Jakarta (14/4) – Mengherankan dan aneh. Kasus RS Sumber Waras sedang proses di KPK, tetapi ada Rapat Dengar Pendapat (RDP) kasus RSSW di Komisi III DPR RI? Tumben sekali. Padahal, sebelumnya ada pernyataan tidak akan undang Ahok.

Di rapat itu hadir BPK, KPK, Gubernur DKI, YKSW (Yayasan Kesehatan Sumber Waras), Kepala Dinas Kesehatan DKI, Lurah Tomang Utara dan tujuh Mahasiswa dengan berbagai macam atribut dari Fakultas Hukum Perguruan Tinggi.

RDP Komisi III DPR RI kali ini mirip sidang. Persis jam 10.00 Ketua Komisi III selaku pimpinan rapat masuk ruangan rapat, membuka rapat dengan ketokan palu.

Pimpinan : Saya sudah tahu KPK sudah bekerja, membentuk Satgas, mencari 2 alat bukti dan sedang mencari “niat jahat”. Jadi saat ini Dewan tidak mencampuri jalannya proses di KPK. Tetapi ingin mendalami kekisruhan hukum yang mencuat di negeri ini, khususnya kasus RSSW.

* Hati saya membatin, hebat sekali Komisi III kali ini. Tetapi wong namanya lembaga politik, ya susah ditebak arahnya ke mana. Tetapi ingin juga untuk mendengarkan. Saya ambil tempat dudu di atas bersama para wartawan.

Pimpinan : Saudara YKSW jelaskan tanah yang anda jual kepada DKI itu seperti apa? Lalu benarkah 6 Juni 2014 Dirum & SDM YKSW mengadakan pertemuan dengan Plt Gub saudara Ahok?

YKSW : Tanah RSSW terdiri SHM seluas 32.370 m2 dan HGB seluas 36.410 m2. HGB ini kami jual kepada DKI, harga Rp. 20.755.000/m2. Benar, sebelum kami kirim surat penawaran 27 Juni 2014 dan 7 Juli 2014, kami sudah pertemuan dengan Plt Gub pak Ahok, 6 Juni 2014.

Pimpinan : Saudara BPK dan saudara Gubernur, benarkah yang disampaikan pihak YKSW tersebut?

BPK RI : Benar pak Ketua. Itu semua sudah saya sampaikan dalam LHP tahun 2014.

Gubernur : Seingat saya benar pak.

Pimpinan : Saudara Gubernur, apakah benar pada 8 Juli 2014 saudara memberikan disposisi pada surat penawaran dari YKSW tertanggal 7 Juli 2014? Kepada siapa dan isinya apa ?

Gubernur : Seingat saya benar. Disposisi saya, “Ketua Bappeda, dianggarkan di SKPD Dinkes di APBD-P 2014 sesuai aturan”.

Pimpinan : Saudara BPK, benarkah ada ketidakpatuhan Pemprov DKI terhadap aturan dalam pembelian sebagian tanah RSW tersebut ?

BPK : Benar bapak Ketua. Dalam UU No 19/2012 dan Perpres No 71/2012, diatur prosedurnya, harus ada dokumen perencanaan, studi kelayakan, konsultasi publik, Berita Acara Kesepakatan Lokasi dengan masyarakat, usulan instansi terkait dan dibentuk Tim Pelaksana Pengadaan Tanah. Prosedur tersebut tidak dilaksanakan secara benar.

Pimpinan : Apakah ada lagi aturan yang dilanggar ?

BPK : Memasukkan dalam anggaran APBD-P 2014 adalah salah. Karena tidak memenuhi syarat, yang diatur dalam Peraturan Mendagri No 13/2006. Pembelian tersebut tidak ada dalam KUA PPAS, tidak dalam keadaan darurat ataupun luar biasa.

Pimpinan : Saudara KPK, benarkah yang disampaikan oleh BPK tersebut ?

KPK : Kami sudah membaca LHP dan hasil audit investigasi dari BPK. Dalam taham penyelidikan ini, ada indikasi ketidakpatuhan terhadap aturan. Kami sedang mencari kerugian negara, terkait letak HGB, NJOP yang digunakan, dan besarnya uang yang telah dikeluarkan DKI. Jika diketemukan kerugian negara, maka itu Tipikor yang menjadi ranah KPK.

Pimpinan : Saudara BPK, tolong jelaskan letak tanah HGB tersebut dan NJOP nya.

BPK : Tanah HGB tidak punya akses ke Jl. Kyai Tapa. Tidak ada batas keliling tanah HGB yang bersentuhan dengan Jl. Kyai Tapa. Berdasarkan Peta Bidang Tanah, tanah HGB secara fisik di Kel.Tomang Utara dengan NJOP Rp. 7.455.000/m2. Tetapi DKI membayar tanah HGB dengan NJOP Kyai Tapa, Rp. 20.755.000/m2.

Pimpinan : Saudara BPK, apakah letak HGB tersebut sudah ditanyakan kepada Lurah? Apakah ada hal-hal lain yang sifatnya ketidaklaziman atau melanggar aturan?

BPK : BPK sudah cek dilapangan dan tanya kepada Lurah Tomang. Bapak Pimpinan, ada tindakan yang tidak lazim. Tanah HGB tersebut masih dalam PPJB dengan PT CKU. Masih nunggak bayar PBB 6 M lebih. Ada 15 bangunan aktif yang boleh dihancurkan 2 tahun lagi. DKI membayar pada 31 Desember 2014 jam 19.00, dengan SPP-UP yang tidak lazim. Tanah baru bisa digunakan setelah 2 tahun, sejak pembayaran. Kesemuanya itu tidak lazim sehingga patut diduga ada niat tidak baik.

Pimpinan : Saudara BPK, apa yang saudara maksud masih dalam PPJB dengan PT CKU ?

BPK : Tanah HGB tersebut masih dalam PPJB antara YKSW dengan PT CKU. Dimana PT CKU bersedia bayar Rp. 564.355.000.000,- dengan catatan peruntukannya bisa berubah komersial.

*Selesai BPK menjelaskan, saya lihat Pimpinan Rapat berkonsulatasi dengan 2 wakilnya. Selanjutnya memberi waktu kepada anggota Komisi III untuk memberikan tanggapan.

Anggota – 1 : Saya berpendapat kasus ini ada perbuatan melanggar hukum dan terjadi kerugian negara. Saya sejalan dengan yang tercantum dalam LHP BPK, ada indikasi kerugian negara Rp. 191.334.550.000. Sebab DKI keluarkan uang Rp. 755.689.550.000 padahal PT CKU hanya berani Rp. 564.355.000.000, itupun dengan syarat bisa beralih fungsi komersial. Selisih itulah indikasi kerugian negara.

Anggota – 2 : Kalau saya lain hitungan. Tanah HGB tidak di Jl. Kyai Tapa. Beli itu harus lihat letak fisiknya. Bukan alamat di sertifikat HGB atau alamat di SPPT PBB. Tetapi harus berdasarkan Peta Bidang Tanah. Karena tanah HGB ada di Jl. Tomang Utara, maka NJOP Tomang Utara Rp. 7.455.000 yang harus dipakai. Hal ini sesuai Perpres No 71 /2012 pasal 55. 56 dan 57. Jadi indikasi kerugian negara Rp. 484.617.100.000.

Anggota -3 : Kita harus cermat menghitung kerugian negara. Karena tanah HGB, jadi bukan jual beli. Tetapi pelepasan hak dari YKSW kepada DKI. Masa berakhir hak YKSW tahun 2018. Sedangkan DKI bisa pakai setelah 2 tahun sejak pembayaran. Dengan demikian kerugian bisa Rp. 755 M lebih. Tentu KPK faham dan mampu mengurai kasus ini secara jujur dan profesional.

* Setelah anggota Komisi tidak ada lagi yang menyampaikan pandangannya, Pimpinan rapat menengok kearah para mahasiswa Fakulats Hukum dan menunjuk 1 orang perawakilan untuk bicara.

Mahasiswa : Ada 2 hal yang akan saya sampaikan. (1) Patut diduga ada niat tidak baik dalam pembelian tanah ini. Sebab kajian Dinkes, tanah ini tidak layak. Di sisi lain jika memang segera dibutuhkan RS Kanker, mengapa dari uang pembelian tidak untuk segera membangun di tanah yang sudah milik DKI? Mengapa harus beli tanah? (2) Kasus ini patut diduga masuk ranah Tipikor, karena ada PMH, kerugian negara dan ada yang diuntungkan.

* Mahasiswa selesai bicara, tepuk tangan riuh-rendah membahana. Apresiasi diberikan kepada mahasiswa Fakultas Hukum. Tepuk tangan usai…. ruang terasa hening. Tiba-tiba terdengar suara Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…..

Masya Allah, kuterbangun dari tidur. Adzan Subuh memutus mimpiku…. Walau mimpi, semua sesuai LHP BPK RI. Alhamdu lillaahil ladzii ahyaanaa ba’da maa amaatanaa wa ilaihin nusyuur. Semoga bangsa Indonesia selamat dari bala dan bencana. Amiin.

Jakarta, 14 April 2016

Penulis: Prijanto, (Pengamat Masalah Ibukota)

Artikel ini ditulis oleh: