Apa yang sesungguhnya sedang terjadi di republik yang tercinta ini? Salah satu masalah krusial yang melanda republik kita tercinta ini antara lain, keterwakilan rakyat tidak memancar sama sekali melalui sistem keterpilihan dalam sistem politik yang kita anut di era pasca reformas dewasa ini. Ironisnya, ketika sistem politik kita di bawah naungan sistem multi-partai.
Kalau kita merujuk pada kejayaan dan keagungan era Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit di bumi nusantara berabad-abad silam, meski tanpa adanya sistem keterpilihan, bobot keterwakilan rakyat memancar secara kuat di dalam sistem dan tatanan kenegaraan pada kedua kerajaan besar di bumi nusantara tersebut.
Demokrasi yang berlangsung sekarang di tanah air, semenjaak era reformasi1999, salah satu yang secara sadar ataupun di alam bawah sadar jadi pertanyaan sentral masyarakat Indonesia adalah: apakah sistem politik memang sudah benar-benar mampu mengelola negeri ini sekaligus memperkuat sistem kenegaraan kita?
Disinilah pentingya seluruh elemen strategis bangsa mengamati dan mencermati sejarah, baik sejarah bangsa kita sendiri, maupun sejarah bangsa lain.
Pertanyaan nakal menggelitik kita, mengapa di era kejayaan kerajaan-kerajaan nusantara seperti Sriwijaya dan Nusantara, rakyat dan negara bisa bersenyawa ibarat belahan jiwa, padahal di kedua kerajaan tersebut sama sekali tidak mengenal sistem satu orang satu suara, alias one man one vote.
Kalau banyak dari kita sekarang berharap bahwa pemimpin dan rakyat Indonesia harus tetap dijiwai dan diilhami oleh kejayaan kerajaan-kerajaan nusantara seperti Sriwijaya dan Majapahit, maka pertanyaannya adalah: mungkinkah hal itu terjadi ketika bila sistem politik dan sistem kekuasaannya sama sekali berbeda, kalau tidak mau dikatakan bertengangan 180 derajat dengan ruh atau spirit dari para leluhur negarawan bangsa kita di era kejayaan kedua kerajaan nusantara tersebut?
Lantas ada yang coba menyanggah dengan mengatakan: “Lho, bukankah kita sejaka era kemerdekaan punya yang namanya Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa, atau meminjam istilah Bung Karno, Filofische Groundlag. Fondasi norma-norma kenegaraan dan kebangsaan?
Inilah masalah krusial kita sesungguhnya. Pertanyaan baliknya adalah, pernahkah Pancasila benar-benar diamalkan secara konsisten dan konsekuen oleh setiap rejim pemerintahan?
Baiklah, untuk perkara yang satu ini, kita simpan dulu untuk pembahasan lebih mendalam dan tajam terkait aspek bagaimana mengaktualisasikan Pancasila sebagai fondasi dan sekaligus pandangan hidup bangsa Indonesia.
Kembali ke tema inti dari tulisan ini, betapa saat ini sistem politik yang dijabarkan melalui sistem pemilu baik di tingkat pusat maupun daerah, antara sistem keterpilihan dan keterwakilan sama sekali tidak nyambung. Sama sekali tidak bernyawa.
Bahkan membawa implikasi yang jauh lebih krusial, ketika sistem tersebut malah memantik satu persoalan laten dari bangsa kita saat ini, yaitu soal mayoritas dan minoritas. Satu masalah yang meskipun aman tentram di tataran permukaan, namun selalu jadi bara dalam sekam sejak berabad-abad silam, khususnya semasa penjajahan Belanda di bumi nusantara sejak abad ke-15.
Pada tataran ini, marilah kita buat sedikit perbandingan dengan Amerika Serikat, yang konon merupakan primadona demokrasi, dan ibu kandung liberalisme politik. Kalau kita cermati Amerika sebagai rujukan, ternyata setelah melewati 200-an tahun —sejak merdeka tahun 1776— bangsa AS baru mau, bisa dan mampu menerima Obama —kaum minoritas— sebagai presiden.
Sekali lagi, jika merujuk ke AS, kita masih butuh waktu sekitar 160-an tahun lagi untuk mau dan bisa menerima sosok minoritas sebagai presiden. Kita ini baru merdeka 70-an tahun. Fondasi demokrasinya belum sekuat dan sekokoh AS. Manakala hal itu coba dipaksakan di Indonesia sebelum situasi dan kondisi kebangsaan kita memang beanr-benar matang, maka inilah titik kulminasi dari tidak bersenyawanya keterpilihan dan keterwakilan.
Tatkala ada wacana, atau keinginan, hasrat dan/atau rencana dari sekelompok anak bangsa bahwa antara 2 (dua) atau 5 (lima) tahun kedepan etnis minoritas dapat memimpin Indonesia, selain hasrat tersebut tak lebih hanya mimpi di siang bolong, tak logis, liar, juga mereka adalah para pengidap virus buta politik serta gagap akan sejarah.
Hendrajit, Pemimpin Redaksi Aktual.