Dampak arus globalisasi yang merasuki sektor politik, ekonomi, dan budaya sudah banyak dibahas dan disorot. Namun mengaitkan antara psikologi dan dampak globalisasi, baru segelintir yang secara serius membahasnya.Salah satunya adalah Fikri Suadu, yang beberapa saat lalu menerbitkan bukunya  yang bertajuk Neuron to Nation, Narasi Pembangunan Bangsa Berbasis Mental (Otak) Manusia..

Fikri Suadu. (foto/istimewa)
Fikri Suadu. (foto/istimewa)

Fikri Suadu, merupakan doker umum lulusan Fakultas Kedokteran, Universitas Samratulangi, Manado, Sulawesi Utara. Serta penyandang gelar master dari Fakultas Psikologi Univrsitas Indonesia. Putra kelahiran Tompasobaru Kabupaten Minahasa Selatan ini, pernah jadi dosen pada Fakultas Kedokteran YARSI Jakarta, dan Direktur Tabloid Perempuan Indonesia.Neuron to Nation, Narasi Pembangunan Bangsa Berbasis Mental (Otak) Manusia.

Berikut petikan analisisnya yang terangkum dalam buku karyanya tersebut:

Arus globalisasi semakin merasuki kondisi jkebangsaan negeri kita saat ini baik di matra ekonomi, politik, pendidikan soisla-budaya dan bahkan kesehatan. Hal itu disebabkan kuatnya kehadiran kapitalisme Barat yang melekat pada arus globalisasi itu sendiri. Sehingga berhasil mendikte skema politik dan ekonomi nasional , sehingga melumpuhkan kemampuan negara untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan rakyatnya.

Globalisasi dan kapitalisme yang merasuki sektor politik, ekonomi, budaya dan kesehatan, pada perkembangannya telah menciptakan sebuah tatanan baru yang bersifat erotif terhadap tatanan budaya, agama, masyarakat, dan bahkan keluarga. Dengan makna lain, tatanan masyarakat dan tatanan budaya yang selama ini sudah mapan, mengalami goncangan.

Inilah yang saya sebut Psikokapitalisme. Dalam dunia kedokteran, sindrom diartikan sebagai kumpulan dari beberapa ciri-ciri klinis yang dapat meyakinkan dokter dalam menegakkan diagnosis. Sedabgjab psiko merupakan gejala psikologis berupa sikap manipulatif, egosentris, pembohong, frustrasi dan munafik.

Neuron To Nation

Adapun istilah psikokapitalisme merupakan upaya untuk  menjelaskan berbagai gejal baru berkaitan dengan reaksi dan gaya hidup masyarakat yang marak terjadi sebagai akibat langsung dari kesenjangan akibat hegemoni kapitalisme global.

Jika globalisasi bisa diibaratkan sebagai ledakan, maka globalisasi telah menghasilkan puing-puing kekuatan ekonomi, budaya, politik dan ideologi kapitalisme global, berserakan ke pelbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Puing-Puing globalisasi yang semula untuk pembebasan, kemerdekaan, dan kemanusiaan, kemudian berubah jadi tirani yang berujung pada isolasi, pembodohan, matinya inisiatif, dan ancaman disintegrasi bangsa.

Hal ini secara jelas bisa dibaca melalui proyek otonomi daerah yang banyak melahirkan kesenjangan masyarakat melalui praktek oligarki kekuasaan politik korup di tingkat kabupaten kota, Bahkan di daerah yang punya kandungan kekayaan alam cukup besar dan melimpah, telah mengarah ada upaya makar.

Pada sisi lain, puing-puing globalisasi telah secara radikal membatasi berbagai kemungkinan terwujudnya demokrasi yang progresif, berkeadilan dan substansial baik di pusat maupun daerah.

Campur-tangan korporasi-korporasi dalam proses demokrasi dan politik, telah memicu konflik sosial dan “membumikan” politik uang baik dalam pemilu maupun pemilukada.

Sedangkan di sektor sosial-budaya, sikap individualistic dan egoistik tanpa memikirkan orang lain telah menjadi gaya hidup baru di masyarakat. Sehingga masyarakat semakin egoistik, narsistik(rasa cinta diri yang besar), agresif-reaksioner dan radikal; namun tanpa tuntunan nilai-nilai ideal yang jelas.

Maka itu kita harus kembali ke Pancasila untuk mematahkan hegemoni kapitalsme global  yang secara kronis dan sistematis telah menembus seluruh proses penyelenggaraan negara.

Hendrajit