Ruang Publik Indonesia sebagai Ruang Publik Inteligensia (Kaum Berilmu)

Fakta bahwa praktik-praktik diskursif dan konstruksi simbolik yang diciptakan berlangsung dalam media massa dan klub-klub sosial menunjukkan bahwa pembentukan ‘bangsawan pikiran’ dan terbangunnya identitas kolektif dari ‘kaoem moeda’ dimungkinkan karena adanya ruang publik. Istilah ‘ruang publik’ (public sphere) sendiri berarti sebuah domain kehidupan sosial ‘dimana di dalamnya opini publik bisa terbentuk’ (Habermas 2000: 288).

Dalam kaitan ini, kemunculan ruang publik modern di Indonesia pun memiliki kaitan erat dengan kemunculan kaum terdidik—yang haus pengetahuan–sebagai stara sosial baru.   Dengan demikian, proses pembentukan ruang publik modern di Indonesia ini memiliki ciri spesifik yang membedakannya dengan awal kemunculan ruang publik di Eropa Barat.

Dalam konteks Eropa abad ke-17 dan ke-18, kemunculan ruang publik ini merupakan bagian integral dari kemunculan kelas borjuis berbasis uang (moneyed bourgeois class). Oleh karena itu, Jurgen Habermas menyebutnya sebagai  ‘bourgeois public sphere’. Ruang publik ini terpusat di seputar wacana kritis mengenai karya-karya sastra (literary works) dari keluarga borjuis yang berorientasi khalayak dalam institusi-institusi sosial yang baru terbentuk di wilayah publik: seperti klub, jurnal, majalah, kafe, salon, dan cenacles (ruang besar lantai atas). Ruang publik semacam ini merupakan sebuah tempat pertemuan bagi lingkaran-lingkaran intelektual dari masyarakat (merkantil) Eropa yang terurbankan. Di ruang-ruang seperti itu, individu-individu berkumpul ‘untuk melangsungkan perbincangan secara bebas dan sederajat dalam sebuah wacana yang rasional, yang mempertatukan mereka ke dalam suatu badan yang kohesif, sehingga pertimbangan-pertimbangan yang mereka munculkan dalam wacana tersebut mungkin sekali membentuk suatu kekuatan politik’ (Eagleton 1997: 9).

Sementara itu, bibit-bibit kelahiran ruang publik modern di Hindia dimungkinkan oleh  dampak ikutan dari penerapan ekonomi Liberal pada paruh akhir abad ke-19, yang bertanggungjawab dalam mendorong pendirian pers-pers vernakular (berbahasa lokal)  serta dalam penyebarluasan klub-klub sosial bergaya Eropa. Lewat proses pendidikan dan mimicry, dengan cara membaca pers vernakular yang didirikan oleh orang Eropa dan kemudian juga oleh orang keturunan China, serta dengan membentuk perhimpunan-perhimpunan bumi-putera berorientasi kemajuan, kaum inteligensia Indonesia pada akhirnya bisa menciptakan ruang publiknya sendiri.

Sedini awal dekade pertama abad ke-20, ruang publik modern Indonesia, yang telah muncul secara embrionik pada akhir abad ke-19,  mulai terbentuk dan dikonsolidasikan. Sejauh mengenai perkembangan pers vernakular, dekade pertama abad ke-20 merupakan momentum paling penting dalam sejarah keterlibatan kaum inteligensia Indonesia dalam bidang tersebut. Pada dekade ini, anggota-anggota dari kaum inteligensia Indonesia—yang sebelumnya bekerja untuk industri pers asing—mulai sanggup mendirikan pers yang sepenuhnya dimiliki dan dikelola oleh mereka sendiri. Para jurnalis-inteligentsia yang paling terkemuka pada masa itu berasal dari para pelajar atau mantan pelajar sekolah Dokter-Djawa/STOVIA. Di antara mereka, yang paling terkenal ialah Abdul Rivai (lahir tahun 1871) dan Tirto Adhi Surjo (1880-1918).

Dengan demikian, model asal (archetype) dari ruang publik modern di Hindia tumbuh dari aktivitas-aktivitas yang dijalankan oleh inteligensia sebagai sebuah strata baru dalam masyarakat. Oleh karenanya, lebih tepat jika menyebutnya sebagai ‘ruang publik inteligensia’. Media, klub dan organisasi sosial-politik pada awal pertumbuhan ruang publik ini memang digagas, diorganisasikan dan dijalankan oleh kaum inteligensia.(Bersambung)

 

Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual