Yang dibahas soal ancaman terorisme global dan kekerasan ekstrem, namun yang hendak disentuh sesungguhnya adalah soal pertarungan dua skema pengelolaan gas alam dan pembangunan pipa gas alam antara skema Iran-Irak-Suriah versus skema Qatar-Arab Saudi-Turki.
Resminya, KTT Islam Arab Amerika Arab Islamic America Summit atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Arab Islam-Amerika di Conference Hall King Abdulaziz Convention Center, Riyadh, Arab Saud Minggu (21/05), yang juga dihadiri oleh Presiden Jokowi ini, diselenggarakan bertujuan untuk memperbarui komitmen bersama dalam menghadapi ancaman kekerasan ekstremisme dan terorisme global.
Yang mana akan membahas isu keamanan dan stabilitas serta menegaskan kembali kebutuhan mendesak untuk kerjasama dan moderasi yang lebih dekat untuk memerangi terorisme di dunia. Tapi itu kan open agenda. Bukan hidden agenda.
Untuk lebih jelasnya, mari simak uraian menteri luar negeri Arab Saudi. “Pemimpin negara-negara Arab, Islam dan Amerika Serikat mengakui pentingnya kemitraan yang kuat dan abadi untuk menghadapi ancaman kekerasan ekstremisme. Kami berbagi tujuan yang sama dalam memerangi terorisme dan kami berusaha menginokulasi orang-orang kita melawan ekstremisme yang mengarah ke kekerasan,” kata Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir.
Meskipun pernyataan resmi Menlu Adel al-Jubeir ini terkesan normatif dan formal, namun patut disiimak. Sebab dia lah arsitek politik luar negeri Arab Saudi yang dinilai beberapa kalangan pakar politik internasional sangat cerdas dan imajinatif. Sehingga di balik frase kalimatnya yang terkesan muluk, sebenarnya terkandung maksud-maksud yang jauh lebih strategis bagi kepetingan Arab Saudi maupun sekutu-sekutunya di Timur Tengah.
Kalau menelisik sasaran strategis Arab Saudi selain minyak, maka tak pelak lagi hal itu adalah gas alam. Pada tataran ini, Arab Saudi sangat cemas dengan persekutuan strategis Iran-Irak dan Suriah.
Salah satu wujud kekhawatiran Arab Saudi hingga kini, nampaknya bisa dijelaskan melalui sebuah berita yang dilansir sebuah laman CNN pada Juli 2011 ihwal adanya kesepakatan kerjasama antara Suriah, Iran, dan Irak dalam pembangunan pipa gas alam.
Berarti, kekhwatiran Arab Saudi dan negara-negara sekutunya di Timur-Tengah bukan sekadar soal gas itu sendiri, melainkan pada aspek geopolitiknya, pada aspek geostrategi. Sebab, Pipa raksasa yang menelan biaya 10 miliar dolar AS dengan masa pengerjaan selama tiga tahun itu, Pipa tersebut akan membentang dari pelabuhan Assalouyeh (dekat ladang gas alam terbesar Iran, South Pars) hingga Damaskus (Suriah) melewati sebagian wilayah Irak.
Kekhawatiran geopolitik Arab Saudi ini semakin nyata ketika Iran menurut informasi akan mengembangkan pipa tersebut hingga pelabuhan Mediterania, Lebanon, sebagai pintu gerbang ke pasar Eropa. Dalam kesepakatan tersebut, Suriah dan Irak bisa membeli gas alam Iran yang diproduksi di South Pars. Untuk diketahui, South Pars adalah ladang gas alam terbesar di dunia dengan cadangan mencapai 51 triliun meter kubik.
Lantas, apa kekhwatiran geopolitik Arab Saudi? Agaknya, terletak pada faktor geostrategi di balik skema kerjasama Iran-Irak-Suriah tersebut. Sebab ladang gas tersebut terletak di wilayah perairan dua negara; Iran dan Qatar. Iran menguasai 9.700 kilometer persegi, sedangkan Qatar menguasai sekitar enam ribu kilometer persegi dari total luas ladang.
Dengan kata lain, disebabkan Qatar merasa terancam oleh Iran, maka Arab Saudi sebagai sekutu solid Qatar pun dengan sendirinya ikut cemas. Apalagi menelisik kesejarahannya, Qatar dan Iran sampai hari ini termasuk musuh bebuyutan.
Masuk akal jika Qatar khwatir dengan kesepakatan proyek pipa gas alam tersebut. Sehingga tak mengherankan pula jika Arab Saudi dan Qatar termasuk negara-negara garis depan dalam mendukung kelompok-kelompok perlawanan bersenjata menggusur Presiden Suriah Bashar al Assad. Bahkan kabarnya termasuk memasok pasukan tentara kepada kelompok perlawanan Suriah.
Apalagi ketika Qatar pun sebenarnya sudah punya skema tersendiri terkait pengelolaan gas alam ini di South Pars, dan menolak bergabung dalam jalur pipa gas alam Iran-Irak-Suriah dengan Lebanon sebagai pintu gerbang.
Dalam skema Qatar, Qatar lebih suka dengan jalur Turki sebagai pintu gerbang ke pasar Eropa. Selain membangun jalur Turki, Qatar juga disebut punya skenario alternatif dengan menggunakan Yordania sebagai pintu gerbang ke Eropa. Nah jelaslah sudah sekarang, bahwa masalah pengelolaan gas alam ini didasari oleh pertarungan dua skema yang membawa implikasi geopolitik di kawasan Timur Tengah.
Mengapa perbedaan dua skema ini kemudian membawa implikasi geopolitik? Sebab kedua skema yang bertumpu pada dua kutub yang bertentangan di Timur Tengah ini, sejatinya memperebutkan Uni Eropa sebagai pasar raksana bagi negara-negara produsen gas alam. Pada tataran ini, Rusia yang dikenal sebagai salah satu negara produsen gas alam, tentu saja lebih sreg dengan skema Iran-Irak-Suriah, ketimbang skema Qatar yang lebih mengandalkan kerjasama dengan Turki dan Yordania yang lebih pro Amerika Serikat,
Inilah masalah krusial sesungguhnya di balik Krisis Suriah yang masih berlarut-larut hingga sekarang. Gerakan penggulingan Presiden Assad harus dibaca sebagai wujud kekhawatiran geopolitik Arab Saudi, Qatar, Amerika Serikat dan Israel, terhadap skema pembangunan pipa gas alam Iran-Irak-Suriah.
Inilah hakikinya isu dan agenda sesungguhnya yang coba dibahas dan dicarikan solusinya dalam forum KTT Islam Arab Amerika, dengan disamarkan melalui tema mengatasi kekerasan ekstrimisme dan terorisme global.
Begitulah. Yang dibahas apa, yang sesungguhnya hendak disentuh dan disepakati beda lagi. Jadi, terlalu dangkal kalau Krisis Suriah hanya dibaca sebagai konflik Sunny-Syiah. Membenturkan dua mahzab ini, dari dulu memang kreasi asing dan aseng.
Hendrajit