Jakarta, Aktual.com – Beberapa hari terakhir ini, masyarakat kita dikejutkan dengan wacana yang dikeluarkan oleh Menteri Agama, Lukman Hakim. Bahwa kementrian Agama Republik Indonesia, berencana akan mengusulkan Perpres untuk menarik zakat 2,5 % pada gaji setiap PNS Muslim. Wacana ini tentu menyita banyak perhatian publik, khususnya para ASN. Sebab bila wacana ini benar-benar menjadi kebijakan, maka tentu akan mempengaruhi jumlah pendapatan mereka diwaktu-waktu berikutnya.

Wacana kebijakan seperti ini, secara umum sebenarnya sah-sah saja, sepanjang regulasinya benar-benar memenuhi syarat, baik dalam tinjauan konstitusi, kemudian dalam tinjauan demokrasi (karena negara kita menganut paham demokrasi), maupun dalam tinjauan fiqih (sebab ini berkaitan dengan zakat). Dan pada poin fiqih ini, tentu menjadi acuan yang paling utama, tentang bagaimana mekanisme bila pemerintah hendak memotong gaji PNS muslim untuk zakat. Sehingga tidak terjadi kesemwarutan yang cenderung merugikan atau bahkan terjadi penzaliman dari negara terhadap rakyatnya.

Lantas bagaimana konstitusi, demokrasi, dan fiqih mengulas persoalan ini? Mari kita lihat.

Pertama, Konstitusi. Dalam pasal 28G ayat 4 Undang-undang dasar 1945, jelas dikatakan bahwa, “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”. Ayat ini bila ditafsirkan, maka bearti negara tidak bisa serta merta mengambil atau memaksa hak rakyatnya untuk diambil oleh negara, bila tanpa persetujuan dari rakyat. Persetujuan yang dimaksud adalah bahwa rakyat setuju sebagian hartanya diambil oleh negara, sepanjang harta tersebut benar-benar dikelola untuk memberikan kesejahteraan umum. Seperti pajak misalnya, yang dalam konstitusi kita telah sama-sama disepakati bahwa pajak adalah salah satu sumber pembiayaan operasional negara, maka setiap rakyat dibebankan untuk membayarnya. Dan pajak sifatnya harus umum, harus mengedepankan asas keadilan. Setiap warga negara harus dibebankan pajak atas harta yang ia miliki. Tidak boleh ada pengecualian, mau dia beragama Islam atau non islam, sepanjang dia menjadi warga negara indonesia, maka atas hartanya dibebankan pajak. Dan dalam penarikan pajak, pemerintah tidak boleh sewenang-wenang dalam menariknya. Harus melalui proses mekanisme yang harus diatur pula dalam bentuk perundang-undangan. Sebab ini berkaitan dengan hak kepemilikan atas harta pada setiap orang. Ringkasnya, ini sangat berkaitan dengan Hak Asasi Manusia. Sebagaimana yang telah diatur dalam konstitusi kita, yakni dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Lalu bagaimana dengan zakat? Bila mengacu pada paparan saya diatas, tentu negara tidak bisa serta merta memotong gaji rakyatnya untuk membayar zakat. Karena zakat ini berkaitan erat dengan persoalan agama, yakni islam. Sedangkan negara kita tidak berazaskan islam, melainkan berazaskan pancasila dan konstitusi yakni UUD 1945. Maka menarik zakat oleh negara, tentu harus memperhatikan banyak aspek. Karena yang akan ditarik zakatnya tentu hanyalah orang-orang islam, bukan orang-orang non islam. Dan peruntukkan uang zakat tersebut, tentu harus sesuai pula dengan syariat yang telah ditetapkan oleh Islam.

Kedua, Demokrasi. Didalam asas demokrasi, seseorang dibebaskan untuk memilih, memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing. Hal ini disepakati pula dalam konstitusi kita, khususnya pada bab tentang hak asasi manusia. Setiap negara yang menganut paham demokrasi, maka tidak bisa serta merta merampas hak yang telah melekat dalam setiap manusia ini. Atas dasar itulah, maka negara tidak boleh mengintervensi siapapun, khususnya dalam hal menjalankan ritual agamanya. Negara hanya boleh menjadi fasilitator bagi rakyatnya, bagaimana agar rakyat mudah dalam menjalankan ajaran agama dan kepercayaannya, dan merasa aman saat menjalankannya. Diluar itu, negara tidak memiliki wewenang. Terkecuali konstitusi negara kita telah berubah, dari berazaskan pancasila dan UUD 45, menjadi berazaskan islam.

