Jakarta, Aktual.com — Pengamat ekonomi koperasi Suroto mempertanyakan validitas data pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang dihimpun pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS).
“Menurut hasil penelitian kami, ternyata jumlah UMKM yang ada itu tidak disertai data base nama dan alamat yang jelas,” kata Suroto yang juga Ketua Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (Akses) di Jakarta, Senin (7/9).
Bahkan, menurut Kementerian Koperasi dan UKM yang merujuk pada BPS tahun 2014, jumlah UMKM di Indonesia sebanyak 57,9 juta dan kontribusinya terhadap PDB sebanyak 57,93 persen dari total PDB 2014 sebesar Rp10,4 triliun.
Sementara daya serapnya terhadap tenaga kerja sebesar 97,30 persen.
“Hasil penelitian kami, nama dan alamat definitif dari usaha UMKM terutama usaha mikro yang disebut paling dominan tidak dapat kami verifikasi,” katanya.
Ia menambahkan, data base mengenai nama dan alamat pengusaha yang dihimpun dalam angka statistik resmi Kementerian Koperasi dan UKM pun tidak ia temukan, apalagi bentuk usaha, sektor, dan omzetnya.
“Keragaan (Performance) statistik yang ada sudah kami verifikasi ke daerah. Semuanya nihil dan tidak bisa menyajikan data,” katanya.
Menurut dia, data yang valid cenderung hanya ditemukan di bank dan itu pun rata-rata data UMKM yang ada di bank memang sudah bankable.
“Jadi yang dimaksud data usaha mikro itu ternyata tidak ada. Padahal target prioritas dari kebijakan pemerintah itu adalah usaha mikro yang memang perlu ditingkatkan agar kapasitas bisnisnya semakin kuat dan daya saingnya meningkat,” katanya.
Data yang menurut Suroto tidak valid itu juga dapat dilihat dari indikasi daya serap UMKM yang rendah terhadap jumlah angkatan kerja di Tanah Air.
Padahal kata dia, karakter UMKM bersifat sosial sehingga fungsinya sebagai tahanan masyarakat sangat kuat namun korelasi itu tidak terlihat sama sekali bahkan ketika terjadi volatilitas ekonomi seperti saat ini.
“Ketidakvalidan perhitungan ini bisa berakibat fatal terhadap kebijakan. Dasar asumsinya tidak valid. Sasaran kebijakan pada akhirnya juga tidak tepat,” katanya.
Seharusnya, kata dia, ketika UMKM distimulasi modal sedikit saja melalui skema kredit program semacam Kredit Usaha Rakyat (KUR) maka angka pengangguran idealnya akan mengalami perubahan signifikan betapa pun kondisi ekonomi sedang lesu.
Sebab pengangguran di Indonesia sebagian besar tingkat pendidikannya rendah dan hanya akan tertampung di sektor UMKM.
“Karakter dari UMKM kita itu akseptasinya terhadap tenaga kerja tinggi karena berfungsi sosial. Tapi sekali lagi kenyataan itu tidak dapat kita lihat korelasinya secara signifikan dari data statistik yang ada,” katanya.
Ia menegaskan, data base UMKM ke depan harus segera diperbaiki kalau Indonesia ingin serius membangun UMKM.
Artikel ini ditulis oleh: