Jakarta, Aktual.com — Pengamat politik yang juga peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengatakan Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen yang dilakukan pada rentang tahun 1999-2002, tidak perlu dikaji ulang.
Menurut Syamsudin Haris, saat ini yang penting adalah penyempurnaan UUD 1945 hasil amandemen tersebut karena ada konteks di dalamnya yang masih tumpang tindih satu sama lain.
“Tidak perlu dikaji ulang. Yang penting disempurnakan karena masih banyak konteks yang tumpang tindih dan ini harus diperbaiki,” ujar Syamsuddin, di Jakarta, Kamis (20/8).
Ia melanjutkan, tidak ada yang salah dengan amandemen UUD 1945 yang dilakukan empat kali pada tahun 1999-2002 karena hal tersebut dilakukan atas desakan publik. Wacana pengkajian kembali amandemen UUD 1945 pun dianggapnya adalah usaha untuk kembali ke UUD 1945 asli.
“Jika kita kembali ke UUD 1945 asli, artinya kita sudah mundur ke belakang. Saat ini Indonesia memerlukan langkah ke depan,” katanya.
Untuk itu, dia menganjurkan adanya amandemen kelima alih-alih pengkajian ulang, sebab masih banyak substansi di dalam UUD 1945 hasil amandemen yang melenceng dari yang seharusnya.
Hal itu seperti tidak jelasnya fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat yang terlalu luas. DPD, yang anggotanya berasal dari pemilihan umum oleh masyarakat, menurut Syamsuddin tidak memiliki fungsi legislasi.
“Sementara kekuasaan DPR terlalu luas sehingga semua pejabat publik harus melewati uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Padahal di mana-mana pengangkatan pejabat publik itu tugas eksekutif bukan legislatif,” ujar dia.
Artikel ini ditulis oleh: