Jakarta, Aktual.com — Menulis dalam majalah pengobar kemajuan, Bintang Hindia (volume no. 14/1905: 159), Abdul Rivai mendefinisikan ‘kaoem moeda’ sebagai ‘semua orang Hindia [muda atau tua] yang tak lagi berkeinginan untuk mengikuti atoeran koeno, namun sebaliknya bersemangat untuk mencapai rasa percaya diri melalui pengetahuan dan ilmoe’.

Munculnya istilah ‘kaoem moeda’ sendiri merefleksikan usaha intelektual dari kaum intelegensia baru untuk menemukan sebuah batas spasial imajiner antara diri mereka dengan aristokrasi tua dengan cara mengkonstruksi penanda khusus bagi para anggota dari kedua kelompok tersebut. Sebutan bagi para anggota bangsawan ‘tua’ ialah ‘bangsawan oesoel’ dan bagi para anggota bangsawan ‘muda’ ialah ‘bangsawan pikiran’.

Dalam terbitan pertama majalah itu pada tahun 1902, Rivai menulis sebuah artikel mengenai ‘bangsawan pikiran’ yang di dalamnya, setelah mengidentifikasi dua macam bangsawan yang ada dalam masyarakat Eropa, yaitu ‘bangsawan oesoel’ dan ‘bangsawan pikiran’, dia kemudian menyatakan: “Tak perlu memperpanjang perbincangan kita mengenai ‘bangsawan oesoel’ karena kemunculannya memang telah ditakdirkan. Jika nenek moyang kita terlahir sebagai bangsawan, kita pun bisa disebut sebagai bangsawan bahkan meskipun pengetahuan dan prestasi kita tak ubahnya seperti pepatah ‘katak dalam tempoeroeng’… Saat ini, pencapaian dan pengetahuan-lah yang akan menentukan posisi seseorang. Inilah situasi yang melahirkan munculnya ‘bangsawan pikiran’.”

Begitu inteligensia baru ini menemukan sebuah nama khusus, hal ini menciptakan sebuah ‘kode’, suatu pola untuk menandai perbedaan-perbedaan, dan sebuah peta yang memberi sang aktor sebuah arah dan petunjuk mengenai apa yang diharapkan dan apa yang harus dilakukan. Meskipun kode-kode semacam itu hanya menawarkan suatu simplikasi secara semena-mena atas sebuah situasi, namun realitas dan pergulatan sosial tak akan bisa dijelaskan dan dipahami tanpa kode-kode itu. Hanya lewat keberadaan rujukan-rujukan (referents) sosial itulah, proses, tindakan dan komunikasi bisa dipahami. Seperti yang ditegaskan oleh seorang sosiolog Jerman, Bernhard Giesen: ‘Kode-kode klasifikasi sosial merupakan elemen inti dalam konstruksi tentang kebersamaan dan perbedaan, identitas kolektif dan diferensiasi. Tak ada batas yang bisa memiliki substansi tanpa kode-kode’ (Giesen 1998: 13).

Keilmuan-Kemajuan sebagai Identitas Kaum Muda

Berdasarkan pada penciptaan kode ‘bangsawan pikiran’ itu, sebuah konstruksi ikutan dibuat untuk mempertautkan kode ‘bangsawan pikiran’ itu dengan suatu komunitas imajiner dan identitas kolektif yang baru. Sementara para anggota dari ‘oesoel’ diasosiasikan dengan komunitas ‘kaoem toea’ atau ‘kaoem koeno’, para penganjur ‘pikiran’ dipertautkan dengan komunitas ‘kaoem moeda’.

Istilah kaoem moeda segera digunakan secara luas terutama dalam liputan media massa dan dalam wacana dari ‘bangsawan pikiran’ yang baru lahir itu. Istilah kaoem moeda merepresentasikan sebuah entitas kolektif dari mereka yang berbagi suatu titik kebersamaan (common denominator) dalam ambisi mereka untuk memperbaharui masyarakat Hindia melalui jalur keilmuan-kemadjoean.

Sejak itu, istilah kaum muda atau pemuda selalu dirapatkan dengan kualitas pengetahuan/keterpelajaran seperti tercemin dalam kemunculan entitas “pemuda-pelajar”. Istilah Belanda ‘jong’, yang kerap digunakan untuk menamai satuan-satuan organisasi pemuda-pelajar pada dekade awal abad ke-20, tidak merujuk pada sembarang pemuda, melainkan memiliki konotasi khusus pada “yang muda-yang terpelajar-yang berilmu”. Jenis pemuda macam inilah yang kemudian melahirkan ‘Sumpah Pemuda’ pada 28 Oktober 1928, sebagai tonggak penciptaan kebangsaan Indonesia. (Bersambung)

 

Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual