Soekarno Sebagai Penggali Pancasila (Aktual/Ilst)
Soekarno Sebagai Penggali Pancasila (Aktual/Ilst)
Yudi Latif Cendekiawan NU Pengamat Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM) 27-01-2015
Oleh: Yudi Latif

Sosialisme Soekarno tidak seturut dengan komunisme setidaknya karena dua hal. Pertama, karena ia percaya pada demokrasi. Kedua, ia tidak bisa memasukkan konsep materialisme yang ekstrim karena bangsa Indonesia menurutnya adalah bangsa yang bertakwa kepada Tuhan.

Selain itu, sosialisme Soekarno juga mengupayakan kontekstualisasi sosialisme ke dalam realitas sosio-historis keindonesian, karena bangsa ini menurutnya memiliki basis sosiabilitas dan karakteristik relasi produksinya tersendiri. Selengkapnya Soekarno menyatakan: Mendengar aku berbicara tentang demokrasi, seorang pemuda bertanya apakah aku seorang demokrat. Aku menjawab, “Ya, aku sangat pasti seorang demokrat.” Kemudian dia berkata, “Tetapi dalam pandanganku Anda seorang sosialis.” “Ya, aku sosialis,” jawabku. Dia menyimpulkan semua itu dengan berkata, “Kalau begitu Anda pasti seorang sosialis-demokrat.” Mungkin inilah salah satu cara untuk memberi nama padaku.
Bangsa Indonesia berbeda dengan bangsa lain di dunia. Sosialisme kami adalah sosialisme yang tidak memasukkan konsep materialisme yang ekstrim, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang takut kepada Tuhan dan mencitai Tuhan. Sosialisme kami adalah campuran. Kami mengambil persamaan politik dalam Declaration of Independence dari Amerika Serikat. Kami mengambil persamaan spiritual dari Islam dan Kristen. Kami mengambil persamaan ilmiah dari Marx. Ke dalam campuran ini kami tambahkan kepribadian nasional: Marhaenisme. Kemudian kami memercikkan ke dalamnya gotong-royong, yaitu semangat, hakekat dari bekerja bersama, hidup bersama dan saling bantu-membantu. Kalau ini dicampurkan semua, maka hasilnya adalah Sosialisme Indonesia. (Adams, 2011: 90).

Kontekstualisasi Marxisme-sosialisme ke dalam realitas sosial-historis keindonesiaan dipandang perlu dalam rangka menghadirkan sosialisme yang berakar dan berjalan. Dalam esainya “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”, Soekarno berargumen bahwa Marxisme sendiri mengalami perubahan baik secara taktis maupun teoretis. “Sebab taktik Marxisme yang baru, tidaklah menolak pekerjaan bersama-sama dengan Nasionalis dan Islamis di Asia” (Soekarno, 1926; 1964: 17). Secara teoretis, menurutnya, “Teori Marxisme sudah berobah pula. Memang seharusnya begitu!” Selanjutnya, Soekarno menyatakan:
Marx dan Engels bukanlah nabi-nabi, yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala zaman. Teori-teorinya haruslah diobah, kalau zaman itu berobah; teori-teorinya haruslah diikutkan pada perobahannya dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut. Marx dan Engels sendiripun mengerti akan hal ini; mereka sendiripun dalam tulisan-tulisannya sering menunjukkan perobahan faham ataupun perobahan tentang kejadian-kejadian pada zaman mereka hidup. Bandingkan pendapat-pendapatnya sampai tahun 1847; bandingkanlah pendapatnya tentang arti ‘Verelendun’ sebagai yang dimaksudkan dalam ‘Manifes Komunis’ dengan pendapat tentang arti perkataan itu dalam ‘Das Kapital’,–maka segeralah tampak pada kita perobahan faham atau perobahan perindahan itu. Bahwasanya: benarlah pendapat sosial-demokrat Emile Vandervelde, dimana ia mengatakan, bahwa ‘revisionisme’ itu tidak mulai dengan Bernstein, akan tetapi dengan Marx dan Engels adanya.

Dalam pandangan Soekarno, keadaan kapitalisme di Eropa berbeda dengan keadaan kapitalisme di Indonesia. Di Eropa, kapitalisme yang berkembang terutama kapitalisme kepabrikan, sedang di sini ia adalah kapitalisme pertanian; di Eropa, kapitalisme bersifat industrial, sedang di sini sebagian besar bersifat perkebunan. Oleh karena itu, di Eropa dampak buruk kapitalisme kepabrikan-industrial melahirkan terutama kaum proletar; yakni kaum yang tidak memiliki alat produksi. Adapun di sini, kapitalisme pertanian-perkebunan menghasilkan kaum tani-melarat; pada umumnya mereka masih memiliki alat produksi (lahan, cangkul dan sebagainya), namun sangat terbatas dan hasilnya tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya (Soekarno, 1926; 1964: 256).

Dengan mempertimbangkan hal itu, Soekarno berkesimpulan bahwa konsep revolusi sosialisme yang dialamatkan kepada kaum proletar tidak bisa sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Secara kebetulan, menurut pengakuannya, ketika dia sedang berjalan di areal persawahan, di desa Cigereleng, sebelah selatan kota Bandung, sekonyong-konyong melihat seorang lelaki yang sedang menggarap sebidang tanah. Ketika Soekarno bertanya, ini tanah siapa, cangkul siapa, gubuk siapa dan hasilnya taninya untuk siapa, orang itu menjawab: “punya saya dan untuk saya”. Dalam pikiran Soekarno, “Orang ini bukan proletar, tetapi miskin, seperti 95% daripada rakyat Indonesia.” Ketika Soekarno menanyakan namanya, orang itu menjawab, “Marhaen”. Nama ini, menurut pengakuan Soekarno, memberi ilham kepadanya: “Kalau begitu, semua rakyat Indonesia yang miskin ini saya namakan Marhaen, ya, yang proletar yang bukan proletar, yang buruh, yang tani, yang nelayan, yang tukang gerobak, yang pegawai, pendeknya yang kecil-kecil ini semua, Marhaen” (Soekarno, 1958 I: 25). Dari sanalah, Soekarno lantas menyebut sosialisme ala Indonesia itu dengan istilah “Marhaenisme”.

Tahun 1930, sebagai Ketua Partai Nasional Indonesia yang dijebloskan ke penjara Banceuy (Bandung), karena tuduhan subversif (rencana pemberotankan bersenjata), Soekarno memiliki momen perenungan untuk mengkonseptualisasikan Marhaenisme, yang dalam perkembangannya menjadi landasan perumusan dasar negara. Dalam pengakuannya dikatakan:

Dalam kuburanku yang gelap di Banceuy, prinsip-prinsip yang akan menjadi dasar dari republik sudah mulai tampak dalam pikiranku. Aku tahu, kami tidak dapat mendasarkan bangsa kami pada Deklarasi Kemerdekaan Amerika. Juga tidak pada Manifesto Komunis. Kami tidak dapat meminjam pandangan hidup bangsa lain, termasuk Tenno Koodo Seishim dari jepang. Marhaenisme Indonesia tidak dapat disamakan dengan konsep bangsa lain. Dari tahun ke tahun aku mempertimbangkannya dalam pikiranku (Adams, 2011: 239-40).

Setelah dipenjarakan di Banceuy yang berakhir di penjara Sukamismin pada 31 Desember 1931, Soekarno menerbitkan serangkaian tulisan yang dipublikasikan pada 1933, “Mentjapai Indonesia Merdeka”, “Marhaen dan Marhaenis”, “Marhaen dan Proletar”. Dalam tulisan-tulisan tersebut, Soekarno mendefinisikan Marhaenisme sebagai asas dan cara perjuangan sosialisme ala Indonesia berlandaskan prinsip “sosio-nasionalisme” dan “sosio-demokrasi”, yang menghendaki “hilangnya tiap-tiap kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme”. Sosio-nasionalisme yang dia maksudkan adalah semangat kebangsaan yang menjunjung tinggi perikemanusiaan kedalam dan keluar, “yang tidak mencari ‘gebyarnya’ atau kilaunya negeri keluar saja, tetapi ia haruslah mencari selamatnya semua manusia”. Adapun ”sosio-demokrasi” adalah demokrasi yang memperjuangkan keadilan sosial, yang tidak hanya mempedulikan hak-hak sipil dan politik, melainkan juga hak ekonomi; ”demokrasi sejati jang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki” (1932; 1964: 175).

