Jakarta, Aktual.com – 20 Agustus 2013 menjadi hari bersejarah bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Pada hari itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk pertama kalinya menuntut seorang terdakwa dengan pencabutan hak politik.
Pencantuman tuntutan pencabutan hak politik oleh KPK dilakukan berdasarkan sejumlah hal. Pertama, hal tersebut diatur dalam Pasal 18 huruf d Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan Pasal 10 poin b angka ke-1 KUHP. Sehingga dasar legalitas dilakukan penuntutan jelas diatur dalam undang-undang.
Kedua, karena terdapat benang merah antara kekuasaan politik dengan jabatan publik. Di Indonesia, untuk duduk dalam suatu jabatan publik, salah satunya bisa ditempuh melalui jalur politik yaitu menggunakan hak untuk dipilih dengan mencalonkan diri menjadi kepala daerah atau wakil rakyat di parlemen. Sehingga pencabutan hak politik dilakukan untuk mencegah ruang bagi seorang pelaku korupsi kembali ke kancah politik.
Adalah Mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI, Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo yang ‘dijadikan’ projek percobaan. Pada tingkat pertama di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta projek ini gagal. Majelis hakim Tipikor menilai pencabutan hak politik itu berlebihan karena dengan diputus bersalah dan dihukum cukup lama, maka Djoko dengan sendirinya akan terseleksi dalam organisasi politik yang bersangkutan.
Pada tingkat kedua di pengadilan Tinggi DKI Jakarta, barulah Hakim mengabulkan hak politik Djoko dicabut.Vonis kasasi MA memperkuat putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, pada 4 Juni 2014.
Bambang Widjojanto yang ketika itu menjabat Wakil Ketua KPK menyatakan, putusan MA ini harusnya menjadi rujukan putusan pengadilan di bawahnya.
“Putusan MA soal hukuman tambahan yang mencabut hak politik seseorang karena terbukti melakukan kejahatan korupsi bisa menjadi benchmark dan rujukan bagi pengadilan,” kata Bambang dalam pesan singkat kepada wartawan, Selasa 16 September 2014.
Dia mengungkapkan, putusan pencabutan hak politik itu telah mengakomodasi fakta atas terjadinya perilaku privatisasi dan personalisasi kekuasaan oleh pejabat publik yang dilakukan secara melawan hukum dan transaksional.
Putusan MA ini pun menjadi ‘kesuksesan’ KPK menerapkan tuntutan pencabutan hak politik. Langkah ini menjadi contoh bagi KPK untuk menerapkan hal serupa ke terdakwa lain, diantaranya:
1. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby