Jakarta, Aktual.com – Saudaraku, masalah penumpulan otak dan etik dalam kehidupan bangsa boleh jadi karena dunia politik dan kebudayaan kita dirundung surplus kegaduhan, defisit kesunyian.
Demokrasi dirayakan dengan pesta jorjoran, miskin substansi dan refleksi; budaya dipadati tontonan ingar-bingar, kurang tuntunan etis dan estetis; agama diekspresikan dalam kerumunan dan kebisingan, miskin perenungan dan penghayatan.
Dalam kebisingan pesta pora elit politik, watak menimbun dan snobisme kalangan atas menempatkan negara sebagai kuburan bagi rakyatnya. Dalam konsumerisme yang dipromosikan industri budaya, roh kebudayaan tersingkir, meninggalkan kemajuan fisik dengan keterbelakangan mental. Dalam ketuhanan yang gaduh, fundamen moral terkubur formalisme keagamaan. Dalam kegaduhan, apakah bisa dihayati ketuhanan?
Inti ketuhanan adalah bercengkerama dengan kekudusan (numinous). Hanya dalam sunyi, kedirian mudah menyatu dalam kekudusan.
Secara kuat hal ini dibahasakan Amir Hamzah, ”sunyi itu kudus”. Dalam kesunyian kesunyatan, menurut Abraham Maslow, kebatinan mikrokosmos menyatu dalam kebatinan makrokosmos; tidak ada oposisi, kesenjangan, dan perbedaan antara ego dan kosmos: bahwa bahasa jiwa merupakan vibrasi dari semesta. Dan suatu upaya aktualisasi diri dalam puncaknya yang tertinggi dan terdalam adalah usaha meleburkan diri dengan kosmos bagi penemuan kebenaran, keindahan, dan keadilan tertinggi.
Patut direnungkan, apakah bangsa ini benar-benar religius? Apakah sila Ketuhanan benar-benar menjadi landasan moralitas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara? Nama Tuhan kerap diseru, tetapi Tuhan sendiri sebagai manifestasi kebenaran, keindahan, dan keadilan tertinggi seakan menjauh, terusir oleh kedangkalan dan kegaduhan.
Dalam suasana peringatan Maulid Nabi dan Hari Natal, mari kita lahirkan kembali spirit ketuhanan yang welas asih lewat khidmat kesunyian. Seperti kata ’Ali bin Abi Thalib, ”Sepatutnya seorang hamba merasakan kehadiran Tuhan pada waktu sendirian (ketika tidak dilihat orang banyak), memelihara dirinya dari segala cela, dan bertambah kebaikannya ketika usianya bertambah tua.”
Hanya dalam kesunyian pribadi yang bertanggung jawab, ketuhanan bisa membawa kehidupan publik yang damai dan sentosa. Tentram di hati, sejahtera di bumi. (Yudi Latif, Makrifat Pagi)
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid