SAMUEL Ullman (1840—1924) pernah menulis dalam prosa liriknya, Youth, yang terjemahan bebasnya kurang lebih begini: “Muda itu bukan urusan umur, melainkan sikap pemikiran; bukan berarti pipi kemerahan, bibir merah merekah dan dengkul kuat, melainkan terletak pada kemauan, kualitas imajinasi, kekuatan emosional, kesegaran dan kebugaran dari sumber paling dalam kehidupan.” Muda berarti penguasaan temperamental dari keberanian untuk mengatasi rasa malu,keengganan atas gairah. Pendeknya, suatu petualangan untuk menyenangi kesenangan hidup. Ini umumnya terjadi pada remaja 20 tahunan.
“Umur bisa mengeriputkan kulit, tapi kehilangan antusiasme hidup akan mengeriputkan jiwa. Tak peduli usia Anda 60 atau 16 tahun, jangan pernah kehilangan gairah yang tak habis-habisnya untuk ingin tahu apa yang terjadi, dan menikmati permainan hidup serta kehidupan. Setiap hati hendaknya memasang antena untuk menerima pesan keindahan, harapan, kegembiraan, gairah, keberanian dan kekuatan dari alam semesta yang tak terbatas, maka Anda akan selalu muda.
“Bila antena itu tak keluar, maka jiwa akan diselimuti salju pesimisme dan sinisme. Anda bisa tua pada usia 20 tahun, dan sebaliknya bila antena keluar memanjang menangkap sinyal optimisme tadi, maka ada harapan Anda akan mati muda pada usia 80 tahun.”
KUTIPAN tulisan Samuel Ullman itu, oleh Jenderal Douglas McArthur, si Singa Pasifik dalam Perang Dunia II, disimpan di dompetnya sebagai pendorong perjuangannya. Lembaran itu diletakkan di meja tulisnya, di Tokyo, yang 40 tahun kemudian menyebar di kalangan eksekutif Jepang, muda, apalagi yang tua. Gairah itu menjadi dapur pacu mereka untuk maju. Sampai-sampai, tahun 1990 diadakan pertemuan besar para pengagum Samuel Ullman. Maka, lihatlah Jepang sekarang!
Bagaimana dengan Indonesia? Duh, negeri kita dipenuhi oleh generasi muda berjiwa keriput karena tak tahu gairah hidup perjuangan bangsanya. Padahal, para pendiri bangsa yang dulu selalu “berjiwa muda” menangkap sinyal kehidupan pada kawasan tumpah darah mereka, lalu merumuskan konsep Negara Kesatuan RI, dilengkapi dengan UUD 1945, dan Pancasila sebagai dasarnya.
Sayangnya, entah karena pengaruh apa, para pemimpin bangsa sekarang ini relatif tidak mewarisi semangat para pendahulu kita itu. Lihat, gairah hidup mereka bukan untuk kepentingan bangsa dan negara, melainkan untuk diri, keluarga, dan kelompoknya. Makin tua bangsa ini, makin “renta” pemimpinnya. Jiwa-jiwa keriput para pemimpin muda justru renta, tidak bergairah untuk berjuang.
Mereka merasa cukup menerima “rente”, “komisi”, “cukup terima pensiun” atau imbalan hidup enak kalau memuluskan penguasaan asing pada sumber daya yang dipunyai oleh Indonesia. Bahkan, bayangkan, ada seseorang yang masih muda, yang pernah menjadi menteri, mengatakan, “Kantongi dulu nasionalisme. Tidak ada tempat bagi nasionalisme dan kedaulatan ekonomi di tengah terang benderangnya arus globalisasi.” SONTOLOYO!
Menyerahkah kita, wahai anak-anak muda Indonesia? Tidak! Jangan! Menyerah pada keadaan jelas bukan jiwa “orang muda”. Itu jiwa orang renta yang pesimistis dan sinis terhadap kekuatan bangsa sendiri, orang renta yang kehilangan gairah hidup, orang renta yang tidak mengantongi nasionalisme, melainkan mengantongi rente pembudakan diri pada kekuatan asing.
Seperti kata Samuel Ullman, untuk menjadi renta dan keriput ternyata tidak harus menunggu tua. Kekuatan neoimperalis paham tentang itu. Maka, lewat orang-orang muda yang berjiwa renta dan keriput itulah mereka menghunjamkan lebih dalam pengaruhnya. Kita tidak antipengaruh asing. Kita tidak juga antimodal asing. Seperti kata Bung Karno, “Kita tidak antimodal asing. Tapi, semua modal asing harus di bawah kendali pemerintah Indonesia.”
Bagaimana anak-anak muda Indonesia? Wahai!
M. Djoko Yuwono, Wartawan Senior dan Budayawan