Tahun 1934, Soekarno diasingkan ke Ende, daerah terpencil di Pulau Flores, yang memberinya banyak waktu untuk merenung dan mematangkan konsepsi “sosio-nasionalisme” dan “sosio-demokrasi” itu dalam suasana kesadaran keagamaan yang lebih mendalam. Soekarno menyatakan: Di Ende yang terpencil dan membosankan itu aku memiliki banyak waktu untuk berpikir. Di depan rumahku tumbuh sebatang pohon kluwih. Berjam-jam lamanya aku duduk bersandar pada pohon itu, memanjatkan harapan dan keinginan. Di bawah dahan-dahannya aku berdoa dan berpikir, mengenai suatu hari…suatu hari….Itu adalah perasaan yang sama yang menguasai MacArthur di kemudian hari. Dengan setiap sel syaraf berdenyut dalam seluruh tubuhku, aku merasakan bahwa bagaimana pun juga—di mana saja—kapan saja—aku akan kembali. Hanya semangat patriotisme yang menyala-nyala itu yang masih berkobar di dalam dadaku, yang membuat aku terus hidup.” (Adams, 2011: 162-163).

Suasana keterasingan menciptakan kesadaran religiusitas. Kesadaran ini mendorongnya lebih banyak belajar agama yang rasa penasarannya sedikit terobati dengan pasokan buku-buku agama dan surat-menyuratnya dengan tokoh-tokoh keagamaan, terutama Ahmad Hassan, pemimpin Persatuan Islam (Persis). Pemahaman kehidupan keagamaannya juga meluas lewat perjumpaannya dengan para pastor Katholik di Ende.

Kesadaran religiusitas ini lantas memberikan dimensi tambahan terhadap Marhaenisme, selain asas “sosio-nasionalisme” dan “sosio-demokrasi” . Pada titik ini, kandungan Pancasila telah menemukan bentuk awalnya. Dalam Pengakuan Soekarno dikatakan:
Di Pulau Flores yang sepi, di mana aku tidak memiliki kawan, aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di bawah sebatang pohon di halaman rumahku, merenungkan ilham yang diturunkan oleh Tuhan, yang kemudian dikenal sebagai Pancasila (Adams, 2011: 240).

Bersamaan dengan pertumbuhan pemikiran Soekarno, usaha intelektual untuk mencari sintesis dari keragaman anasir keindonesiaan menemukan momentumnya lewat “Sumpah Pemuda” (28 Oktober 1928), dengan visinya yang mempertautkan segala keragaman itu ke dalam kesatuan tanah air dan bangsa dan dengan menjunjung bahasa persatuan. Lewat Sumpah Pemuda, kaum muda berusaha menerobos batas-batas sentimen etno-religius (etno-nationalism) dengan menawarkan fantasi inkorporasi baru berdasarkan konsepsi kewargaan yang menjalin solidaritas atas dasar kesamaan tumpah darah, bangsa dan bahasa persatuan (civic nationalism). Visi Sumpah Pemuda ini amat penting, karena memberi kemungkinan kepada segenap penduduk Indonesia menjadi pribumi, bahkan bagi mereka yang berlatar imigran.

Dalam perkembangannya, rintisan gagasan-gagasan yang disemai di ruang publik itu memiliki kakinya tersendiri; mempengaruhi pemikiran-pemikiran semasa dan meninggalkan jejak pada generasi selanjutnya. Dalam proses pertukaran pemikiran, secara horizontal antarideologi semasa dan secara vertikal antargenerasi, setiap tesis tidak hanya melahirkan anti-tesis, melainkan juga sintesis. Maka akan kita dapati, betapapun terjadi benturan antarideologi, karakter keindonesiaan yang serba mencerap dan menumbuhkan, pada akhirnya cenderung mengarahkan keragaman tradisi pemikiran itu ke titik sintesis.
Endapan pemikiran sebagai hasil pergumulan sejarah yang tersimpan di laci ingatan para pendiri bangsa itu mempermudah mereka dalam merespons tantangan untuk merumuskan dasar negara. Dengan mengurai kembali jaringan memori kolektif ke belakang dan ke samping, meresapi persamaan nasib dan impian kemerdekaan serta pertautan genealogis dan kesatuan geo-politik, masing-masing pendukung aliran politik memahami titik-titik persamaannya secara substantif, sehingga dapat mengatasi perbedaan identitas masing-masing.

Oleh karena itu, kategorisasi yang bersifat mutual exclusive (saling mengucilkan) antara “golongan kebangsaan” dan “golongan Islam”, dengan identifikasi turunannya bahwa yang satu disebut pro-Pancasila dan yang lain kontra-Pancasila, sesungguhnya merupakan kategorisasi yang bersifat semena-mena. Dalam kenyataannya, baik anggota golongan kebangsaan maupun golongan Islam tidaklah monolitik; pada masing-masing golongan itu selalu ada orang-orang yang berdiri pada posisi antara (liminal) yang berperan sebagai jembatan penghubung. Lebih dari itu, secara substantif, kedua golongan memiliki kesepahaman yang luas. Hal ini terbukti bahwa para pengusul untuk setiap prinsip (sila) dari dasar negara dalam BPUPK sama-sama datang baik dari “golongan kebangsaan” maupun “golongan Islam”.

Fase Perumusan
Perumusan dasar negara Indonesia merdeka mulai dibicarakan pada masa persidangan pertama BPUPK (29 Mei- 1 Juni 1945). BPUPK sendiri didirikan pada 29 April 1945, menyusul pernyataan Perdana Menteri Jepang, Kuniaki Koiso, pada 7 September 1944, yang mengucapkan janji historisnya bahwa Indonesia pasti akan diberi kemerdekaan “pada masa depan”. Dalam rancangan awal Jepang, kemerdekaan akan diberikan melalui dua tahap: pertama melalui BPUPK kemudian disusul oleh pendirian Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tugas BPUPK hanyalah melakukan usaha-usaha penyelidikan kemerdekaan, adapun tugas penyusunan rancangan dan penetapan UUD menjadi kewenangan PPKI. Tetapi skenario ini berubah karena keberanian dan kreativitas para pemimpin bangsa yang berhasil menerobos batas-batas formalitas.
Jumlah keanggotaan badan ini semula 63 orang, kemudian bertambah menjadi 69 orang. Jepang membagi anggota BPUK menjadi lima golongan: golongan pergerakan, golongan Islam, golongan birokrat (kepala jawatan), wakil kerajaan (kooti), pangreh praja (residen/wakil residen, bupati, wali kota), dan golongan peranakan: peranakan Tionghoa (4 orang), peranakan Arab (1 orang), dan peranakan Belanda (1 orang). Tidak semua anggota BPUPK ini terdiri dari kaum pria, karena ada 2 orang perempuan (Ny. Maria Ulfa Santoso dan Ny. R.S.S. Soenarjo Mangoenpoespito).

Oleh karena itu, istilah founding fathers tidaklah tepat. Alhasil, meskipun struktur keanggotaan BPUPK ini tidak memuaskan semua kalangan, unsur-unsur perwakilannya cukup merepresentasikan keragaman golongan sosial-politik yang ada di Indonesia pada masa itu.

Dalam merespons permintaan Radjiman mengenai dasar negara Indonesia, sebelum pidato Soekarno pada 1 Juni, anggota-anggota BPUPK lainnya telah mengemukakan pandangannya. Pentingnya nilai ketuhanan sebagai fundamen kenegaraan antara lain dikemukakan oleh Muhammad Yamin, Wiranatakoesoema, Soerio, Soesanto Tirtoprodjo, Dasaad, Agoes Salim, Abdoelrachim Pratalykrama, Abdul Kadir, K.H. Sanoesi, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Soepomo dan Mohammad Hatta. Pentingnya nilai kemanusiaan sebagai fundamen kenegaraan antara lain dikemukan oleh Radjiman Wediodiningrat, Muhammad Yamin, Wiranatakoesoema, Woerjaningrat, Soesanto Tirtoprodjo, Wongsonagoro, Soepomo, Liem Koen Hian, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo. Pentingnya nilai persatuan sebagai fundamen kenegaraan dikemukakan antara lain oleh Muhammad Yamin, Sosrodingrat, Wiranatakoesoema, Woerjaningrat, Soerio, dan Seosanto Tirtoprodjo, A. Rachim Pratalykrama dan Soekiman, Abdul Kadir, Soepomo, Dahler, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo. Pentingnya nilai-nilai demokrasi permusyawaratan sebagai fundamen kenegaraan antara lain dikemukakan oleh Muhammad Yamin, Woerjaningrat, Soesanto Tirtoprodjo, Abdoelrachim Pratalykrama, Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Soepomo. Pentingnya nilai-nilai keadilan/kesejahteraan sosial sebagai fundamen kenegaraan dikemukakan antara lain oleh Muhammad Yamin, Soerio, Abdoelrahim Pratalykrama, Abdul Kadir, Soepomo dan Ki Bagoes Hadikoesoemo.

Dengan demikian, tampak jelas bahwa secara substantif, semua prinsip dasar negara yang diajukan itu sama-sama diusung baik oleh mereka yang berasal dari golongan kebangsaan maupun golongan Islam.

Meski demikian, prinsip-prinsip yang diajukan itu masih bersifat serabutan; belum ada yang merumuskannya secara sistematik dan holistik sebagai suatu dasar negara yang koheren. Muhammad Yamin dan Soepomo barangkali agak mendekati apa yang diminta oleh Radjiman. Secara eksplisit atau implisit Yamin dan Soepomo mengemukakan pentingnya prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan/kesejahteraan sebagai fundamen kenegaraan. Masalahnya, dalam kategorisasi yang dikemukakan oleh Yamin, tidak semua prinsip itu dia masukkan sebagai dasar negara. Dalam kategorisasinya, “permusyawaratan”, “perwakilan”, dan “kebijaksanaan” (“rasionalisme”) disebut sebagai “dasar” (“dasar yang tiga”). Sementara itu, “kebangsaan”, “kemanusiaan” dan “kesejahteraan” disebut sebagai “azas”. Di bagian lain, “perwakilan” digolongkan sebagai “faham”. Sedangkan “kerakhmatan Tuhan”, tidak jelas kemana dia golongkan. Selain itu, Yamin juga dalam uraiannya sering mencampuradukkan antara “dasar negara” dan “bentuk negara”. Bahkan yang dimaksud Yamin dengan “Dasar Negara” juga termasuk “pembelaan negara”, “budi-pekerti negara”, “daerah negara”, “penduduk dan putera negara”, “susunan pemerintahan” dan bahkan tentang “hak tanah”. Adapun dalam pernyataan Soepomo, prinsip-prinsip itu hanya disebutkan secara implisit dalam uraiannya mengenai aliran pikiran negara integralistik. Ketika dia menyebut istilah “dasar”, yang dimaksudkannya malah dalam konteks bahwa “negara kita harus berdasar atas aliran pikiran (Staatsidée) negara yang integralistik, juga dalam konteks “dasar” kewarganegaraan” dan “dasar” sistem pemerintahan. Alhasil, yang dimaksud dasar (dasar negara) oleh Yamin dan Soepomo bukanlah dalam pengertian “dasar falsafah” (philosofische gronslag).

Betapapun juga, pandangan-pandangan tersebut memberikan masukan penting bagi Soekarno dalam merumuskan konsepsinya. Masukan-masukan ini yang dikombinasikan dengan gagasan-gagasan ideologisnya yang telah dikembangkan sejak 1920-an dan refleksi historisnya, mengkristal dalam pidatonya pada 1 Juni 1945. Dalam pidatonya yang monumental itu, Soekarno menjawab permintaan Radjiman Wediodiningrat akan dasar negara Indonesia itu dalam kerangka “dasar falsafah” (philosofische grondslag) atau “pandangan dunia” (weltanschauung) dengan penjelasannya yang runtut, solid dan koheren.

(Bersambung…)