Jakarta, Aktual.co — Tegar dalam getir mungkin itu takdir presiden kelima Indonesia, Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri. Megawati yang menjabat sejak 23 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004 ini tercatat sebagai perempuan pertama yang menjadi presiden.

Sosok bersapaan akrab Mbak Mega ini juga merupakan anak presiden, yang pertama kali berhasil menapak jejak langkah ayahnya, menjadi presiden.  

Ayah Mega, Soekarno pun bukan sekedar presiden pertama. Dia juga proklamator kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Penyambung lidah rakyat ini saking dicintai bangsanya, ia pun lebih dikenal dengan sebutan akrab Bung Karno. Sebutan yang telah populer sejak tahun 1927 saat penggali dasar negara Pancasila ini memimpin Partai Nasional Indonesia menentang kolonialisme imperialisme.

Langkah memimpin partai dan menentang penindasan rakyat itu jua yang ditapaki Mega dengan menjadi ketua umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI), menentang pemerintahan otoriter Orde Baru.

Kendati berulangkali coba digulingkan oleh para pengikut Jenderal Soeharto yang cemas oleh kebangkitan Soekarnoisme, Mega tetap tegar memimpin partai yang disebu-sebut sebagai PDI ProMeg oleh para pendukungnya.

Kegigihan ‘Perjuangan Megawati’ meski terus ditindas seperti melalui rekayasa kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli) ini kemudian memuncak jadi gerakan reformasi Mei 1998. Seiring tumbangnya rejim Orde Baru, PDI pimpinan Megawati pun beralih nama menjadi PDI Perjuangan.
 
Tegar Dalam Getir

Semirip nasib ayahnya yang didera derita, begitu pula nestapa jalan hidup Megawati, Ibu Rakyat Indonesia. Meski lahir di lingkungan istana, anak kedua dari pernikahan ketiga Soekarno dengan Fatmawati ini ternyata lebih diakrabi oleh getir kepahitan hidup.

Mega lahir 23 Januari 1947 di kampung Ledok Ratmakan, tepi barat Kali Code, dalam suasana kedaruratan ibukota perjuangan Yogyakarta, berhubung Jakarta dinilai tidak aman lagi bagi kelangsungan  pusat pemerintahan negara baru merdeka ini, terpaksa ditinggalkan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta yang diungsikan oleh para pejuang republiken.
 
Ia lahir semasa Yogyakarta digempur bertubi oleh Agresi Militer Belanda. Bahkan Goentoer, Mega dan Fatmawati pun terpaksa harus diungsikan, sewaktu Soekarno, Hatta, perdana menteri Sutan Sjahrir ditawan dan diasingkan Belanda ke pulau Bangka.

Setelah situasi perang mereda, dan pemerintah kolonial Belanda terpaksa mengakui kemerdekaan Indonesia, itu juga bukan berarti Mega otomatis bisa nyaman menikmati suasana Istana Merdeka Penolakan Fatmawati untuk dimadu dengan Hartini, istri keempat Bung Karno, membuat Mega harus mondar mandir di antara Istana dengan rumah ibunya di jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru. Mega menjadi tumbal keluarga,

Lebih mengenaskan saat bersekolah di Perguruan Cikini, Jakarta Pusat, pada 30 November 1957 pukul 20.45, Mega juga nyaris tewas akibat teror yang ingin membunuh ayahnya. Enam granat dilemparkan dua teroris dari kelompok Pemerintah Republik Islam Indonesia ke arah Presiden Soekarno yang berjalan meninggalkan gedung sekolah usai menghadiri bazaar. Lima granat meledak dan menewaskan 10 pelajar dan mencederai 48 orang, sebagian luka parah.

Bung Karno selamat, karena segera setelah ledakan pertama, ajudan Letkol Sugandhi segera mendorong presiden hingga tertelungkup di lantai dan menindihnya guna melindunginya dari pecahan granat. Setelah ledakan kelima, presiden segera ditarik menyeberangi jalan memasuki rumah di depannya. Di situ presiden disembunyikan di ruangan belakang dan dialingi sebuah lemari, hingga  keadaan dianggap aman. Peristiwa itu tentu membekaskan trauma dalam bagi Mega.      

Belum lagi nestapa saat kuliah di Fakultas Pertaniam Universitas Padjadjaran di Bandung pada tahun 1965-1966, Mega di-bully agar tak betah dan putus kuliah oleh sekelompok mahasiswa yang menyebut diri komponen Orde Baru. Begitupun nasib Guntur , kakaknya, sehingga putus kuliah dari Institut Teknologi Bandung.

Yang lebih menyakitkan, Mega pernah menuturkan dia pernah dipaksa ayahnya memasak nasi goreng bagi para mahasiswa demonstran yang diterima Bung Karno berdialog di istana. Padahal mereka selalu menghujat dan mengecam Bung Karno dan keluarganya. Sehingga tanpa terasa air mata Mega terjatuh ke wajan membumbui nasi goreng yang disantap para tokoh mahasiswa pejuang angkatan 66 yang kelaparan itu.

Tumbal Rumah Tangga

Getir nestapa juga dialami Mega dalam biduk rumah tangganya. Suami pertamanya Letnan Satu (Penerbang) Surindro Supjarso, pilot AURI. Perwira ganteng TNI-AU bersosok tinggi dengan rambut berjambul yang disapa akrab “Pacul” ini adalah sahabat karib Guntur, kakaknya. Setelah menikah pada Sabtu, 1 Juni 1968 di Jalan Sriwijaya No 7, Kebayoran Baru, Jakarta, Mega lalu ikut Pacul tinggal di Madiun, Jawa Timur. Di situ Mega melahirkan dan mengasuh anak pertama  Mohammad Rizki Pratama (Tatam).

Namun tanggal 22 Januari 1970 saat Mega mengandung anak kedua Mohammad Prananda (Nanan), Mas Pacul mengalami musibah. Pesawat Skyvan T-701 yang dipilotinya terempas di laut sekitar pulau Biak, Irian Jaya. Pacul beserta tujuh awak pesawata raib tak diketahui nasibnya. Di sekitar perairan itu hanya tersisa serpih puing pesawat yang terserak. Mega pun berkabung bertahun-tahun.

Beberapa tahun kemudian, tahun 1972 sewaktu memasuki awal usia dua puluhan dengan dua anak masih balita, Mega sempat berhubungan dengan diplomat Mesir di Jakarta, Hassan Gamal Ahmad.

Namun, pernikahan kedua Mega ini hanya bertahan tiga bulan akibat sorotan Media Massa yang mengekspos bahwa Mega masih terikat perkawinan sah dengan Surindro. Saat itu belum ada keputusan resmi pemerintah dari Mabes TNI AU terhadap status nasib suami pertama Mega, akihat jenazahnya belum ditemukan.

Keluarga “Bung Karno” pun menyewa pengacara Sumadji guna membatalkan pernikahan kedua Mega ini melalui penetapan keputusan Pengadilan Tinggi Agama – Jakarta. Akhirnya Hassan pun mengalah.

Ketenteraman hidup rumah tangga Megawati baru mulai dirasakan lagi setelah menikah dengan Mohammad Taufiq Kiemas, aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Mereka menikah akhir Maret 1973 di Panti Perwira TNI AL, Jakarta Pusat, Dari pernikahan  ini lahir Puan Maharani, anak ketiga Megawati.

Berkat suami ketiga ini karir politik Mega pun terarah. Terutama dalam membangkitkan kembali ajaran Soekarno.  Apalagi semasa  kuliah di Universitas Pajajaran, Mega sempat aktif dalam GMNI juga. Bersama Taufiq pula Mega mulai bergiat di PDI.

Tumbal Politik

Tahun 1986 Mega resmi  masuk dunia politik sebagai wakil ketua PDI Cabang Jakarta Pusat. Tahun 1987 menjadi jurkam PDI . hingga akhirnya Mega terpilih menjadi anggota DPR RI.  Tahun 1992 Mega terpilih lagi menjadi Anggota DPR RI, bersama adiknya Mohamad Goeroeh Soekarnoputra.
 
Dalam Kongres Luar Biasa PDI yang diselenggarakan di Surabaya 1993, Megawati yang mendapat dukungan luas dari berbagai cabang se-Indonesia, resmi menyatakan diri sebagai Ketua Umum  De Facto PDI.  Namun pemerintahan Soeharto yang tidak suka Mega tampil memaksa Mega harus berkompromi menerima komposisi kepengurusan DPP PDI yang diselipi unsur pendukung Orde Baru, melalui Munas Kemang 1994 sebagai kelanjutan KLB 1993.  

Berbagai upaya penggembosan kepemimpinan Mega dilakukan dengan penyempalan unsur DPP PDI yang di bawah kendali rejim, tapi Mega tetap bertahan. Puncaknya pada tahun 1996 berupa Kongres PDI di Medan yang disponsori pemerintah untuk menetapkan Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Mega dan para pendukungnya menolak mengakui kongres itu dan membalas dengan aksi mempertahankan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro.

Namun, Soerjadi yang didukung pemerintah diskenariokan mengancam akan merebut paksa kantor DPP PDI itu. Terbukti tanggal 27 Juli 1996 terjadi peristiwa Kudatuli, saat suatu pasukan pemuda tegap berambut cepak yang mengaku sebagai pendukung Kongres Medan menyerbu dan merebut kantor DPP PDI. Beberapa pendukung Mega tewas dan sejumlah aktifis prodemokrasi diculik. Penyerbuan ini berbuntut pada kerusuhan massal di Jakarta.

Kudatuli tidak menyurutkan langkah Mega. Kubu Pro Meg justru memilih langkah jalur hukum, meski kemudian kandas di pengadilan. Mega tetap tegar. Alhasil PDI pun terbelah menjadi PDI di bawah Soerjadi yang diakui pemerintah, dan massa PDI yang mendukung Mega. Keunggulan Mega terbukti pada Pemilu 1997, dengan gembosnya suara PDI Soerjadi, dan membengkaknya suara golput pengikut Mega, maupun perolehan suara PPP berkat wacana Mega Bintang.

Semua kejadian ini lalu berakumulasi pada aksi gerakan Reformasi bulan Mei 1998 yang berujung pada lengsernya Presiden Soeharto.   

Pada Pemilu 1999, PDI Mega resmi menamakan diri sebagai PDI Perjuangan hasil Kongres Perjuangan 1998, berhasil memenangkan pemilu dengan meraih tiga puluh persen lebih suara. Massa pendukung memaksa supaya Mega menjadi presiden. Mereka mengancam, kalau Mega tidak jadi presiden akan terjadi revolusi.

Namun alur dalam Sidang Umum 1999 yang dikuasai poros tengah, berhasil menelikung Mega dengan mendongkrak KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dengan suara 373 berbanding 313 suara pemilih Mega. Sehingga Mega dipaksa harus puas hanya menjadi Wakil Presiden saja.

Namun, waktu berpihak kepada Mega tanpa harus menunggu lima tahun, Sidang Istimewa MPR pada Senin 23 Juli 2001, resmi menetapkan Mega jadi Presiden, mengganti Abdurrahman Wahid yang dicabut mandatnya akibat membekukan lembaga MPR/DPR dan Partai Golkar secara sepihak.
 
Sukses Warisan Mega

Sesingkat apapun masa pemerintahannya, Mega dipuji sukses memperkuat konsolidasi demokrasi. Mulai dari kepastian hukum pemisahan fungsi pertahanan oleh TNI dan fungsi keamanan oleh Polri. Demikian pula dengan sukses pemilihan umum presiden secara langsung secara demokratis, sebagai indikator kematangan proses demokratisasi di Indonesia.

Meski selaku incumbance pada 20 September 2004, Mega yang meraih 40%  suara kalah dari mantan Menteri Koordinator Susilo Bambang Yudhoyono  peraih 60% pemiilih, namun Mega dikenang sebagai Ibu Rakyat Indonesia yang terbukti mampu menjamin peralihan kepimpinan nasional secara demokratis dan damai.

Dalam Pilpres 2014, Megawati menugasi Joko Widodo selaku kader maju sebagai Capres yang  diusung PDI Perjuangan. Akhirnya melalui proses pemilu cukup panjang, Joko Widodo dan Jusuf Kalla terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2014 – 2019.

Pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IV PDI-Perjuangan di Semarang, 20 September 2014, Mega ditunjuk kembali menjadi Ketua Umum PDI-Perjuangan periode 2015-2020 melalui pernyataan yang dibacakan oleh presiden terpilih Joko Widodo. (Dhia Prekasha Yoedha)

Artikel ini ditulis oleh: