Jakarta, Aktual.com – Gubernur DKI Basuki T Purnama (Ahok) akui pernah buat ‘kontrak politik’ untuk melegalisasi kampung ilegal. Kontrak dibuat saat Ahok berpasangan dengan Joko Widodo mau maju ikut Pilgub DKI tahun 2012 lampau.

Kenyataannya, apa yang Ahok lakukan sekarang justru seperti menginjak-injak kontrak politik dengan warga Jakarta tersebut. Yakni dengan terus lakukan penggusuran kepada pemukiman warga yang dianggap menempati lahan milik negara. Atau alasan lain ‘andalan’ Ahok: jalur hijau.

Padahal salah satu poin di kontrak politik mereka adalah Jokowi-Ahok janji akan melegalisasi kampung ilegal di Jakarta. Terbukti menjadi janji palsu saja sekarang.

Ahok berdalih kontrak dibuat saat dirinya tidak tahu kalau kawasan yang ditempati warga adalah jalur hijau. “Kita enggak tahu bahwa itu ‘hijau’. Lalu apa janji kami waktu itu? Kami akan bangunkan di dekat sini juga, di jalur yang bukan hijau,” dalih Ahok, Kamis (14/4).

Jika Ahok mengaku tidak tahu, lalu bagaimana dia dan Jokowi di kontrak itu menyebut kampung ilegal? Tapi lagi-lagi dengan entengnya Ahok merasa tidak ingkar janji. Dalihnya, janji terbesarnya adalah menata Jakarta. “Janji kami merapikan Jakarta jelas. Boleh tidak saya sebagai pejabat melanggar undang-undang? Enggak boleh,” ucap dia beralasan.

Dia malah balik bertanya seakan tidak bersalah apa-apa dengan lakukan penggusuran. “Salah kami di mana? Janji kami dipindahin ke tempat lebih baik, betul. Kalau gusur, kamu rumah kamu tanah kamu, kami tidak gusur loh, kita bikinkan rumah deret. Kita kasih sertifikat,” klaim dia.

Sambil tidak lupa dia menuding warga seperti biasa. Yakni dengan menyebut warga yang ungkit soal kontrak politik itu hanya upaya politisir saja.

Bandingkan dengan isi lengkap poin-poin di Kontrak Politik yang dengan gagah menampangkan ‘Jakarta Baru’ yang ditandatangani Jokowi di 15 September 2012.:

Jakarta Baru: Pro Rakyat Miskin, Berbasis Pelayanan dan Partisipasi Warga.

1. Warga dilibatkan dalam:
Penyusunan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), penyusunan APBD, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program pembangunan kota.

2. Pemenuhan dan perlindungan hak-hak warga kota. Meliputi:
a. Legalisasi kampung ilegal
Kampung yang sudah ditempati warga selama 20 tahun dan tanahnya tidak dalam sengketa maka akan diakui haknya dalam bentuk sertifikat hak milik

b. Pemukiman kumuh tidak digusur tapi ditata
Pemukiman kumuh yang berada di atas lahan milik swasta atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan dilakukan negosiasi dengan pemilik lahan. Gubernur akan menjadi mediator supaya warga tidak kehilangan haknya. Pembangunan Jakarta akan dimulai dari kampung-kampung miskin.

c. Perlindungan dan penataan ekonomi informal: PKL, becak, nelayan tradisional, pekerja rumah tangga, asongan, pedagang kecil dan pasar tradisional.

3. Keterbukaan dan penyebarluasan informasi kepada warga kota

Jelas Ahok sudah tidak menepati isi kontrak politik, terutama di Poin 2 a untuk Legalisasi kampung ilegal. Yakni Kampung yang sudah ditempati warga selama 20 tahun dan tanahnya tidak dalam sengketa maka akan diakui haknya dalam bentuk sertifikat hak milik

Bandingkan lagi dengan catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta untuk penggusuran yang dilakukan hanya di masa Ahok berkuasa jadi Gubernur DKI di tahun 2015 karena menggantikan Jokowi yang meninggalkan Balai Kota demi jadi presiden.

LBH Jakarta mencatat di 2015, terdapat 113 kasus penggusuran di Jakarta yang dilakukan secara paksa dengan pelaku utamanya adalah Pemprov DKI.  “96 kasus dilakukan Pemprov DKI Jakarta,” kata Pengacara Publik LBH Jakarta, Aldo Felix Januardy, 24 Februari lalu.

Berikut rinciannya:

Jakarta Timur : 31 kasus; Jakarta Utara : 31 kasus; Jakarta Barat : 14 kasus; Jakarta Selatan : 14 kasus; Jakarta Pusat  : 23 kasus. Total sepanjang 2015 sebanyak 8.145 KK dan 6.283 unit usaha jadi korban Ahok.

Aldo menilai sepak terjang Ahok patut disayangkan. Pemprov DKI yang seharusnya memposisikan diri sebagai pelindung hak-hak warga negara justru berkontribusi besar terhadap terjadinya pelanggaran.

Ironisnya, penggusuran paksa biasa dilakukan mendekati perayaan hari raya Lebaran. Aldo menduga ‘akal-akalan Pemprov DKI dilakukan karena banyak warga yang sedang pulang kampung. “Semakin dekat hari raya semakin banyak yang dilakukan penggusuran,” kata dia.

Sedangkan tujuan penggusuran biasanya alasan melaksanakan Perda Ketertiban Umum. Selain alasan lain yakni proyek normalisasi waduk dan sungai.

Sebanyak 74 kasus juga tidak memberi solusi kepada korban gusuran. Meski memindahkan korban ke rusun, tapi itu juga tidak jadi solusi. Penelitian LBH Jakarta menyimpulkan Pemprov DKI (baca: Ahok) melakukan diskriminasi terhadap masyarakat kecil, “Ahok sangat diskriminatif terhadap masyarakat miskin,” kata dia.

Artikel ini ditulis oleh: