Semarang, Aktual.co — Kementerian Perdagangan yang mengeluarkan larangan pakaian bekas impor, belum sepenuhnya dipatuhi oleh pedagang. Terbukti dengan masih adanya pedagang pakaian bekar impor itu di wilayah Semarang, Jawa Tengah.

Salah satunya lokasi penjualan pakaian bekas impor itu ada di Jalan Abdurahman Saleh, Kota Semarang.

Dari pantauan di lapangan, ternyata masih banyak warga Semarang yang mencari dan membeli pakain tersebut, dengan mayoritas di antara mereka adalah kaum perempuan. Mereka bahkan kerap memburu jenis pakaian dalam impor dengan merk-merk ternama.

Padahal, Kemendag telah melarang penjualan pakaian tersebut karena pakaian tersebut mengandung bakteri.

“Asyiknya nyari pakaian di sini itu lengkap. Pakaian dalam seperti tangtop aja ada. Dan banyak dicari para wanita, ” kata Evi (25), salah satu pembeli ditemui ketika ingin membeli pakaian bekas impor, Jumat (6/2).

Diakuinya, membeli pakaian bekas impor ini, seperti mencari jarum dalam jerami. Tapi jika beruntung, pembeli akan mendapatkan jenis pakaian dengan kualitas bagus dengan harga yang sangat miring.

“Kalau teliti, kita bisa dapat barang original lho. Seperti merk Converse, Adidas dan lain-lain. Kalau biasanya harganya Rp200 ribu, disini cuma Rp15 ribu,” ujar mahasiswi Universitas Swasta semester enam di Semarang ini.

Menanaggapi imbauan pemerintah terkait larangan membeli pakaian bekas impor, Evi dan sejumlah temannya bahkan menanggapi santai. Sebagai seorang mahasiswi yang mengerti betul prinsip ekonomi, kabar bakteri mengerikan yang melekat dalam pakaian impor bekas, justru tidak menjadi ketakutan tersendiri.

“Iya tahu kabar itu. Tapi kita sudah biasa, kalau barang seperti ini kan harus dicuci dan di godog pakai air panas. Jadi itu bisa membunuh bakteri, baru kita pakai,” beber warga Manyaran itu.

Selama menjadi konsumen pakaian impor bekas, Evi dan teman-temannya tidak pernah menemukan adanya kendala seperti penularan penyakit yang disebabkan karena mengenakan pakaian. Terlebih, pakaian jenis ini sangat akrab dengan kantong mahasiswa yang ekonomis.

“Jadi nggak begitu takut. Teman-teman belum pernah ada yang punya pengalaman penyakit ini itu. Ya mungkin, anak-anak yang pergaulannya ke atas mereka nggak mau. Tapi tidak semua ekonomi sama,” ujar dia.

Artikel ini ditulis oleh: