Jakarta, Aktual.com –Ibarat mesin motor atau mobil, sebelum digunakan maka wajib hukumnya dipanaskan terlebih dahulu. Hal itu dilakukan karena motor yang enggak dipakai itu akan membuat oli mesin turun. Jadi mesin motor berubah jadi dingin.
Dengan memanaskan motor oli akan naik dan akan melumasi mesin dengan sempurna, sehingga membuat motor lebih enak dipakai. Sedangkan motor yang dipakai tanpa dipanaskan itu berisiko merusak motor, karena mesin motor belum terlumasi oli secara sempurna.
Ilustrasi di atas gambaran tahun politik di Pemilu 2019 ini. Kedua pasangan capres dan cawapres yakni nomor urut dua Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan nomor urut satu Joko Widodo-Ma’ruf Amin tampaknya berbeda dalam berlaga di Pemilu 2019 ini.
Seperti pasangan capres nomor urut satu Joko Widodo-Ma’ruf Amin langsung tancap gas tanpa memanaskan mesin terlebih dulu pasca mengambil nomor urut di Kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Jumat (21/9/2018).
Pasangan ini langsung menggelar kampanye di Tugu Proklamasi, Cikini, Jakarta Pusat. Berbeda dengan pasangan nomor urut dua Prabowo-Sandi. Keduanya lebih memilih untuk “balik kandang”, tidak menggelar kampanye.
Memang ini wajib bagi mereka untuk kampanye. Terlebih, kampanye adalah aksi atau gerakan serentak untuk berpropaganda dengan cara santun. Dalam konteks politik praktis, kampanye adalah gerakan mempropagandakan program-program individu maupun Partai politik kepada publik.
Yang menjadi menarik ialah, kampanye yang belakangan ini ramai di permukaan soal kampanye di fasilitas negara dan lembaga pendidikan. Rupanya, tempat-tempat ini masif digunkana untuk kampanye. Entah dengan dalih apapun, nyatanya mereka tetap kampanye di tempat-tempat itu.
Apakah kamanye boleh dilangsungkan di tempat-tempat itu? Berkaca pada Muawiyah bin Abu sufyan sosok yang pertama kali menggunakan masjid untuk berkampanye. Bahkan menjatuhkan lawan politiknya yakni Khalifah Ali bin abi Thalib.
Ia memanfaatkan kasus pembunuhan Khalifah Usman. Tak lupa membangkitkan kemarahan pendukungnya dengan memperlihatkan di dalam masjid Damaskus barang-barang peninggalan Usman bin Affan beserta potongan jari istrinya Khalifah Usman.
Dari Damaskus beralih ke Jakarta. Tahun ini misalnya ada salah satu kandidat di Pilpres 2019 menggunakan cara-cara seperti itu. Tentu, apa yang dilakukan kandidat ini berbeda dengan Muawiyah. Kandidat ini tentu harus sudah menghormati fungsi masjid di era modern.
Dimana ketika di dalam masjid tidak boleh bicara urusan lain seperti dagang dan urusan duniawi lainnya seperti politik praktis yang akan menimbulkan pertengkaran, salah paham dan hal-hal lain.
Syeikh Mutawalli Asy-Sya’rawi berkata “Orang yang masih melakukannya (bicara dagang dan urusan duniawi) tidak akan mendapat berkah, malah ia akan mendapat kerugian”.
Pengurus masjid maupun lembaga pendidikan hendaknya menolak tim pemenangan capres maupun caleg dn partai yang melakukan kampanye politik. Baik melalui ceramah, tebar pamflet hingga memasang spanduk.
Bukan hanya pengurus masjid, pengasuh pesantren juga wajib menolak jika ada capres dan politikus tertentu berkampanye di lembaganya. Jangan diberi peluang ia tampil di dalam masjid, acara istighosah bahkan perayaan hari besar Islam maupun di Ponpes.
Tentu ini akan menjadi khawatir, bahwa marwah masjid sebagai tempat merekatkan ukhuwah akan amburadul seketika akibat ceramah yang disusupi kampanye dan budaya menjatuhkan lawan politik, seperti yang dilakukan Muawiyah kepada Khalifah Ali.
Sesuai pesan surah An-Nahl ayat 125, dakwah itu menyeru manusia ke jalan Allah SWT, bukan menyeru kepada golongan atau partai. Berbeda bila kata ini, “Kampanye NO!, Pendidikan politik YEES!!” digunakan.
Yang jelas tidak diharamkan berceramah atau bertausyiah di masjid yang muatannya berupa “Pendidikan Politik”. Contohnya: Menyoal dalil mendirikan Khilafah, metode pengangkatan Khalifah, bagaimana Koalisi menurut Islam, hukuman bagi kaum pemberontak (bughat), kebijakan Daulah terhadap non Muslim, bolehkah memilih Presiden perempuan hingga kebejatan kelompok ISIS sekalipun.
KPU Pun Melarang