Di muka hakim kolonial, pada bagian penutup dari pleidoi ”Indonesia Menggugat” (1930), Soekarno bertutur: ”Kami menyerahkan segenap raga dengan serela-relanya kepada tanah air dan bangsa… Juga kami adalah berusaha ikut mengembalikan hak tanah air dan bangsa atau peri kehidupan yang merdeka. Tiga ratus tahun, ya walau seribu tahun pun, tidaklah bisa menghilangkan hak negeri Indonesia dan rakyat Indonesia atas kemerdekaan itu.”
Dengan pernyataan itu, Soekarno menambatkan perjuangan kemerdekaan Indonesia ke dalam jangkar “kebangsaan”. Suatu bangsa, menurut Ernest Renan, terbentuk karena dua hal: bersama-sama menjalani suatu riwayat dan mempunyai keinginan hidup menjadi satu.
Jika penjajahan telah memberi kesamaan riwayat bagi mayoritas penduduk Indonesia, atas dasar imajinasi apakah keinginan hidup untuk bersatu bisa dirajut? Suatu bangsa, kata Ben Anderson, adalah ”suatu komunitas politik terbayangkan”; terbayangkan dalam arti selalu menyiratkan ”batas” dan ”daulat”.
Dalam sejarah Indonesia, berbagai eksperimen pergerakan bergulat dan acapkali bergesekan dalam menentukan batas dan daulat ini. Budi Utomo membatasi imajinasi persatuan kebangsaan itu pada “kejawaan”, Indische Partij pada ”kependudukan”, Sarekat Islam pada “keislaman” dan Komunisme Indonesia pada ”solidaritas kelas”.
Tetapi semua eksperimen itu gagal, hingga semua gerakan terpaksa (oleh tekanan sejarah) menyadari perlunya mempertautkan diri ke dalam suatu historical bloc; suatu kompleks “kehendak kolektif” yang dihasilkan oleh pertautan ide dan nilai dari berbagai kekuatan sejarah yang tersebar dan terpecah.
Memasuki 1920-an/1930-an, di bawah tekanan malaise ekonomi pasca Perang Dunia I dan depresi ekonomi dunia, negara kolonial semakin menunjukkan watak paranoidnya dengan mengaktifkan rezim ”rust en orde” (ketentraman dan ketertiban).
Di bawah rezim drakonian ini, media massa dan rapat umum dikontrol ketat, tokoh-tokoh politik terkemuka ditangkap dan diasingkan. Saat yang sama, kelesuan ekonomi membiakkan kemiskinan dan proletariat intelektual yang menyulut radikalisme. Secara perlahan, semua elemen pergerakan mulai dipersatukan ke dalam blok historis untuk memerdekakan diri dari musuh bersama: negara kolonial.
Dari Belanda, Bung Hatta dan koleganya di Perhimpunan Indonesia mengajukan konsepsi kemerdekaan dengan empat pilar: persatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi dan kemandirian.
Tak lain adalah sintesis dari platform politik gerakan-gerakan perjuangan terdahulu. Persatuan nasional merupakan tema Indische Partij, non-kooperasi tema kaum komunis, dan kemandirian tema Sarekat Islam. Sedangkan solidaritas hanyalah simpul yang menyatukan ketiga tema tersebut.
Dari dalam negeri, Soekarno dan sejawatnya datang dengan proposal serupa. Pada 1926, ia menulis di Suluh Indonesia Muda, “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”, yang memimpikan sintesis antara ketiga ideologi tersebut sebagai fondasi persatuan nasional dan kemerdekaan.
Semuanya tiba pada kalimatun sawa, perlunya mengutamakan kemerdekaan politik. Tidak berarti meremehkan persoalan sosio-ekonomi dan tidak pula melupakan sifat multikultur keindonesian. Mereka menyadari bahwa perjuangan nasionalisme Indonesia tidaklah berhenti pada kemerdekaan politik, tetapi harus berlanjut dengan apa yang disebut Sukarno sebagai ”sosio-nasionalisme” dan ”sosio-demokrasi”; yakni ”nasionalisme dan demokrasi yang mencari selamatnya perikemanusian dengan mencari keberesan politik dan keberesan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki”.
Kebanyakan mereka juga menyadari perlunya menyelamatkan kemajemukan Indonesia dari sangkar besi sentralisme negara kolonial. Namun, bagi mereka, kemerdekaan harus diraih terlebih dahulu, dan hanya Indonesia bersatu, yang bersedia menyingkirkan perbedaan-perbedaan sempitlah, yang bisa meruntuhkan negara kolonial.
Di sini terlihat keunikan formasi negara-bangsa Indonesia. Dalam trayek Eropa Barat, perkembangan kesadaran nasional berjalan paralel dengan formasi negara-(bangsa), sedang di Eropa Tengah/Timur terbentuknya negara-bangsa itu merupakan perpanjangan dari kesadaran etno-kultural. Adapun di Indonesia, negara (baca: negara kolonial) ada terlebih dahulu, kemudian muncul kesadaran dan persatuan nasional sebagai reaksi terhadap negara kolonial.
Dalam literatur sosiologi politik, Indonesia lebih tepat disebut ”state-nation”, ketimbang ”nation-state”. Konsekuensinya, negara merupakan alasan pokok bagi konstruksi maupun destruksi rasa kebangsaan.
Dengan konsentrasi pada penempaan ”nation building” sebagai karsa menggulingkan “negara kolonial”, perhatian terhadap “state building” nyaris tak terpikiran. Padahal dengan berlalunya kolonial, berbagai warisan penjajahan dalam tata-kelola kenegaraan menyusup lewat pintu belakang republik, melanggengkan struktur-struktur ketidakadilan yang menyulitkan perwujudan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.
Keberhasilan para perintis kemerdekaan membentuk kesadaran nasionalisme baru, tidak diikuti oleh keberhasilan dalam pembangunan kenegaraan. Konstruksi blok historis warisan pra-kemerdekaan tidak bisa dipertahankan karena ketidakmampuan pemimpin pascakolonial untuk mendefisikan dan menghadapi musuh baru yang lebih sublim: tirani, korupsi, kemiskinan dan kesenjangan.
Untuk masa yang panjang terjadi ketidakselarasan antara watak kenegaraan dan kebangsaan. Watak multikultur kebangsaan Indonesia dinafikan oleh watak sentralistik bangun kenegaraan. Ketimpangan antara pusat dan daerah terjadi dengan pengingkaran terhadap hak-hak politik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat lokal.
Karena penguasaan kapital oleh segelintir pihak di titik pusat, persebaran kapital yang melicinkan mobilitas vertikal dan horisontal terhambat. Sifat insular negeri kepulauan yang menyulitkan kontak dalam intensitas tinggi tak menemukan jembatan katalisnya. Situasi ini telah lama dirisaukan Bung Hatta. Membandingkan pengalaman Italia (negeri agraris) dan Inggris (negeri industri) dalam mengembangkan persatuan nasional, ia temukan bahwa rasa persatuan nasional di Italia lebih rapuh.
Menurutnya, sifat petani yang terikat hatinya pada tanah menyulitkan mobilitas dan intensitas perhubungannya dengan kalangan yang lebih luas. Rasa persatuan nasional secara umum lebih kuat di negeri industri, di mana rakyatnya yang memburuh terlepas dari ikatan tanah dan disusun bersatu oleh pabrik dan disiplin kerja. Di sini, mobilitas penduduk tidak dipaksakan, semisal lewat transmigrasi, melainkan tumbuh secara sukarela mengikuti pergerakan kapital.
Dalam ketersendatan lalu lintas pergaulan, masyarakat lebih banyak terkungkung dalam kepompong komunalisme. Pengikatan rasa kebangsaan dari ensemble komunalisme ini sekadar bertumpu pada solidaritas emosional yang tersisa dari warisan kesamaan sejarah, bahasa dan budaya-keagamaan. Tanpa solidaritas fungsional yang lahir karena persamaan kepentingan dan pemenuhan kesejahteraan bersama, fantasi kebertautan kebangsaan itu mudah retak oleh gerak sentrifugal dari ingatan pedih ketidakadilan dan keterkucilan.
Dengan proses belajar kolektif lebih banyak dimediasikan oleh paguyubuan yang tertutup, ketimbang oleh asosiasi yang terbuka, universum simbolik yang menyediakan kerangka interpretasi sosial lebih membiaskan gramatika komunalisme. Akibatnya, kekecewaan sosial-ekonomi sering sisublimasikan ke dalam sentimen etno-religius.
Buruknya menajemen kenegaraan melemahkan horizontal comradeship antar gugus kebangsaan. Civic nationalism sebagai watak kebangsaan Indonesia terus-menerus terancam oleh etno-nationalism. Seperti menjadi suratan tangan, Indonesia dipersatukan oleh negara dan diceraiberaikan oleh negara.
Enam puluh satu tahun setelah Negara ini diproklamirkan, Indonesia masih tetap sebuah proyek yang belum tuntas. Setiap hari ulang tahun kemerdekaan tiba, peringatan Bung Karno kembali mencuat dari alam kuburnya: ”Ya, belum ada ’journey’s end’ bagi kita,–perjuangan kita jauh belum selesai, pembangunan pun menunggu bertimbun-timbun,–hai bangkitlah kembali bangsaku, nyalakanlah kembali dalam jiwamu apa yang kita namakan ’semangat proklamsi’.”
Semangat Proklamasi
Apakah gerangan ’semangat proklamasi’ itu?
”Semangat proklamasi,” ujar Soekarno di ulang tahun kelima kemerdekaan Indonesia, ”adalah semangat rela berjoeang, berjoeang mati-matian dengan penuh idealisme dan dengan mengesampingkan segala kepentingan diri sendiri. Semangat proklamasi adalah semangat persatuan, persatuan yang bulat-mutlak dengan tiada mengecualikan sesuatu golongan dan lapisan. Semangat proklamasi adalah semangat membentuk dan membangun Negara…Dan manakala sekarang tampak tanda-tanda kelunturan dan degenerasi, kikislah bersih semua kuman kelunturan dan degenerasi itu, hidupkanlah kembali semangat proklamasi!”
Masih adakah idealisme dan semangat berjoeang di antara kita? Masih. Mahasiswa dan masyarakat madani turun kejalan, memekikkan reformasi, membebaskan negeri dari cengkraman tirani. Selepas kejatuhan Suharto, pelbagai langkah demokratisasi prosedural telah ditempuh dengan transformasi yang nyata: amandemen konstitusi, pemerintahan terpilih, pemilu yang relatif fair, kebebasan berekspresi, keluasan akses informasi, desentralisasi dan otonomisasi, kehadiran institusi-institusi kenegaraan baru serta pemilihan presiden dan pilkada secara langsung.
Di luar arena politik, kekuatan-kekuatan swadaya masyarakat menceburkan diri di zona-zona bencana dengan ketulusan patriotis yang mengharukan. Terkenang juga para pendekar kebudayaan yang secara berdikari mengirimkan talenta-talenta terbaik bangsa ke ajang kompetisi internasional—semacam olimpiade fisika atau festival kesenian—dan pulang dengan medali tertinggi.
Hanya saja, seperti kata sejarawan H.G. Wells, ”Anasir terpenting yang menentukan nasib suatu bangsa adalah kualitas dan kuantitas tekad yang dimilikinya.” Kita punya idealisme reformasi, tetapi mudah surup oleh kepentingan-kepentingan sempit dan partikular. Kita bentuk partai politik untuk mengagregasikan aspirasi rakyat, namun lekas terpasung oleh ambisi-ambisi elitis. Kita susun undang-undang baru demi kebajikan bersama, namun terdistorsi oleh kemauan ”yang kuat”. Kita pilih presiden dan pilkada secara langsung demi pemberdayaan rakyat, namun mudah terbajak oleh kekuatan-kekuatan oligarkis. Kita lahirkan cerlang-cerlang individual, namun terbunuh oleh inkonsistensi dan kealpaan sistem meritokrasi.
