Wacana pemindahan ibu kota. (ilustrasi/aktual.com)

Bukan soal apakah Palangka Raya itu layak jadi ibukota. Bukan itu. Namun benarkah dalam memilih ibukota negara didasari pertimbangan geopolitik. Yaitu ketika antara wilayah, penduduk yang bermukim di dalamnya, terjadi suatu persenyawaan sehingga antara geografi dan masyarakat yang bermukim tercipta ikatan lahir-batin. Spiritual dan material. Sehingga tak berlebihan jika dikatakan bahwa watak masyarakat secara kolektif kerap dipengaruhi oleh kondisi geografis sebuah wilayah.

Tersirat dari kontroversi di balik bergulirnya wacana memindahkan ibukota dari Jakarta ke kota lain, para elit politik dan pucuk pimpinan nasional abai geopolitik. Betapa sebuah daerah atau kota, harus dikenali dulu geoekonomi dan geostrateginya. Kandungan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, maupun lokasi geografis kota atau daerah tersebut di antara daerah-daerah atau kota-kota sekitarnya.

Segi lain yang tak kalah penting, betapa suatu kota atau daerah memliki daya spiritual dan energi sehingga mempengaruhi dan mewarnai karakter dan corak kota tersebut. Berikut para warga yang bermukim di dalamnya.

Pada 1742, Kerajaan Islam Jawa Mataram hancur lembur gara-gara Geger Pecinan. Meskipun pemberontakan berhasil ditumpas, namun Sunan Pakuvbuwono II alias Raden Prabasuyasa memindahkan ibukotanya dari Kartasura ke wilayah Sala (Surakarta). Sehingga sejak saat itu bukan lagi bernama Kerajaan Kartasura melainkan Kerajaan Surakarta.

Peristiwa Geger Pecinan itu sendiri, kiranya pembaca perlu mendapat gambaran sekilas. Seperti dikatakan tadi, terjadi pada 1742 ketika terjadi pemberontakan orang-orang Cina di bawah kepemimpinan Susuhunan Amangkurat Prabu Kuning dan Raden Mas Said. Karena tidak berdaya mrnghadapi serangan orang-orang Cina itu, Sunan Pakubuwono II melarikan diri ke Pranaraga.

Namun berkat bantuan kumpeni Belanda yang kala itu sedang mulai mencari celah untuk menguasai Jawa, berhasil membantu Sunan Pakubuwono II merebut kembali Kartasura.

Hanya ya itu tadi, meskipun secara militer para pemberontak orang-orang Cina yang agaknya juga dapat dukungan dari beberapa pangeran di internal kerajaan Mataram berhasil ditumpas, namun Kartasura sebagai kota dari segi geopolitik sudah tidak punya daya spiritual lagi. Tidak punya wibawa spiritual.

Sehingga diyakini memancarkan energi negatif ketimbang energi positif. Maka, kesadaran dan kepekaan geopolitik Sunan Pakubuwono II akhirnya memutuskan untuk memindahkan Kartasura ke Sala (Surakarta).

Maka, melalui suatu proses panjang, pada 1743, Sunan Pakubuwono II kemudian membantun istana baru di wilayah Solo, sebagai pusat pemerintahan Sunan Pakubuwono II. Kasunanan Surakarta Hadiningrat secara resmi didirikan sebagai kelanjutan dari Kasunan Kartasura.

Terlepas dari fakta sejarah bahwa Geger Pecinan 1742 ini kemudian bermuara pada terbelahnya Jawa menjadi tiga bagian yaitu Kasunanan Pakubuwono Surakarta, Hamengkubuwono Jogyakarta dan Mangkunegara yang berloka di sebelah Utara kota Solo, melalui Perjanjian Gianti 1755, namun kisah soal pemindahan ibukota dan pusat pemerintahan dari Kartasura ke Solo (Surakarta) kiranya menarik untuk jadi bahan renungan para pemimpin dan elit politik nasional kita.

Menelisik kesejarahan berdirinya sebuah kerajaan nusantara, khususnya di Jawa, selalu diiringi oleh perpindahan ibukota sebagai pusat kerajaan.

Ketika Brawijaya V harus mengakui realitas politik bahwa putranya, Raden Patah, telah berhasil mengonsolidasikan kekuasaannya di Demak, maka pusat kerajaan dan pusat pemerintahan pun bergeser dari Mojokerto Jawa Timur, ke Demak, Jawa Tengah.

Begitupula ketika Sultan Trenggono, Raja Demak terakhir mati terbunuh, maka menantunya yaitu Joko Tingkir, ditunjuk menjadi penerus Sultan Trengtgono. Lantas kemudian mendirikan kerajaan baru bermama Kesultanan Pajang. DanĀ  bergelar Sultan Hadiwijaya.

Pula, ketika Sultan Hadiwijaya dari Kesultanan Pajang, kekuasaan beralih ke tangan Danang Sutawijaya, maka ibukota dan pusat kerajaan beralih ke Kartasura. Maka disanalah berdiri Kerajaan Mataram, yang mana Danang Sutawijaya menjadi raja pertama.

Menyerap hikmah dari sejarah perpindahan ibukota dan pusat kerajaan dari para leluhur kita di bumi nusantara, maka terbersit sebuah pertanyaan, apa sesungguhnya motif di balik keinginan pucuk pimpinan nasional dan para elit politik ramai-ramai mendendangkan wacana pemindahan ibukota, yang mana tentunya juga, disertai dengan niat untuk memindahkan pusat kekuasaan.

Jangan-jangan, di tengah menguatnyarus deras globalisasi dan modernisasi yang melanda negeri kita saat ini, ada upaya menunggangi gelombang, dengan membangun sebuah dinasti yang didasari pola pikir dan cara pandang kerajaan. Membangun kembali feodalisme dengan dalih untuk menyiasati derasnya arus globalisasi dan modernisasi di abad 21 saat ini.

Ihwal Palangka Raya yang digulirikan sebagai wacana pemindahan ibukota, seoertinya hanya sekadar tebaran isu, tahapan awal, untuk menuju agenda sesungguhnya. Dengan kata lain, memang ada rencana yang sistematis dan terencana untuk memindahkan ibukota dari Jakarta ke kota lain, namun Palangka Raya dengan sengaja digulirkan untuk pengelabuan. Agar agenda sesungguhnya di balik wacana pemindahan ibukota tidak terbaca dan terdeteksi.

Jokowi dan mata-rantai pendukungnya yang terjalinj melalui apa yang disebut SOLO CONEECTION, sepertinya memang ada impian terpendam untuk menghidupkan kembali semangat dinasti dan kerajaan, hanya saja tidak dalam kerangka kepentingan nasional yang jelas visi dan misinya. Melainkan hanya sekadar untuk melestarikan kekuasaan klan politik tertentu yang sudah mulai menanamkan pengaruh dan cengkrawaman kekuasaannya sejak era pemerintahan Presiden Suharto.

Di sinilah aspek paling krusial dari wacana pemindahan ibukota. Tanpa terlebih dahulu ada pernyataan terbuka terkait hajatan sesungguhnya di balik bergulirnya wacana tersebut, maka besar keputusan memlih ibukota dan pusat pemerintahan, tidak mencerminkan aspirasi lahir dan batin dari seluruh rakyat Indonesia, atau setidaknya masyarakat di bumi nusantara.

Sebab bisa dipastikan, hajatan yang hendak dipagelarkan, tidak mencerminkan hajatan nasional seluruh masyarakat Indonesia. Melainkan hanya sekadar hajatan kelompok atau klan-klan politik yang hendak melestarikan feodalisme, sebagai pintu masuk yang memudahkan arus deras imperialisme merajuk ke jantung pertahanan NKRI, dengan dalih globalisasi dan modernisasi.

Jika agenda iniĀ  yang sejatinya sedang berlangsung dan berkecamuk di benak para elit politik dan pimpinan nasional, maka bencana geopolitik tak akan terhindarkan lagi. Hanya perkara waktu.

Hendrajit.