Dan zakat, adalah sesuatu yang melekat dalam agama islam dan memiliki konsekuensi sendiri dalam agama islam tersebut. Maka pelaksanaannya juga tergantung pada masing-masing pemeluknya. Negara tidak boleh serta merta dalam mencampurinya. Jadi jelas secara konsep demokrasi, tidak ada kewajiban bagi negara untuk menarik zakat kepada rakyatnya.

Ketiga, Fiqih. Sesuai bahasan fiqih yang saya fahami, baik ketika saya kuliah satu semester dengan mata kuliah Hukum Islam, ataupun ketika membaca buku-buku fiqih khususnya fiqih empat mazhab karya Syaikh Abdurahman Al Juzairi, saya dapat memahami bahwa untuk mengeluarkan zakat atas penghasilan seseorang, maka harus benar-benar mencapai nisab. Dan nisab yang disepakati oleh para ulama adalah 20 misqal.

Satu misqal apabila diperkirakan dengan berat kilogram menurut timbangan Indonesia, adalah 4,25 gram. Jadi, 20 misqal itu sama dengan 85 gram emas. Tentang jumlah nisab ini, mayoritas disepakati oleh para ulama, kecuali Mazhab Hambali.

Contoh perhitungannya, apabila Lukman Hakim punya penghasilan Rp 10.000.000/bulan, kemudian pengeluaran rutinnya Rp 5.000.000/bulan, dan harga emas saat itu Rp 500.000/gram. Kemudian penghasilan dikurang pengeluaran, yakni sisa Rp 5.000.000/bulan, kemudian jumlah itu dikali 12 bulan atau satu tahun. Maka terkumpullah Rp 60.000.000. Kemudian hitung nisabnya, jika harga emas saat itu Rp 500.000/gram lalu dikali 85 gram maka nisabnya adalah Rp 42.500.000. Dan sisa penghasilan tersebut selama 1 tahun bearti sudah sampai nisab, maka bolehlah dikeluarkan zakatnya 2,5 ℅. Yakni Rp 1.500.000 dari Rp 60.000.000 tadi. Namun jika sisa penghasilan selama setahun tidak mencapai nisab, atau kurang dari jumlah nisab. Maka tidak wajib baginya untuk mengeluarkan zakat atas penghasilannya tersebut. Perhitungan ini merupakan suatu perhitungan dasar, yang hampir mayoritas dipahami dan disepakati oleh orang-orang yang mempelajari ilmu hukum islam, khususnya pada bab zakat tentang penghasilan.

Lalu timbul pertanyaan, bagaimana dengan para PNS kita? Apakah mayoritas penghasilannya mencapai nisab? Sehingga perlu dibuatkan perpres untuk memotong langsung gaji mereka untuk zakat. Saya pikir untuk mengeluarkan kebijakan tersebut, perlu melakukan wawancara satu persatu kepada setiap PNS yang ada, sehingga bisa memahami kondisi PNS, khususnya pada sisa penghasilannya setiap bulan. Tidak boleh serta merta dipotong begitu saja, tanpa memperhatikan aspek-aspek yang sudah saya paparkan diatas. Kemudian sebelum mengelola dana zakat tersebut, pemerintah juga harus benar-benar mempersiapkan lembaga zakat yang kredibel dan selalu transparan. Agar dana zakat tersebut penyalurannya benar-benar sesuai dengan syariat yang telah diatur dalam islam. Jika tidak mampu melakukan itu, maka lebih bijak jika wacana penerbitan perpres pemotongan gaji PNS untuk zakat, tidak perlu diadakan.

Jakarta, 06 Februari 2018

Oleh : Setiyono
(Pengkaji Sejarah, Hukum dan Demokrasi, Universitas Al Azhar Indonesia)