Jakarta, Aktual.com — Terkait dengan permasalahan menjadi imam ‘estafet’ di dalam salat, para Ulama berbeda pendapat dalam hal mengangkat salah seorang imam di antara sesama ma’mum masbuq untuk membangun jemaah baru sehingga menjadi jemaah berantai.
“Untuk hal ini para Ulama berbeda pendapat, ada yang berkata jika hal itu boleh dan ada yang berkata hal tersebut tidak boleh. Karena hal seperti ini di zaman Rasullullah SAW tidak ada. Yang ada hanya ketika Adzan berkumandang maka umat Muslim berbondong-bondong pergi untuk salat,” terang Ustad Muhammad Ikrom kepada Aktual.com, di Jakarta, Rabu (27/1).
“Menurut Ulama Hanafiyyah, tidak sah mengangkat Imam untuk menyempurnakan sisa rakaat salatnya. Malikiyyah juga demikian jika yang masbuq masih mendapatkan rakaat bersama imam. Namun jika tidak mendapat rakaat, maka boleh mengangkat imam,” tutur ia menambahkan.
“Adapun Syafi’iyyah dan Hanabilah menyatakan boleh mengangkat imam baru untuk menyelesaikan kekurangan rakaatnya. Dan boleh juga salat sendiri-sendiri, asal bukan masbuq dalam salat Jumat. Hanya saja, dari berbagai pendapat ulama tersebut, namun jika membicarakan adanya kasus mengangkat imam baru dari sesama ma’mum masbuq. Yang ada hadisnya adalah:
وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا
“Dan apa yang terlewatkan olehmu, maka tinggal kamu sempurnakan” (Muttafaq ‘alayh), tanpa menyebutkan anjuran untuk menyambung jemaah lagi,” lanjut ia menerangkan.
“Ini termasuk bagian ibadah mahdlah yang aturannya menunggu perintah atau tuntunan, maka jika sesama ma’mum masbuq tersebut masih mendapatkan rakaat atau ruku bersama imam sebelumnya, maka sebaiknya ia menyempurnakan sisa rakaat yang terlewatkan secara sendiri-sendiri tanpa perlu mengangkat imam baru di antara sesama mereka. Tetapi jika ada ma’mum masbuq yang benar-benar terlambat dan sama sekali tidak mendapatkan satu rakaat pun bersama imam sebelumnya (masbuq murni), maka hendaknya tetap mengupayakan berjamaah, baik dengan mengangkat seorang imam dari salah satu jemaah masbuq sebelumnya, ataupun membangun jemaah baru dengan sesama jemaah yang sama sekali tidak mendapatkan jemaah imam yang utama,” ungkap ia kembali menerangkan.
Mengapa demikian?. Ustad Ikrom menjelaskan, karena Rasulullah SAW ketika selesai salat jemaah bersama para sahabat, Beliau melihat ada seorang yang masuk Masjid dan tidak mendapatkan jemaah salat. Mengetahui hal ini, Rasulullah saw menawarkan pada para sahabat yang mau sedekah jemaah pada orang yang ketinggalan jemaah.
مَنْ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ ؟ فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ فَصَلَّى مَعَهُ
“Siapa yang… mau bersedekah jamaah dengan orang ini? Maka seseorang dari kaumnya berdiri lalu shalat berjemaah dengannya.” (HSR. Ahmad, 3/45: 11428; Abu Dâwud, 1/157: 574; al-Bayhaqi & Ibn Hibbân, dari Abu Sa’îd al-Khudri ra.)
Penawaran untuk melakukan sedekah jemaah karena mengingat perbedaan derajat pahala jemaah sangat siginifikan (yakni antara 25 s.d 27 derajat) dari pada salat sendirian. Maka Nabi Muhammad SAW menunjukkan empatinya pada sahabat yang sudah bersusah payah mendatangi jemaah.
Namun ternyata jemaah salat sudah selesai dan tidak ada lagi yang tersisa. Tetapi jikalau masih menemukan jemaah salat yang masbuq, maka Nabi saw tidak menawarkan untuk sedekah jemaah sehingga cukup berma’mum pada salah seorang jemaah tersebut dan berdiri di sebelah kanannya bila ia berma’mum sendirian.
“Dari sini kita bisa mengambil sebuah pelajaran, jika memang masih bisa berjemaah alangkah baiknya kita melakukan salat berjamaah. Dan ini boleh saja, asalkan dibarengi dengan niat tulus Lillahi Ta’ala,” tandasnya.
Artikel ini ditulis oleh: