Sejak lengsernya Presiden Suharto pada Mei 1998, dua sektor yang menjadi hajat hidup rakyat jadi sasaran negara-negara asing untuk dikuasai. Yaitu sektor migas dan kelistrikan. Maraknya gelombang protes terhadap kenaikan harga listrik belakangan ini, kembali mengingatkan kita bahwa sejak era reformasi sektor kelistrikan kita telah diliberalisasikan secara besar-besaran.
Pada 1998 sebelum Suharto lengser, Kuntoro Mangkusubroto menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi. Pada masa Kuntoro inilah International Monetary Fund (IMF) sebagai alat dari kepentingan-kepentingan korporasi global mulai memainkan peran mendesak kalangan penentu kebijakan strategis migas dan kelistrikan untuk meliberalisasikan kebijakan-kebijakannya. Sehingga tidak lagi pro rakyat, tapi pro korporasi asing dan kelompok-kelompok pebisnis lokal yang tentunya lebih berorientasi keuntungan bisnis dibandingkan buat kesejahteraan rakyat.
Maka, salah satu sasaran yang diincar oleh IMF untuk dilumpuhkan adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN). Salah satu dalih dari pihak IMF dalam rangka meliberalisasikan dan memprivatisasikan PLN adalah untuk memberikan akses yang seluas-luasnya untuk menguasai sektor kelistrikan di luar yang selama ini berada dalam skema PLN.
Maka Kuntoro, sebagai aktor kunci dari misi IMF meliberalisasikan PLN, menggunakan Blue Print IMF yang merupakan bagian integral dari Letter of Intent yang ditandatangani oleh Presiden Suharto dan Michael Camdesus dari IMF pada 1997, sebagai dasar menyusun Undang-Undang No 20 tahun 2002 tentang kelistrikan. Tak pelak lagi bahwa UU No 20/2002 tentang kelistrikan tersebut dimaksudkan sebagai pintu masuk arus deras liberalisasi dan swastanisasi terhadap sektor kelistrikan Indonesia.
Namun demikian UU No 20/2002 ini berhasil dianulir oleh Mahkamah Konstitusi (MK)atas gugatan dari Serikat Pekerjal PLN yang memandang UU No 20/2002 melanggar Pasal 33 UUD 1945, yang menentang swastanisasi sektor-sektor strategis negara yang merupakan hajat hidup orang banyak.
Sayangnya, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla begitu berkuasa pada 2004 mem-prolegnaskan kembali undang-undang kelistrikaran tersebut. Sehingga pada 2009 DPR kembali menelorkan UU No 30 tahun 2009 tentang kelistrikan, yang secara substansial tidak ada perbedaan sama sekali dengan UU No 20/2002 yang sejatinya sudah dianulir oleh MK.
Menariknya, Kuntoro Mangkusubroto yang pada 1998 menjadi aktor intelektual lahirnya UU No 20/2002 maupun UU No 30/2009 tentang kelistrikan yang menyebabkan sektor kelistrikan sekarang berada dalam pengaruh kepentingan-kepentingan swasta asing maupun lokal, pada tahun 2015 lalu menjabat sebagai Komisaris Utama PLN.Hanya saja setahun kemudian pada 2016, Kuntoro melayangkan surat pengunduran diri, dan kemudian digantikan oleh Hasan Bisri. Namun demikian, Kuntoro memainkan peranan penting ketika Jokowi bertemu Presiden Obama di AS pada Oktober 2015 lalu. Sehingga lahirlah beberapa poin penting kerjasama di bidang ekonomi, termasuk kelistrikan.
Di era pemerintahan SBY-Budiono, Kuntoro menjabat sebagai Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan atau UKP4. Yang pada perkembangannya secara de fakto menjalankan fungsi sebagai perdana menteri.
Dengan makna lain, baik di era SBY maupun Jokowi utamanya pada 2015, Kuntoro merupakan aktual intelektual skema liberalisasi dan privatisasi PLN dan sektor kelistrikan Indonesia pada umumnya.
Untuk menggambarkan betapa besarnya pengaruh Kuntoro dalam mengarahkan kebijakan kelistrikan nasional kita, bisa disimak dari hasil pertemuan Presiden Jokowi dan Presiden Barrack Obama pada Oktober 2015 lalu.
Presiden Jokowi dan Presiden Barack Obama menyepakati kerjasama bisnis senilai US$ 20 miliar yang meliputi berbagai aspek ekonomi, namun salah satu yang menarik kita sorot kembali adalah kerjasama di sektor kelistrikan antara pemerintah Indonesia dengan negeri Paman Sam tersebut yang mencapai angka hampir US$ 3 miliar.
Kerjasama di sektor kelistrikan tersebut yaitu:
1. Kesepakatan bisnis antara PT PLN (Persero) dengan General Electric, yaitu antara PLN Gorontalo dengan General Electric dengan nilai sebesar 100 juta dollar AS untuk pembangunan 100 MW gas turbin dan cydepower di Gorontalo.
2. Antara PT PLN (Persero) dengan UPC Renewables senilai sebesar 850 juta dollar AS untuk pembangunan 350 MW Pembangkit Listrik Tenaga Bayu dalam waktu tiga tahun (2015-2018).
3. Antara Cikarang Listrindo dengan General Electric nilai investasi sebesar 600 juta dollar AS untuk perluasan pembangunan pembangkit listrik (IPP).
4. Antara PT Indonesia Power dengan General Electric untuk pembangunan pembangkit di Jawa Tengah sebesar 700 MW senilai 400 juta dollar AS.
5. Antara PT PLN Batam (Persero) dengan General Electric senilai sebesar 525 juta dollar AS untuk pembangunan pembangkit bergerak (mobile) 500 MW di Mataram, Bangka, Tanjung Jabung, Pontianak, Lampung dan Sei Rotan.
6. Antara PT PLN (Persero) dengan Caterpillar senilai sebesar 500 juta dollar AS untuk proyek 2 GW pembangkit tenaga hibrid dan Proyek Solar PV+ energy storage untuk microgrid di daerah-daerah terpencil (500 pulau) dengan solusi pembiayaan initial capital investment melalui power purchase agreement dengan PLN.
Mengingat reputasi dan peran sentralnya sejak 1998 dalam mendorong liberalisasi dan privatisasi kelistrikan Indonesia, maka patut diduga Kuntoro merupakan aktual intelektual di balik kerjasama sektor kelistrikan yang disepakati Jokowi-Obama dalam lawatannya ke AS Oktober 2015 lalu.
Hendrajit