Jakarta, Aktual.com – Kalimatan Selatan saat ini mengalami kondisi darurat perambahan hutan. Mirisnya, krisis ekologis terjadi secara berkepanjangan di bumi Banua tanpa ada perhatian yang komprehensif dari negara.
Direktur Eksekutif Daerah WALHI Kalimantan Selatan Raden Rafiq menyampaikan, Kalsel acapkali mengalami bencana ekologis serupa banjir yang selalu mengintai masyarakat. Hal ini, katanya, karena separuh wilayah Kalsel menanggung perizinan industri ekstraktif.
Industri ekstraktif adalah sektor ekonomi yang mengambil bahan baku langsung dari alam melalui kegiatan seperti pertambangan, pertanian, perhutanan, perikanan, dan peternakan.
Selain memiliki perkebunan sawit yang luas, Kalsel sendiri merupakan wilayah yang kaya sumber batubara, bijih besi, dan emas. Nyaris 30 persen lebih wilayah Kalsel adalah kawasan tambang.
Rafiq menyampaikan, awal tahun 2025 lalu banjir melanda banyak kabupaten di Kalsel. Menyebabkan ribuan keluarga terdampak dan menimbulkan kerugian besar. Jejangkit, sebuah kecamatan di Barito Kuala, menjadi bukti nyata buruknya bencana karena perkebunan sawit dan pertambangan.
Sempat menjadi lokasi perayaan Hari Pangan Sedunia 2018, kini Jejangkit merana di tengah kemelimpahan sawit. Tak hanya banjir saat musim hujan, bencana kekeringan disertai kebakaran hutan pun kerap menjadi ancaman kala kemarau.
Contoh buruk lainnya akibat industri ekstraktif di Kalsel terjadi di Tabalong dan Balangan. Banyak aktivitas perusahaan di kedua wilayah itu yang melanggar kaidah pertambangan. Korporasi menggunakan jalan raya sebagai sarana distribusi batu bara hingga ke Kalimantan Timur.
Menurutnya, aktivitas ini mengganggu kehidupan masyarakat sekitar karena debunya yang tebal dan keselamatan berkendara yang rentan. Banyak masyarakat yang menjadi korban meninggal akibat tertabrak truk penganggkut batu bara.
Kata Rafiq, aktivitas pertambangan ditambah perkebunan sawit yang memerlukan pembukaan lahan skala besar itulah yang menjadi akar bencana ekologis di Kalsel.
Deforestasi ekstrem, penghancuran ekosistem lahan gambut, dan buruknya tata ruang akibat industri ekstraktif menjadi hantu bagi rakyat Kalsel.
Apa yang Rafiq ungkapkan bukan sekadar omon-omon. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI pernah merilis 890 perusahan yang beroperasi tapi tak memiliki izin kehutanan.
Dari jumlah tersebut, 36 korporasi merupakan perusahaan pertambangan di Kalsel yang menyebar di 38 titik. Cakupan luasannya mencapai ribuan hektare.
Dokumen tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.196/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2023 tentang Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Telah Terbangun di Dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan Tahap XI.
Sebanyak 36 perusahaan pertambangan tersebut beroperasi di kawasan hutan produksi (HP), hutan produksi tetap (HPT), hutan produksi terbatas (HPT), hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), dan hutan lindung (HL).
Luasan lahan ke-36 perusahaan itu bervariasi dari 5 hektare (ha) hingga ratusan ha. Lokasinya berpencar dari mulai Tapin, Tanah Bumbu, Tanah Laut, Kotabaru, hingga Tabalong.
“Alih-alih evaluasi perizinan dan tata kelolanya, pemerintah cenderung membiarkannya. Bahkan, pemerintah justru membuat kebijakan-kebijakan top-down yang baru dan kontroversial seperti melibatkan dominasi peran militer di sektor nonmiliter,” papar Rafiq.
Menurut WALHI, kondisi di Kalsel mencerminkan arah pembangunan nasional yang semakin menjauh dari prinsip keadilan ekologis. Eksploitasi sumber daya alam yang masif tanpa kendali hanya memperburuk krisis ekologis dan mempersempit ruang hidup masyarakat adat.
“Negara tidak bisa lagi menutup mata terhadap dampak sosial dan lingkungan dari kebijakan yang lebih berpihak pada investasi ketimbang keselamatan rakyat dan bumi,” pungkas Rafiq.
Artikel ini ditulis oleh:
Eroby Jawi Fahmi

















