Jakarta, Aktual.com – Dalam pengajian di Masjid Al Asyraf Muqattam Kairo, Syech Yusri Rusydi megatakan bahwa ketika orang lain memujimu maka pada hakikatnya yang membuatmu mulia adalah indahnya tabir penghalang yang Allah SWT berikan kepadamu untuk menutupi keburukan-keburukanmu. Dan seandainya Allah SWT mengangkat satir/tabir tersebut darimu, maka belum tentu ada orang lain yang sudi untuk duduk bersama disampingmu, karena tanpa satir (penghalang) aibmu akan terbuka bagi semua orang.
Imam Tajuddin Ibnu ‘Athoillah As-Sakandari Asy-Syadzili berkata:
مَنْ أَكْرَمَكَ إنَّما أَكْرَمَ فِيْكَ جَميلَ سَتْرِهِ. فَالحَمْدُ لِمَنْ سَتَرَكَ، لَيْسَ الحَمْدُ لِمَنْ أَكْرَمَكَ وَشَكَرَكَ.
“Siapa yang memuliakanmu, maka sebenarnya ia memuliakan indahnya penutup yang Allah selipkan pada dirimu. Karena itu, segala pujian hanya bagi Allah yang telah menutupimu, bukan bagi orang yang telah memuliakan dan berterimakasih kepadamu”(kitab Al Hikam ‘Athoiyah).
Pengertian satir atau tabir sendiri terbagi menjadi dua yaitu satir keindahan dan satir keburukan.
سِّتْرُ جَمِيْلُ هُوَ مَايُغَطِّي فَضَائِحَكَ بِكَمَالاَتِكَ
Satir yang indah yaitu yang menutupi aib-aibmu dengan kebaikan-kebaikanmu.
سَتْرُ غَيْرُ جَمِيْلُ هُوَ مَايُغَطِّي كَمَالاَتِكَ بِفَضَائِحِكَ
Satir yang buruk yaitu yang menutupi kebaikan-kebaikanmu dengan aib-aibmu. (Al Yusriyat)
Syekh Yusri melanjutkan apabila dirimu berkata bahwa akulah seorang mukmin yang shalih dan baik hati, maka ingatlah bahwa semua itu hanya pengakuan semata karena semua itu bukanlah milikmu tapi anugerah Allah SWT yang diberikan untukmu.
Oleh karena itu ketika ada orang lain yang menyebutmu seorang ulama besar, seorang yang pintar dan sebagainya, jangan sekali-kali merasa bangga dan ujub, tapi pantulkanlah pujian tersebut kepada Allah SWT yang telah memberikan kepadamu satir yang anggun. Bukan pula orang-orang yang telah memujimu berarti layak untuk menerima balasan dari suatu pujian.
Rasulullah SAW dengan segala kesempurnaan yang terkumpul dalam kepribadiannya, merasa kesulitan dalam hal mengutarakan pujian yang sempurna kepada Allah SWT. Dalam salah satu hadits sahih beliau SAW berdoa :
لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Aku tidak dapat mengutarakan kesemprnaan pujian kepadaMu sebagaimana pujianMu kepada diriMu.” (HR:Muslim)
Dari pemaparan diatas, setiap muslim hendaklah senantiasa berharap pada sifat hilim Allah SWT , baik dalam keadaan ketika ia sedang melakukan amalan ta’at kepada Allah SWT maupun sedang dalam keadaan berbuat maksiat.
Rasa hina dina di hadapan Allah SWT hendaknya tidak hanya hadir disaat kita sedang atau telah berbuat dosa dan maksiat saja, namun perasaan haqir (hina dina) tersebut harus tetap menyertai kita disaat kita sedang dalam keadaan melakukan ibadah dan amalan-amalan ta’at, agar terhindar dari sifat ujub dan takabbur dan tetap dalam pengakuan bahwa keta’atan dalam beribadah yang telah kita lakukan hanya semata-mata anugerah dari Allah SWT bukan hasil jerih payah kita sendiri.[Deden Sajidin]
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid