Kalau dilihat-lihat, gerakan separatisme suku Kurdi yang ingin memisahkan diri dari Irak, pada perkembangannya telah dimanfaatkan Amerika Serikat untuk menciptakan aksi destabilisasi di kawasan Timur-Tengah.
Seperti kita ketahui bersama, ketika AS menginvasi Irak untuk menggulingkan Presiden Saddam Hussein, suku Kurdi secara de fakto telah menjadikan wilayah Irak Utara sebagai negara yang berdiri sendiri dan lepas dari kendali pemerintahan Irak. Menariknya, bukan saja tentara AS terkesan memberi angina kepada Kurdi, bahkan media massa arus utama maupun para politisi di Washington, memberi simpati besar kepada suku Kurdi. Jadi, ada ini sebenarnya?
Terkesan kuat bahwa dukungan berbagai elemen strategis berikut media massa arus utama di AS, memandang dukungan pada Kurdi merupakan bagian integral dari alasan pembenaran pihak Washington untuk melakukan campur-tangan di Irak dan Timur-Tengah pada umumnya.
Bahkan sewaktu AS menginvasi Suriah, Israel yang merupakan sekutu strategis AS di Timur Tengah, telah mengekspor minyak kepada kelompok Kurdistan senilau 3,84 juta dolar AS atau kira-kira 19 juta barrel minyak antara Mei hingga Agustus 2015 sehingga membawa implikasi geopolitik dan ekonomi yang cukup serius tidak saja bagi Irak melainkan juga di kawasan Timur-Tengah. Sebaliknya menciptakan kerjasama saling menguntungkan antara Israel dan Kurdi.
Kenyataan ini bukan saja telah memberi angina kepada suku Kurdi untuk merdeka dari Irak, pada gilirannya juga telah menciptakan Israel kedua di Timur-Tengah. Menanam pohon katus di tengah-tengah pohon pinus. Dengan kata lain, seperti halnya Israel ditanam AS dan Blok Barat di Palestina, suku Kurdi ditanam di Irak. Namun dengan implikasi yang sama: Menciptakan Destabilisasi di Timur-Tengah.
Begitu pula di Suriah, ternyata kelompok Kurdi ini telah dijadikan kelompok-kelompok milisi bersenjata di bawah kendali pasukan koalisi multinasional yang didukung AS dan NATO.
Menurut beberapa kajian yang dilansir oleh globalreserch.ca milisi-milisi Kurdi bahkan telah mendominasi Syrian Democratic Force (SDF), kelompok-kelompok perlawanan yang didukung sepenuhnya oleh AS. Bahkan Presiden Donald Trump telah memutuskan mempersenjatai milisi-milisi Kurdi di Suriah dengan persenjataan berat seperti senapan mesin dan mortir. Termasuk pistol Kalashnikov sebear 12 ribu buah dan 6 ribu senapan mesin.
Usut punya usut, rupanya sejak 1966-1975 Israel memang sudah mendukung gerakan separatis Kurdi melawan pemerintah Irak. Meskipun bentuk bantuannya berupa instruktur untuk pelatihan militer, bukan dalam bentuk bantuan personil militer yang ikut bertempur.
Rupanya pihak intelijen AS dan NATO menyadari betul watak nomaden suku Kurdi yang sampai hari ini masih tetap stateless alias tidak punya negara. Maka watak Kurdi inilah yang kemudian dieksploitasi AS dan pihak Barat untuk dijadikan alat memecah-belah, adu domba dan destabilitasi untuk menguasai Irak dan Suriah. Salah satu modusnya adalah menciptakan sektarianisme kesukuan di Suriah dan Irak.
Agaknya, untuk menciptakan tatanan baru geopolitik di Timur-Tengah, AS dan Blok Barat NATO secara sadar memanfaatkan kelompok separatisme Kurdi untuk mendorong perpecahan nasional di sebanyak mungkin negara di Timur-Tengah, tidak sekadar Suriah dan Irak.
Memang begitulah modus operandi kolonialisme klasik Inggris dan negara-negara Barat lainnya seperti Perancis dan Itali. Ciptakan negara-negara Timur Tengah yang kecil-kecil namun gampang dikuasai karena tidak punya pengaruh yang cukup kuat dan mengakar. Dan sepertinya, suku Kurdi dengan obsesinya yang begitu besar untuk mendirikan negara sendiri, merupakan pion yang sempurna untuk melayani skema penjajahan gaya baru AS dan Blok NATO.
Hendrajit