(ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Tampang Boyolali dan kata sontoloyo belakangan ini menjadi hangat diperbincangkan. Sontoloyo sendiri dilontarkan oleh Jokowi ketika menghadiri pembagian sertifikat tanah di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Selasa (23/10/2018) lalu.

Arah kemana dan siapa, tentu hanya Jokowi yang tahu. Sementara, bahasa “Tampang Boyolali” disampaikan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto. Pidatonya itu Prabowo sampaikan dalam acara peresmian Kantor Badan Pemenangan Prabowo-Sandi di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (30/10/2018) kemarin.

Reaksi atas dua pernyataan itu juga beragam. Ada aksi protes, hingga pelaporan Prabowo ke kepolisian oleh seorang warga. Dua kata ini diucapkan oleh orang yang berbeda. Situasi dan kondisi serta konteksnya pun tentu berbeda pula.

Tetapi, dua kata yang disampaikan oleh para calon presiden 2019 ini mengakibatkan reaksi dari berbagai kalangan. Baik buruknya memang tergantung siapa pada siapa yang menilai. Misal, bagi pendukung Prabowo, “Kata Sontoloyo” jelas sangat berkonotasi buruk.

Terlebih, itu disampaikan oleh orang nomor satu di republik ini. Jadi sangat tidak elok didengar dan dipandang. Namun demikian, sebaliknya para pencinta dan pendukung Jokowi justeru ini adalah kata yang wajar.

Kata yang dilontarkan Jokowi itu pun membuat mereka (kubu Jokowi) mencari pembenaran lewat “Kata Sontoloyo” yang disampaikan Presiden RI Pertama Ir Soekarno. Lain dulu lain sekarang, karena konteks yang disampaikan Jokowi itu lebih “mengarah dan menuding” kepada para politikus yang dianggap berprilaku buruk.
Tetapi, itu semua jadi berbalik, ketika Prabowo dalam pidatonya di hadapan kader Gerindra menyinggung Tampang Boyolali. Sontak saja, membuat para pendukung Jokowi naik pitam! Mereka menuntut Prabowo meminta maaf karena dianggap sudah berkata SARA.

Berbagai demonstrasi dilakukan, mengatasnakaman seluruh warga Boyolali, atau yang pernah lahir dan bertempat tinggal di Boyolali. Bahkan Presiden Jokowi turut berkomentar, menyinggung kedua orang tua beliau yang kelahiran Boyolali. Bagi pendukung Prabowo-Sandi, respon pendukung Jokowi itu terkesan lebay dan tak beralasan. Tak ada yang salah dengan pidato Prabowo, meskipun ada perkataan tentang Tampang Boyolali.

Terlebih, pidato ini diucapkan di depan kader sendiri, dan tidak dimaksudkan untuk menghinakan etnis tertentu. Pendukung Prabowo bahkan meminta pihak yang mengecam diksi Tampang Boyolali itu untuk melihat rekaman video pidato tersebut, dan menunjukkan bagian narasi mana yang dianggap menghina warga Boyolali.

Mereka sadar ini merupakan tahun politik. Apalagi menjelang pemilihan presiden, tensi masyarakat cenderung naik dan mudah terprovokasi. Mulai dari politikusnya, pendukungnya, atau mereka yang terkesan (pura-pura) netral sekalipun.

Setiap ucapan dari pihak yang berseberangan dengan mereka harus dianggap salah. Pembenaran yang dilakukan, meskipun itu didukung fakta yang jelas, dianggap hanya sebuah tindakan untuk mengelak, mencari alasan saja.

Dalam situasi seperti ini, wajar bila selalu menerapkan standar ganda. Tidak ada orang yang benar-benar berpijak pada garis tengah. Garis ini hanyalah garis imajiner, yang ada pada dunia utopia.

Sekuat apapun, berusaha netral, pasti ada kecenderungan untuk memihak, memilih satu sisi. Karena itu, publik tidak bisa menilai dengan pasti, manakah yang buruk dari kata-kata yang disampaikan oleh kedua cepres ini.

Sontoloyo Buah dari Jengkel