Jakarta, Aktual.co —Mohamad Misbach, yang lebih dikenal dengan Haji Misbach atau Haji Merah, adalah tokoh komunis awal di zaman Hindia Belanda. Misbach mendakwahkan bahwa Islam dan Komunisme itu tidak harus dipertentangkan. Seperti Komunisme, Islam seharusnya menjadi agama yang revolusioner dan bergerak untuk melawan penindasan dan ketidakadilan.
Misbach adalah anggota Sarekat Islam pada tahun-tahun awal berdirinya. Ketika Sarekat Islam (SI) pecah pada 1923 menjadi SI Putih dan SI Merah, Haji Misbach mengikuti SI Merah yang dipimpin Semaoen, yang kemudian bermetamorfosis menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia).
Misbach (1876–1926) lahir di Kauman, persis di depan keraton Kasunanan dekat Masjid Agung Surakarta. Semasa kecil, dia bernama Ahmad, lalu setelah menikah berganti nama menjadi Darmodiprono. Usai menunaikan ibadah haji, barulah dia dikenal sebagai Haji Mohamad Misbach. Ayahnya adalah pejabat keagamaan keraton, selain juga seorang pedagang batik yang kaya raya.
Pada usia sekolah, Misbach ikut pelajaran keagamaan dari pesantren, selain di sekolah bumiputera “Ongko Loro.” Basis pesantren serta lingkungan keraton Surakarta inilah yang mempengaruhi sosok Misbach nantinya menjadi seorang mubaligh. Meski Misbach adalah putera pejabat keraton, ia memiliki keprihatinan pada persoalan yang dihadapi rakyat kecil.
Perkenalan Misbach dengan dunia aktivis menarik minatnya untuk terlibat secara penuh, dengan bergabung dalam Inlandsche Journalisten Bond (IJB) bentukan Mas Marco Kartodikromo pada 1914. Misbach menerbitkan surat kabar “Medan Moeslimin” (1915) dan “Islam Bergerak” (1917). Tahun 1918, ia bergabung dengan Tentara Kanjeng Nabi Muhammad. Sedangkan pada 10 Juli 1918, ia membentuk Sidik Amanat Tableg Vatonah (SATV).
Pada 7 Mei 1919, Misbach ditangkap setelah menggambar kartun di “Islam Bergerak” yang isinya menyinggung kapitalis Belanda dan Pakubuwono X. Ia dibebaskan pada 22 Oktober 1919. Tanggal 16 Mei 1920, ia kembali ditangkap dan dipenjarakan di Pekalongan selama 2 tahun 3 bulan. Tahun 1922, ia keluar dari Muhammadiyah. Muhammadiyah dan SI Putih dianggapnya mandul, karena bersikap kooperatif pada pemerintah Hindia Belanda. Mei 1923, Misbach muncul sebagai propagandis SI Merah/PKI. Pada 20 Oktober 1923, ia kembali dijebloskan ke penjara dengan tuduhan terlibat dalam aksi-aksi pembakaran bangsal, penggulingan kereta api, pemboman, dan lain-lain.
Misbach memiliki posisi unik dalam sejarah tanah air. Namanya sering disandingkan dengan Semaoen, Tan Malaka, atau golongan kiri lainnya. Di kalangan gerakan Islam, memang namanya nyaris tak pernah disebut karena berpaham komunisme. Tapi bagaimana Misbach, yang mubaligh, fasih bahasa Arab, dan suka mengutip ayat-ayat Alquran dan hadis Rasulullah SAW dalam tulisan-tulisannya yang kritis, dapat menerima komunisme? Misbach yang taat beragama, menerima komunisme sebagai ideologi pembebasan, tanpa khawatir kehilangan akidahnya.
Pandangan Misbach bersandar pada nilai-nilai ajaran Islam yang berpihak kepada kaum tertindas. Inilah titik temunya dengan ajaran Marxisme yang diperkenalkan oleh Henk Sneevliet, seorang tokoh sosialis Belanda. Sneevliet adalah aktor intelektual di balik radikalisme Sarekat Islam Semarang di bawah Semaoen.
Misbach menangkap Islam sebagai agama yang revolusioner, yang dalam sejarah Nusantara telah menimbulkan berbagai pemberontakan lokal yang bertema pembebasan. Dari situlah pikiran Misbach bertemu dengan ideologi Komunisme. Terlepas pemberontakan tersebut dapat dipatahkan, peristiwa ini menunjukkan bahwa Islam dan Komunisme pernah berpadu. Islam dan Komunisme bertemu bukan sebagai perkara ideologi, tetapi dalam semangat perlawanan menghadapi penindasan kolonial.
Misbach sangat antikapitalis. Siapa pun yang diyakininya menjadi antek kapitalis yang menyengsarakan rakyat akan dihantamnya melalui artikel di “Medan Moeslimin” atau “Islam Bergerak.” Tak peduli apakah yang dihantam itu juga seorang aktivis organisasi Islam. Ia menentang keras kerjasama dengan pemerintah Hindia Belanda. Maka kelompok yang anti politik, anti pemogokan, secara tegas dianggapnya berseberangan dengan misi keadilan.
Misbach menegaskan kepada rakyat, “jangan takut dihukum, dibuang, digantung,” seraya memaparkan kesulitan Nabi Muhammad SAW menyiarkan Islam. Misbach adalah sosok yang meyakini paham komunis. Ia mengagumi Karl Marx, yang dianggapnya berjasa membela rakyat miskin, dan mencela kapitalisme sebagai biang kehancuran nilai-nilai kemanusiaan. Agama pun dirusak oleh kapitalisme sehingga harus dilawan dengan historis materialisme.
Pada kongres PKI, 4 Maret 1923, yang dihadiri 16 cabang PKI, 14 cabang SI Merah dan beberapa perkumpulan serikat komunis, Misbach memberikan uraian mengenai relevansi Islam dan Komunisme dengan menunjukkan ayat-ayat Al-Qur’an, serta mengkritik pimpinan SI Putih, yang dianggapnya munafik dan menjadikan Islam sebagai selimut untuk memperkaya diri sendiri.
Kekecewaannya terhadap lembaga-lembaga Islam yang tidak tegas membela kaum dhuafa, membuat dia memilih ikut Perserikatan Kommunist di Indie (PKI) ketika CSI (Central Sarekat Islam) pecah melahirkan PKI/SI Merah, bahkan mendirikan PKI afdeling Surakarta. Dia pun muncul sebagai pimpinan PKI di Surakarta. Ajaran Islam revolusioner yang berlandaskan Komunisme banyak disebarkan Misbach melalui suratkabar Islam Bergerak dan Medan Moeslimin.
Islam menunjukkan jalan keselamatan. Islam mengajarkan kewajiban berperang melawan para penindas. Komunisme juga mengajarkan perjuangan melawan para penindas, terutama dalam bidang sosial dan ekonomi, dan bertujuan menciptakan masyarakat tanpa kelas. Menurut Misbach, Islam juga mengajarkan hal yang sama. Maka hal ini membuat Misbach semakin tertarik menggabungkan keduanya dalam perjuangannya.
Perjuangan Misbach membuat geram Pemerintah Hindia-Belanda, sehingga pada Juli 1924 ia ditangkap lalu bersama istri dan dua anaknya dibuang ke Manokwari, Papua. Saat itu ia dicap sebagai Komunis Islam paling terkenal. Di tempat pembuangan itulah isteri Misbach terserang malaria dan meninggal dunia. Misbach juga terserang malaria seperti isterinya. Pada 24 Mei 1924, Haji Misbach meninggal dunia dan dimakamkan di samping kuburan istrinya. Ia meninggalkan dua putra, Madoeki dan Karobet, dan seorang putri yaitu Soimatoen.
Depok, Mei 2015
E-mail: arismunandar.satrio@gmail.com
Artikel ini ditulis oleh: