Jakarta, Aktual.com – KPK menyebut vonis terhadap mantan Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II (Persero), Richard Joost Lino alias RJ Lino sebagai bentuk pengakuan bahwa KPK dapat menghitung kerugian keuangan negara.
“Hal ini menjadi langkah maju bagi pemberantasan korupsi bahwa KPK dapat menghitung kerugian keuangan negara dengan tetap berkoordinasi bersama BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) yang memiliki kewenangan tersebut,” kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri di Jakarta, Rabu (15/12).
Pada Selasa (14/12) majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis empat tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan kepada Lino karena dinilai terbukti melakukan korupsi pengadaan dan pemeliharaan tiga unit Quayside Container Crane (QCC) pada 2010 di pelabuhan Panjang (Lampung), Pontianak (Kalimantan Barat), dan Palembang (Sumatera Selatan).
Hal itu mengakibatkan kerugian negara seluruhnya senilai 1.997.740,23 dolar Amerika Serikat.
“Putusan ini menuntaskan proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan oleh KPK yang telah memakan waktu hingga lintas 3 periode kepemimpinan KPK karena kendala penghitungan kerugian keuangan negaranya,” kata Fikri.
KPK juga mengapresiasi majelis hakim yang telah mempertimbangkan penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh Accounting Forensic pada Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK.
“Dimana dalam putusannya, majelis kemudian menilai bahwa perbuatan terdakwa telah merugikan keuangan negara hingga 1,99 juta dolar AS atau sekitar Rp28 miliar,” kata dia.
Putusan majelis hakim, menurut dia, telah menjunjung tinggi azas-azas penegakkan hukum tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa. “Yang tidak hanya untuk memberikan keadilan dan efek jera bagi pelaku, namun juga mengedepankan optimalisasi asset recovery yang akan menjadi penerimaan keuangan bagi negara,” kata dia.
Dalam perkara ini, Lino dinyatakan terbukti melakukan dakwaan alternatif kedua dari pasal 3 UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Namun putusan tidak diambil dengan suara bulat oleh tiga orang hakim karena ketua majelis hakim Rosmina menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) terhadap putusan tersebut.
Ketua majelis hakim yaitu Rosmina bahkan menyebut KPK tidak cermat saat menghitung kerugian negara.
Menurut Rosmina, BPK menghitung kerugian negara dengan cara menghitung selisih nilai pembayaran pembangunan dan pengiriman dan pemeliharan 3 unit QCC dengan nilai realiasi pengeluaran HDHM.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Wisnu