Masih adakah semangat persatuan di antara kita? Masih. Bahasa Indonesia makin penting sebagai lingua franca, perkawinan antaretnis pun merekatkan keindonesiaan. Elite settlement untuk mentransformasikan elit berseteru menjadi elit bersatu dalam prinsip-prinsip dasar kenegaraan mengalami kemajuan. Fanatisisme ideologis, yang mengubur eksperimen demokrasi parlementer, relatif makin cair.
Piagam Jakarta tak lagi menjadi obsesi arus utama politik Muslim. Mayoritas elit mendukung amandemen konstitusi. Tentara rela keluar dari arena politik. Desentralisasi dan distribusi kekuasaan diterima sebagai keniscayaan. Solidaritas nasional juga terasa di kala bencana mendera.
Hanya saja, solidaritas emosional tersebut mudah roboh oleh kelemahan solidaritas fungsional, karena tak terpenuhinya cita-cita kebajikan dan kesejahteraan bersama. Solidaritas dan demokrasi, menurut Alexis de Tocqeville, memiliki makna di luar politik dan budaya: yakni kesederajatan sosial dan ekonomi. Kesetaraan sosial-ekonomi memunculkan hasrat membentuk asosiasi-asosiasi yang terbuka, tanpa melihat dan dibedakan menurut silsilah. Pada gilirannya, perkumpulan ini melindungi kesetaraan dengan mencegah kelompok lain menjadi dominan. Dengan demikian perkumpulan ini memiliki dua fungsi: mereka berasal dari dan menjaga solidaritas dan demokrasi. Demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi, menyimpan potensi erupsi, laksana bara dalam sekam yang dalam sekejap bisa menghanguskan ikatan-ikatan persatuan.
Masih adakah semangat membangun negara di antara kita? Masih. Alim-ulama ingatkan kebangkrutan moral, aparat pembasmi korupsi mulai beraksi, politisi pecundang perankan oposisi, tentara lepaskan aktivitas niaga, pendidik rela berupah rendah, lembaga-lembaga pemantau bersitumbuh, media massa giat beberkan keborokan, pengamat aktif mengkritisi.
Hanya saja, kita mengalami krisis keteladanan dan kepemimpinan. Seperti sindir syair Arab, ”Berapa kali kau katakan, negara sedang sakit; sedang engkau adalah penyakit itu. Tunjuk hidung adalah kebiasaanmu; sedang engkau tak tampak menjaga kehormatannya.” Terlalu banyak yang mengeluh dan terlalu sedikit yang memberi contoh.
Mohammad Hatta pernah berkata: ”Kualitas pemimpin sepadan dengan caranya mendapat makan.” Ketika para pemimpin negeri berpesta menikmati gaji ke-13, sibuk ”jaga imej” atau memenangkan proyek, sedang rakyat banjir airmata dilanda bencana, menjadi jelas terukur bagaimana kualitas para pemimpin kita.
Sementara para pemimpin berpesta, arus neo-kolonialisme yang membonceng globalisasi semakin luas cakupannya, instan kecepatannya, dan dalam penetrasinya. Secara perlahan kantong-kantong usaha rakyat tergusur, sumberdaya alam terkuras, dan aktiva ekonomi mengalir ke pusat-pusat metropolis. Ledekan Profesor Veith dari masa lampau makin menikam di ulu hati: ”Di pantainya tanah Jawa rakyat berdesak-desakan; datang selalu tuan-tuannya setiap masa; mereka beruntun-untun sebagai runtunan awan; tapi anak-anak negeri sendiri tak pernah kuasa.”
Kemerdekaan dan kepemimpinan
Setiap kemerdekaan Indonesia diperingati, bayangan kita segera tertuju pada sepasang figur sentralnya: Soekarno dan Mohammad Hatta. Dalam suasana friksi antarfaksi di sekitar proklamasi, Soekarno-Hatta tampil sebagai jangkar keyakinan, kepercayaan dan persatuan.
Gerangan apakah yang membuat keduanya menjadi pusat teladan? Jelas, bukan karena keduanya tak punya cacat dan kekurangan. Tapi di atas segala cacat dan kekurangannya itu, keduanya memiliki modal terpenting sebagai pemimpin: moral capital.
Moral dalam arti ini adalah kekuatan dan kualitas komitmen pemimpin dalam memperjuangkan nilai-nilai, keyakinan, tujuan, dan amanat penderitaan rakyat. Kapital di sini bukan sekadar potensi kebajikan seseorang, melainkan potensi yang secara aktual menggerakkan roda politik. Dengan begitu, yang dikehendaki bukan sekedar kualitas moral individual, namun juga kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mekanisme politik yang bisa mempengaruhi perilaku masyarakat.
Ditanya oleh Direktur Penjara Landraad Bandung ikhwal ”kehidupan baru” selepas bebas, Bung Karno menjawab: ”Seorang pemimpin tidak berubah karena hukuman. Saya masuk penjara untuk memperjuangkan kemerdekaan, dan saya meninggalkan penjara untuk pikiran yang sama” (Soekarno, 1961).
Di tengah himpitan depresi ekonomi dan represi rezim rust en orde pada dekade 1930-an, setegar baja Bung Hatta berkata: ”Betul banyak orang yang bertukar haluan karena penghidupan, tetapi pemimpin yang suci senantiasa terjauh dari godaan iblis itu.” Lantas ditambahkan, ”Ketetapan hati dan keteguhan iman adalah satu conditio sine qua non (syarat yang terutama) untuk menjadi pemimpin. Kalau pemimpin tidak mempunyai moril yang kuat, ia tak dapat memenuhi kewajibannya dan lekas terhindar dari pergerakan” (Hatta, 1998).
Tak hanya berbekal komitmen moral individual saja. Keduanya juga mampu berempati dengan suasana kebatinan rakyat seraya memiliki kemampuan komunikasi yang efektif untuk menggerakkan mereka.
Kemampuan Bung Karno dalam hal ini bahkan diakui oleh Bung Hatta: “Saudara Soekarno menjadi sangat populer dan mendapat pengaruh besar di kalangan rakyat, karena kecakapannya sebagai orator dan agitator yang hampir tidak ada bandingnya di Indonesia ini.”
Sementara itu, Bung Hatta sendiri menegaskan, “Menduga perasaan rakyat dan memberi jalan kepada perasaan itu ke luar, itulah kewajiban yang amat sulit dan susah. Itulah kewajiban leiderschap!…Pergerakan rakyat tumbuh bukan karena pemimpin bersuara, tetapi pemimpin bersuara karena ada pergerakan atau karena ada perasaan dalam hati rakyat yang tidak dapat oleh rakyat mengeluarkannya… Pemimpin mengemudikan apa yang sudah dikehendaki oleh rakyat. Itulah sebabnya maka pemimpin lekas dapat pengikut dan pergerakan yang dianjurkannya cepat berkembang.”
Kekuatan moral capital itu pada akhirnya berkemampuan mengangkat partikularitas manusia ke tingkat yang lebih tinggi, yakni level politik yang berorientasi kebajikan bersama dalam rumah kebangsaan. ”Bahwa keadaan bangsa,” ujar Bung Hatta, ”tidak ditentukan oleh bahasa yang sama dan agama yang serupa, melainkan oleh kemauan untuk bersatu.”
Ditambahkan oleh Bung Karno, ” Di seluruh negeri kita, yang kelihatan hanyalah kesukaran, kekurangan, kemelaratan. Di dalam keadaan yang demikian itulah kita memulai perjoangan kebangsaan kita…Dengan kehendak yang membulat menjadi satu, ketetapan-hati yang menggumpal menjadi satu, tekad yang membaja menjadi satu, seluruh bangsa kita bangkit, bergerak, berjoang untuk membenarkan, mewujudkan proklamasi 17 Agustus itu.”
Belajar dari kedua mahaguru bangsa tersebut, setidaknya ada empat sumber utama bagi seorang pemimpin untuk mengembangkan, menjaga, dan memobilisasi ”moral capital” secara politik.
Pertama, basis moralitas; menyangkut nilai-nilai, tujuan serta orientasi politik yang menjadi komitmen dan dijanjikan pemimpin politik kepada konstituennya. Kedua, tindakan politik; menyangkut kinerja pemimpin politik dalam menerjemahkan nilai-nilai moralitasnya ke dalam ukuran-ukuran perilaku, kebijakan, dan keputusan politiknya. Ketiga, keteladanan; menyangkut contoh perilaku moral yang konkret dan efektif, yang menularkan kesan otentik dan kepercayaan kepada komunitas politik. Keempat, consensus building; kemampuan seorang pemimpin untuk mengkomunikasikan gagasan serta nilai-nilai moralitas dalam bentuk bahasa politik yang efektif, yang mampu memperkuat solidaritas dan moralitas masyarakat.
Dalam suasana krisis nasional sekarang ini, sosok kepemimpinan kedua pahlawan tersebut perlu diungkap. Sulitnya pemulihan krisis yang Indonesia hadapi hari ini terutama bukan karena defisit sumberdaya dan orang pintar, melainkan karena bangkrutnya moral capital dari para pemimpin politik.
Terlalu sedikit panutan dan terlalu banyak pengkhianat membuat jagad politik kehilangan pahlawan. Tatkala nama pahlawan disebutkan, kita terpaksa harus menoleh ke batu nisan. Pahlawan terlanjur dikuburkan, meninggalkan jagad politik dalam kealpaan panduan. Mereka yang mendambakan teladan, terpaksa harus mencari di dunia rekaan.
Jika ada yang paling salah dalam proses pembelajaran politik di negeri ini, tak lain bahwa pahlawan selalu ditempatkan di kesilaman, tak pernah dihadirkan di kekinian pentas politik. Kita terlanjur mendefisikan politik sebagai arena kecurangan, yang tidak memberi tempat bagi persemaian para pahlawan. Dalam penghayatan politik kita, pahlawan selalu merupakan pertanda kematian, tidak pernah menjajikan kehidupan. Jalan politik menjadi jalan pengkhianatan, sedang kerancuan politik menjadi kewajaran yang dipertahankan. Maka Indonesia menjadi terkenal di pentas dunia karena capaian yang salah.
Demokrasi dengan Kepemimpinan yang Lemah
Ketika reformasi digulirkan, terdapat optimisme yang meluas bahwa demokrasi bisa melahirkan kepemimpinan yang cocok dengan watak bangsanya. Apa yang terjadi, pendulum sejarah Indonesia hanyalah berayun dari situasi otoriter menuju situasi tanpa otoritas.
Padahal, demokrasi memang bermaksud membasmi pemerintahan otoriter, tetapi tak bisa tegak tanpa pemerintahan otoritatif. Kenyataan kini, aneka peraturan dan pembangunan tak jalan karena karena lemahnya wibawa otoritas atas gerombolan.
Memimpin demokrasi dengan kepemimpinan yang kuat menjadi simpul kesadaran baru yang terpancar dari suara Wakil Presiden Jusuf Kalla (Kompas, 08/06.2006). Keinsyafan ini merupakan pertanda baik jika disertai pemahaman yang baik. Bahwa pemimpin yang baik tidak cukup sekadar berbudi baik dan menarik. Yang lebih penting adalah kesanggupan untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mesin politik dan pemerintahan yang bisa mempengaruhi tingkah laku masyarakat.
Terlampau lama Republik ini dipimpin oleh Presiden yang ”lemah”. Presiden yang menegakkan wibawanya dengan personalisasi kekuasaan dan kekuatan pemaksa (might), bukan dengan menjalankan prinsip-prinsip negara hukum (right) yang bersifat impersonal dan imparsial.
Jejak-jejak tradisi kepresidenan seperti itu masih bertahan pada watak para pemimpin negara di era reformasi: dalam kecenderungannya untuk memprioritaskan kepentingan sendiri dan pemujaan diri, dengan keengganan untuk mengembangkan wibawa sistemik dan pelayanan publik.
Tipe kepemimpinan seperti itu memang tak selaras dengan tantangan demokratisasi. Demokrasi yang memuliakan kedaulatan rakyat menghendaki kepemimpinan yang ”kuat”; yakni kepemimpinan berbasis hukum dengan menjalankan amanat konstitusi. Di sini, pemimpin negara mesti sadar bahwa demokrasi tak bisa dipisahkan dari konstitusi seperti tercermin dalam istilah ”demokrasi konstitusional” (constitusional democrasy). Istilah ini mengandung makna bahwa demokrasi merupakan suatu fenomena politik yang tujuan ideologis dan teleologisnya adalah pembentukan dan pemenuhan konstitusi.
Dengan kepemimpinan yang committed terhadap konsitusi, ketaatan warga negara pada otoritas bukan sebagai ekspresi dari loyalitas dan ketakutan personal yang bersifat ad-hoc, melainkan sebagai ekspresi dari kesadaran hukum untuk kemaslahatan bersama yang bersifat permanen.
Dalam menjalankan demokrasi konstitusional tersebut, kepresidenan merupakan institusi yang sangat krusial. Sebagai satu-satunya pejabat negara yang dipilih langsung (secara teoritis) oleh seluruh rakyat, Presiden melambangkan harapan masyarakat bahwa amanat konstitusi itu akan diterjemahkan ke dalam kerangka kebijakan dan dijalankan oleh administrasi pemerintahan secara rasional.
Komitmen utama konstitusi dan kepemimpinan negara berkhidmat pada upaya untuk mengamankan dan mencari keseimbangan dalam pemenuhan tiga pokok kemaslahatan publik (public goods). Hal ini berkisar pada persoalan legitimasi demokrasi, kesejahteraan ekonomi, dan identitas kolektif.
Basis legitimasi dari institusi-institusi demokrasi berangkat dari asumsi bahwa institusi-institusi tersebut merepresentasikan kepentingan dan aspirasi seluruh rakyat secara imparsial. Klaim ini bisa dipenuhi jika segala keputusan politik yang diambil secara prinsip terbuka bagi proses-proses perdebatan publik (public deliberation) secara bebas, setara dan rasional. Hanya dengan penghormatan terhap prosedur-prosedur public deliberation seperti itulah, peraturan dan keputusan yang diambil memiliki legitimasi demokratis yang mengikat semua warga, dan pemerintah bisa melaksanakannya secara benar (right) dan tanpa ragu (strong).
Kenyataan menunjukkan bahwa keputusan Presiden/Wakil Presiden acapkali tak sejalan dengan legitimasi demokratis. Adakalanya mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan proses-proses public deliberation, seperti dalam kasus rencana revisi Undang-Undang Perburuhan dan Pencabutan SP3 Suharto. Seringkali pula tak menjalankan kebijakan yang diamanatkan oleh hasil public deliberation, seperti dalam penetapan anggaran pendidikan dan dalam membiarkan aksi-aksi kekerasan terhadap kebebasan sipil dan politik.
Setelah basis legitimasi diperjuangkan, kemaslahatan publik selanjutnya adalah kesejahteraan ekonomi. Demokrasi politik tak bisa berjalan baik tanpa demokratisasi di bidang ekonomi. Pancasila sendiri mengisyaratkan, bahwa ujung pencapaian nilai-nilai ideal kebangsaan harus bermuara pada ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Negara kesejahteraan menjadi pertaruhan dari kesaktian Pancasila.
Dalam 9 tahun terakhir, Indonesia telah mencapai kemajuan berarti dalam penciptaan masyarakat yang lebih transparan dan terbuka di bidang politik. Namun capaian-capaian ini seringkali dimentahkan oleh keterpurukan dan kesenjangan ekonomi. Dalam hal ini, Joseph E. Stiglitz (2005) punya pandangan yang menarik.
“Di Indonesia orang kerap merasakan adanya konflik yang lebih intens: konflik antara kewajiban untuk bersikap adil dan tidak pilih kasih dalam sebuah sistem yang didasarkan pada aturan, dengan kewajiban moral untuk membantu kerabat dan anggota komunitas di sebuah negara yang ditandai oleh tingginya angka pengangguran, kemiskinan akut, dan ketimpangan yang mencolok.
Ekonomi pasar hanya berjalan baik dalam sebuah sistem yang dipijakkan pada aturan. Dan dalam sistem yang berjalan mulus dengan kesempatan kerja penuh dan rasa keadilan sosial yang luas, kebutuhan untuk ‘membantu’ kerabat sangat bisa dikurangi. Masalahnya, mereka yang berada di negara berkembang diminta untuk meninggalkan ‘jaring pengaman’ dalam ikatan kekeluargaan dan komunal ini, padahal jaring pengaman sosial (dari rejim kesejahteraan) itu sendiri belum tercipta.”
Menciptakan kesejahteraan ekonomi di negara seperti ini, Stiglitz merekomendasikan perlunya keseimbangan antara peran pemerintah dan pasar. Dalam hal ini, negara-negara berkembang harus lebih bebas dan leluasa menentukan pilihan-pilihan kebijakan ekonomi mereka.
Tidak ada cara tunggal dan sistem yang sempurna, seperti yang sering dikhotbahkan oleh para arsitek ekonomi di World Bank dan IMF. Seturut dengan itu, pemimpin negara harus memiliki keberanian untuk menjalankan amanat konstitusi dalam penguasaan bumi, air, udara dan kekayaan alam bagi kesejahteraan rakyat. Pemimpin negara, sebagai mata-hati dan mata-nalar rakyat, harus berani mengambil sikap pro-rakyat dalam kasus eksplorasi kekayaan alam yang merugikan bangsa dan negara.
Semuanya itu merupakan prakondisi bagi terpeliharanya kebajikan ketiga: yakni identitas kolektif sebagai bangsa Indonesia. Kemunculan Indonesia sebagai perwujudan dari civic nationalism (yang berbasis demokrasi konstitusional), dengan Pancasila sebagai titik-temu solidaritas kolektif-nya, mulai mendapatkan ancaman dari meruyaknya aspirasi politik identitas yang bersemangat partikularistik.
Fungsi pemimpin negara sebagai kekuatan moderasi di antara ekstrimitas masyarakat benar-benar sedang diuji. Betapapun mereka tampil karena dukungan partai atau kelompok tertentu, sekali mereka terpilih anasir-anasir partikularistik harus dikesampingkan demi kemaslahatan bersama.
Presiden/Wakil Presiden kerapkali terkesan melakukan endorsement secara sengaja atau tidak terhadap keberadaan kelompok-kelompok tertentu yang membahayakan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlalu mahal harganya, jika demi mobilisasi dukungan bagi pemilihan mendatang, hal-hal mendasar dari prinsip demokrasi konstitusional dikorbankan.
Krisis selalu mengandung dua sisi: ancaman dan peluang. Untuk memanfaatkan peluang di balik krisis ada kunci yang harus ditemukan. Adapun kuncinya adalah keteladanan kepemimpinan. Bagi para pemimpin, ada baiknya menyimak kembali kredo Rene de Clerq yang menjadi semboyan Bung Hatta: “Hanya satu negeri yang menjadi negeriku. Ia tumbuh dari perbuatan, dan perbuatan itu adalah usahaku.
Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual
Artikel ini ditulis oleh: