiwa “Serangan Umum Banjarmasin” tanggal 15 Desember 1945, meskipun mengalami kegagalan yang disebabkan adanya pengkhianatan oleh salah seorang pejuang yang telah menjadi mata-mata (spion) NICA.

Selain itu, peristiwa Serangan 7 Januari 1946 di Samuda oleh tentara KNIL dari Banjarmasin, dimana dalam peristiwa tersebut telah menyebabkan gugurnya seorang pejuang bernama Kurdi Puas serta tertangkapnya seluruh tokoh pejuang Samuda, termasuk Haji Muhammad Arsyad.

Bahkan akibat kerasnya siksaan yang dilakukan KNIL, dua orang pejuang Samuda yaitu Haji Umar Hasyim dan Muhammad Helmi Aspar meninggal di penjara Sampit.

Kondisi menyakitkan ini bukan pertama kalinya bagi Haji Muhammad Arsyad berurusan dengan penjajah.

Tahun 1931 dia ditangkap dan diinterogasi oleh Intelejen NICA akibat adanya laporan mata-mata namun tidak ditahan.

Selanjutnya pada 1934, beliau diajak berundingan oleh Controleur NICA Sampit diatas kapal “IRMA” dengan maksud agar beliau menghentikan kegiatan politik dan sebagai gantinya NICA akan membangunkan sebuah pabrik pengasapan karet.

Namun semua itu jelas tidak membuat Muhammad Arsyad goyah.

Tahun 1942 seluruh kegiatan politik dan pendidikan Haji Muhammad Arsyad dibekukan oleh Jepang.

Beliau pun dua kali ditangkap yakni pada Januari 1946 dia kembali ditangkap dan di “Interneering” di Banjarmasin dan dibebaskan pada November 1946, dan Maret 1947 kembali ditangkap dan di “Interneering” di Banjarmasin karena dikhawatirkan masih melakukan kegiatan politik, namun akhirnya dibebaskan pada Agustus 1947.

Atas jasa-jasanya, Haji Muhammad Arsyad telah menerima beberapa bentuk penghargaan di antaranya, seperti di tahun 1960 menerima Anugerah “Pahlawan Perintis Kemerdekaan RI” melalui Menteri Kesejahteraan Sosial RI dengan SK. Nomor Pol.262/PK, Tanggal 2 Mei 1960, anugerah “Veteran Pejuang Kemerdekaan RI” melalui Menhankam RI dengan SK. Nomor Skep./1218/X/1981 tanggal 30 Oktober 1981.

Pada tahun 1982, pemerintah juga mengabadikan nama Haji Muhammad Arsyad sebagai nama jalan yang membentang antara Sampit-Samuda hingga Ujung Pandaran.

Haji Muhammad Arsyad meninggal di Jaya Kelapa pada tanggal 14 Juli 1960 dan dimakamkan di tanah miliknya sendiri. Tahun 1986, makam tersebut diresmikan sebagai Taman Makam Pahlawan Haji Muhammad Arsyad oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah.

“Kegigihan Haji Muhammad Arsyad dalam berjuang meraih kemerdekaan secara ikhlas harus dilanjutkan ke generasi penerus, dengan kegigihan mengisi kemerdakaan untuk kesejahteraan rakyat. Keteladanan beliau harus terus dikobarkan,” kata Mulyadi Ambut pendiri Forum Penerus Perjuangan Haji Muhammad Arsyad.

Artikel ini ditulis oleh: