Semua kalangan pemerhati pilpres maupun pilgub sadar bahwa politik uang sangat mendominasi proses pemilu di tingkat nasional maupun pemilukada.
Namun khusus untuk DKI Jakarta, ada hal yang jauh lebih krusial daripada sekadar politik uang. Kalau kita cermati sejak putaran pertama Pilgub DKI Jakarta, nampak jelas skema bisnis menjadi motor penggerak skema penyelenggaraan Pilpres untuk pemilihan kepala pemerintahan di tingkat nasional maupun pemilukada di tingkat daerah pemilihan kepala daerah.
Maka skema bisnislah yang jadi landasan pemersatu dan perajut skema Pilpres maupun skema pemilukada dalam sebagai satu paket. Dengan begitu, kalau bisnis merupakan motor penggerak skema Pilgub, maka modal merupakan bensin penggeraknya, sehingga skema bisnis sebagai motor penggerak dan landasan pemersatu skema Pilpres dan Pilgub bisa digerakkan.
Di sinilah sikap dan kiprah partai-partai politik pengusung pasangan calon baik untuk jadi calon presiden, calon gubernur, calon bupati dan walikota, menjadi sangat krusial. Betapa tidak. Menyadari kekuatannya sebagai kendaraan politik bagi para para calon presiden maupun kepala daerah agar bisa maju ke pentas pemilihan, nampaknya dikondisikan sedemikian rupa supaya lebih patuh pada arus modal daripada arus dukungan rakyat.
Dalam situasi demikian, partai yang berkarkter dan berintegratas tinggi kiranya jadi factor penentu apakah partai akan lebih condong mendukung arus modal atau arus dukungan rakyat. Celakanya, berdasarkan berbagai kasus maupun serangkaian fakta-fakta yang berkembang selama ini, partai lebih memihak arus modal daripada arus dukungan rakyat.
Ketika dalam Pilgub DKI Jakarta sejak kampanye putaran pertama hingga putaran kedua salah satu isu sensitif yang mencuat adalah tentang Pembangunan Reklamasi Jakarta, membuktikan bahwa Pilgub DKI Jakarta sangat dipengaruhi oleh skema bisnis dan arus modal. Dengan makna lain, para konglomerat dan kaum pemilik modal punya pengaruh besar dalam mengendalikan dan mengatur seorang calon gubernur agar bekerja dan patuh pada skema bisnis dan arus modal para konglomerat tadi.
Dengan demikian, kepentingan pemilik modal dan konglomerat baik dari dalam negeri maupun luar negeri, bukan saja berhasil mempenetrasi negara, bahkan berhasil menengara baik di pemerintahan tingkat pusat maupun daerah.
Maka itu, Pilgub Putaran kedua akan jadi tes uji coba apakah menegaranya kaum pemilik modal dan konglomerat bisa dibendung, atau justru semakin menguat dan terkonsolidasi.
Jika semakin menguat dan terkonsolidasi, maka tidak saja di lingkup DKI Jakarta melainkan juga di daerah lain, para presiden atau gubernur terpilih, berikut para pendukungnya seperti politisi partai di DPR dan DPRD, dipasa untuk siap mendukung apapun proyek “pembangunan” yang disodorkan oleh kaum pemilik modal dan konglomerat tersebut.
Seperti terlihat dalam kasus perpanjangan kontrak Freeport sampai ke Reklamasi Teluk Jakarta. Bahkan kalau perlu, tidak sungkan-sungkan berhadapan dengan gelombang ketidakpuasan dari masyarakat.
Hendrajit