Ilustrasi: Wamen Duduk di Dua Kursi, Konstitusi Diparkir di Laci

Aktual.com, Jakarta – Pemerintah seperti tidak membaca putusan Mahkamah Konstitusi atau pura-pura lupa. Padahal, lembaga pengawal konstitusi ini sudah tegas menyatakan bahwa wakil menteri tak boleh rangkap jabatan, baik di perusahaan negara, swasta, maupun organisasi yang dibiayai APBN/APBD. Namun kenyataannya, beberapa wakil menteri masih nyaman duduk di kursi komisaris BUMN sambil menikmati fasilitas negara lainnya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019, yang dibacakan pada 20 Januari 2021 oleh Ketua MK waktu itu, Anwar Usman. Dalam putusan itu, majelis hakim menyatakan bahwa aturan larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri berlaku pula bagi wakil menteri. Kalimat tersebut tercantum secara eksplisit di halaman 119–120 bagian Pertimbangan Hukum angka 3.13.

“…seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi Menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi Wakil Menteri…,” Putusan MK No. 80/PUU-XVII/2019, halaman 119–120.

Pasal 23 UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menyebut bahwa Menteri dilarang merangkap sebagai komisaris atau direksi BUMN/swasta serta memimpin organisasi yang dibiayai APBN/APBD.

Namun aturan itu semula tidak mencakup Wakil Menteri karena tidak disebutkan secara eksplisit. Dalam uji materi terhadap pasal itu, Mahkamah memang menolak permohonan untuk mengubah norma hukum, namun menyisipkan tafsir konstitusional yang bersifat mengikat.

Sayangnya, tafsir hukum yang sangat jelas dari lembaga sekelas MK tidak dijalankan oleh Presiden dan jajarannya. Padahal, dalam pertimbangannya, MK menegaskan bahwa jabatan Wakil Menteri merupakan bagian dari unsur pimpinan kementerian. Beban kerja yang tinggi dan potensi konflik kepentingan menjadi alasan utama larangan tersebut harus berlaku pula bagi mereka.

Ketidakpatuhan terhadap putusan MK bukan sekadar persoalan etik birokrasi, tetapi bentuk pembangkangan terhadap hukum tertinggi negara.

Sebab, tafsir konstitusional dari Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat semua lembaga negara, termasuk Presiden dan Wakil Presiden. MK dalam pertimbangannya menegaskan, “Penafsiran konstitusional yang telah ditegaskan oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah ini berlaku mengikat sebagaimana layaknya norma dalam Undang-Undang dan oleh karena itu bersifat mengikat umum (erga omnes).”

Jika lembaga eksekutif tetap mengabaikan ketegasan tersebut, maka bukan hanya konstitusi yang dilecehkan, melainkan pula kewibawaan Mahkamah sebagai pengawal dasar hukum negara. Keteladanan dalam menegakkan putusan hukum mestinya dimulai dari puncak kekuasaan, bukan dilalaikan dengan dalih tafsir berbeda.

Sebelumnya, Juhaidy Rizaldy Roringkon sebagai Pemohon mengajukan uji materi terhadap Pasal 23 UU Kementerian Negara, yang mengatur larangan rangkap jabatan bagi Menteri. Pasal itu melarang Menteri merangkap sebagai pejabat negara lain, komisaris atau direksi di perusahaan negara/swasta, serta pimpinan organisasi yang dibiayai oleh APBN atau APBD.

Menurut Pemohon, ketentuan tersebut melanggar sejumlah pasal dalam UUD 1945—yakni Pasal 1 Ayat (3), Pasal 17, Pasal 27 Ayat (1), dan Pasal 28D Ayat (3)—karena tidak mencakup Wakil Menteri. Akibatnya, praktik rangkap jabatan di kalangan pejabat negara, khususnya wakil menteri, dianggap sah dan semakin lazim dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Rangkap jabatan sendiri dipandang sebagai kondisi yang rawan menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan, meski tidak serta-merta merupakan tindak pidana.

Ketika seseorang menduduki lebih dari satu jabatan di waktu bersamaan, terutama di bidang berbeda, integritas pengambilan keputusan dan perlindungan terhadap kepentingan publik bisa terancam.

Dalam permohonannya, Pemohon mengutip Putusan MK No. 80/PUU-XVII/2019, yang sebenarnya telah menegaskan bahwa Wakil Menteri juga dilarang merangkap jabatan komisaris atau direksi di perusahaan negara atau swasta.

Hal ini karena Wakil Menteri merupakan pejabat negara yang diangkat langsung oleh Presiden, sama seperti Menteri, sehingga seharusnya tunduk pula pada larangan yang diatur Pasal 23 huruf b UU Kementerian Negara.

Atas dasar itu, Pemohon meminta Mahkamah agar menyatakan bahwa istilah “Menteri” dalam Pasal 23 harus dimaknai sebagai “Menteri dan Wakil Menteri”. Dengan demikian, redaksinya menjadi:
“Menteri dan Wakil Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN/APBD.”

Pemohon Meninggal Dunia

Kendati demikian, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang diajukan oleh Juhaidy Rizaldy Roringkon, Direktur Eksekutif Indonesia Law & Democracy Studies (ILDES).

Putusan ini dibacakan dalam sidang pleno MK pada Kamis, 17 Juli 2025, yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, bersama delapan hakim konstitusi lainnya, dengan nomor perkara 21/PUU-XXIII/2025.

Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, Mahkamah mengungkap bahwa Pemohon telah meninggal dunia, sesuai dengan surat keterangan dari Rumah Sakit Dr. Sutoyo Jakarta tertanggal 22 Juni 2025 pukul 12.55 WIB.

Oleh sebab itu, Mahkamah menyatakan bahwa permohonan tidak dapat dilanjutkan karena kedudukan hukum (legal standing) Pemohon menjadi tidak relevan.

Dalam uji materi, kerugian hak konstitusional yang dijadikan dasar permohonan harus melekat dan tetap eksis selama proses pemeriksaan. Karena Pemohon telah wafat, maka syarat kumulatif untuk menyatakan adanya kerugian konstitusional tidak terpenuhi.

“Salah satu syarat agar seseorang memiliki kedudukan hukum adalah bila permohonan dikabulkan, maka hak konstitusional yang didalilkan akan dipulihkan atau tidak lagi terancam. Namun karena Pemohon telah meninggal dunia, maka semua syarat mengenai kerugian konstitusional menjadi gugur,” terang Saldi dalam pembacaan putusan.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto