Jakarta, Aktual.com – Pengamat ekonomi Drajad Wibowo menyayangkan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.
Menurutnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, khususnya Pasal 2, sangat jelas menyebutkan terkait pengelolaan investasi negara termasuk dalam perbendaharaan negara.
“Dengan begitu, saham pemerintah pusat di BUMN maupun BUMD bahkan yang di perusahaan swasta termasuk dalam perbendaharaan negara. Jadi tidak boleh lagi ada pos atau kekayaan yang sifatnya non-bujeter atau di luar APBN seperti yang ada di PP 72 itu,” kata Drajat di Jakarta, Rabu (18/1).
Selain Pasal 2, Pasal 1 dalam UU 1/2004 juga disebutkan bahwa perbendaharaan negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD.
“Jadi, saham pemerintah di BUMN adalah bagian dari perbendaharaan negara, yang ditetapkan dalam APBN. Kalau ada praktik non-bujeter seperti itu ini bakal menjadi sumber KKN sistemik dan masif,” kata Dradjad.
Ditambahkan, PP 72 justru mengembalikan lagi pos dan transaksi non-bujeter karenanya harus dibatalkan.
“Bagus kalau ada yang melakukan uji materi PP ini. Namun lebih baik lagi jika PP ini langsung dibatalkan atau diperbaiki dengan signifikan,” jelasnya.
Presiden Jokowi sebelumnya meneken PP 72 di ujung tahun 2016. Aturan tersebut telah menuai penolakan dari kalangan DPR. Bahkan aturan tersebut dinilai berbahaya karena saham BUMN yang dimiliki negara dapat berpindah tangan ke siapapun tanpa diketahui oleh DPR.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh: